Publik khususnya warga Lombok yang tinggal di bagian utara (KLU) dihebohkan oleh pemasangan plang besi di tepi Danau Segara Anak yang bertuliskan “SEGARA ANAK LAKE”. Tulisan yang tertancap dengan media besi tanam dan lempengan logam dipasang permanen oleh Pengelola Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR).
Tulisan ini bertujuan untuk promosi lokasi pariwisata (branding). Plang besi, yang disebut-sebut berfungsi sebagai photo-booth oleh Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani ini pun menuai pro dan kontra. Sebagian kalangan masyarakat menganggap ikon plang besi semakin mempercantik Danau Segara Anak dan akan mendongkrak kunjungan wisatawan, baik domestik maupun asing. Namun, sebagian kalangan memprotes keras program ini dan mengancam akan mencabut paksa jika tidak segera dibongkar.
Bagi pengelola BTNGR tentu hal ini menjadi dilema. Di sisi lain tekanan masyarakat yang kontra sedemikian besar namun plang besi yang menjadi output program pemerintah dibiayai melalui anggaran resmi tidak boleh dirusak begitu saja karena telah menjadi aset negara. Apa pun konsekuensinya upaya branding ini jelas telah menjadi blunder bagi pengelola. Tak pelak ribuan netizen mengecam dan mem-bully progam ini sebagai branding yang katrok dan norak. Di samping menuai kecaman yang masif, program ini juga melahirkan petisi yang langsung ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.
Beberapa elemen masyarakat juga menyerukan agar program ini diusut tuntas karena dinilai tidak memiliki asas kebermanfaatan. Polemik ini tentu sangat disayangkan di tengah-tengah maraknya pemberitaan positif nominasi Gunung Rinjani yang sebentar lagi akan dinobatkan sebagai Taman Geopark Dunia oleh UNESCO.
Branding dan Semiotika Pariwisata
Raymond W.K. Lau (2011) menulis sebuah artikel yang berjudul Tourist Sights as Semiotic Signs. Raymond membuat tipologi jenis komoditas semiotika pariwisata dalam tinjauan perspektif wisatawan. Pertama signs, adalah bentuk sightcommodity yang menjadi alasan mereka datang untuk melihat dari dekat, mengabadikan keberadaan mereka di sana. Contoh dari signs bisa berupa taman monumental, museum dan artefak bersejarah. Kedua inherent signs, adalah tanda semiotis yang tidak berupa tanda artifisial atau temporal namun sudah terkandung sendiri di dalamnya.
Contoh dari tipologi kedua ini adalah wisata alam, budaya, adat, dan religius. Dalam promosi pariwisata kontemporer, kedua tipologi baik signs dan inherent signs mendapatkan sentuhan berbagai modifikasi dan inovasi. Belajar dari kedua jenis semiotika pariwisata tersebut keberadaan jenis objek wisata telah memiliki sifat semiotis masing-masing. Faktanya ada tempat wisata yang membutuhkan penanda ada pula yang tidak memerlukannya sama sekali. Fenomena berburu foto dengan latar belakang Danau Toba di Sumatera Utara atau Ranu Kumbolo di bukit Semeru menjadi contoh strategis bahwa inherent signs tidak dapat tergantikan oleh teks-teks tematik.
Diperlukan Kajian Sosiokultural
Prinsip menilai kelaikan, keindahan, dan kesederhanaan bisa saja sangat subjektif, namun penciri dan kekhasan adalah sesuatu yang sangat objektif. Meskipun Pengelola BTNGR berargumen bahwa pemasangan plang besi telah melalui kajian dan penelitian hingga sampai pada kesimpulan bahwa photo booth tersebut tidak akan mengganggu atau merusak Segara Anak, namun riset dan kajian tidak cukup hanya dalam domain ramah lingkungan dan keseimbangan ekosistem, harus juga pada pada domain sosiokultural.
Kajian sosiokultural akan memberikan gambaran komprehensif apakah rencana branding tidak bertentangan dengan budaya lokal setempat, nilai hostoris, norma yang berlaku serta respon stakeholder wisata lokal. Jika dibutuhkan uji pulik dapat dilakukan sebelum eksekusi sebuah program yang berbasis anggaran negara untuk menyerap dan mendengar aspirasi.
Bukankah sinergi antara pemerintah, stakeholder, dan masyarakat adalah kunci promosi wisata? Langkah ini meski memakan waktu, perlu direvitalisasi agar tidak terjadi miskomunikasi dan misinterpretasi antar pemerintah dan masyarakat yang sama-sama berkepentingan untuk mengembangkan industri pariwisata lokal.
Danau Segara Anak dan Gunug Rinjani adalah satu paket tujuan wisata yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Tempat ini selain memiliki daya tarik keindahan alam dan air permukaan juga memiliki "sihir" untuk mendatangkan peziarah baik penduduk asli maupun luar daerah baik yang hanya sekedar melafadzkan doa atau bernazar untuk tujuan baik. Keberadaan Gunung Rinjani bagi masyarakat Lombok Utara bak seorang ibu. Manifestasi gerakan civil society seperti bersih-bersih gunung, penanaman bibit pohon, dan berbagai kegiatan ramah lingkungan lainnya adalah wujud hormat dan kecintaan terhadap ciptaan Sang Khaliq. Oleh karena itu, siapa pun yang "menyakiti" Rinjani tak ubahnya menyakiti ibu sendiri.
Aura Gunung Rinjani juga telah tersegmentasi dalam kearifan lokal untuk selalu berhati-hati berucap. Hal ini tecermin dari kewaspadaan porter dan pelancong yang diimbau untuk selalu menjaga titi dan tutur selama berada di kawasan Rinjani seperti tidak boleh berkata kotor, sesumbar, dan takabur.
Tidak hanya itu, Segara Anak dan Rinjani adalah tempat yang sangat sakral. Setiap tahun, ribuan masyarakat Hindu mengadakan ritual persembahyangan. Fakta ini yang membuat Gunung Rinjani dan Segara Anak tidak boleh hanya dilihat sebagai komoditi semata melainkan aset budaya dan leluhur yang perlu dipreservasi keotentikannya.
"Branding" Pariwisata Jangan Latah
Pemasangan photo booth di setiap lokasi wisata memang sedang marak. Metode ini dinilai efektif dan up-to-date mengingat kebiasaan berfoto di lokasi wisata dengan latar belakang photo booth menjadi tren. Namun, prinsip tetap promosi wisata tidak boleh latah. Kandungan estetika dan semiotika masing-masing lokasi wisata tidaklah sama.
Photo booth di suatu tempat wisata bisa jadi menambah pesona bahkan menjadi iconic seperti di Pantai Losari Makasar atau di Pantai Gili Trawangan, namun belum tentu berlaku di tempat lain. Terbukti, photo booth Danau Segara Anak menuai gelombang protes dan terancam dibongkar kembali untuk normalisasi tepi danau.
Maraknya pemasangan photo booth yang bertujuan untuk mendongkrak wisatawan baik asing maupun domestik juga harus sinkron dengan referensi demografi lokal dan nilai historisnya. Tren giant photo booth berasal dari tulisan “Hollywood” yang menjadi ikon di Kota California Amerika Serikat. Tulisan "hollywood" ini bukanlah simbol promosi wisata melainkan sebuah plang industri real estate yang berkembang besar menjadi showbiz film terbesar di dunia. Mengingat hal ini pelaku promosi wisata dan stakeholder tidak boleh "gagal paham" dan melakukan branding yang asal tiru terlebih lagi mengurangi esensi keindahan dan keaslian dari objek wisata tersebut. Komunikasi lintas sektoral
Geliat pariwisata NTB sebagai yang baru saja menerima honor sebagai best halal tourism destinationdan best honeymoon destination harus tetap dipertahankan. Lombok Utara (KLU) sebagai tuan rumah kontribusi terbesar wisata pulau tropis, alam dan geopark harus selalu berhati-hati dalam mengambil tiap tindakan, mengkaji tiap upaya branding agar tidak menjadi boomerang di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H