Misal, tindakan mengkritisi bisa saja dilakukan melalui pilihan kata, frase, kalimat dan segala bentukan bahasa (form and meaning) yang dapat kita pilih dan pilah. Pemilihan dan pemilahan bentukan bahasa baik dalam ragam tulis dan lisan yang tercermin dalam cara kita berbahasa inilah yang sebenarnya diancam dalam surat edaran tersebut. Belajar dari teori ini, sikap kritis tidak harus diungkapkan dengan kata atau kalimat-kalimat kasar, mendiskreditkan satu pihak, mengandung unsur penghinaan dan bermuatan kebencian. Sebaliknya, bisa menggunakan bentukan bahasa dan pemaknaan yang santun tanpa mengurangi esensi dari sikap kritis itu sendiri.
Netizen Harus Hati-Hati
Harus diakui bahwa akhir-akhir ini kita dapat dengan mudah melihat postingan berita, komentar-komentar, ujaran-ujaran yang tidak pantas dan mulai mengancam keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara. Pesatnya kemajuan teknologi komunikasi melalui media sosial ini hendaknya digunakan dengan bijak dan penuh kewaspadaan. Dengan jumlah pengguna yang signifikan, jejaring media sosial menjadi pilihan paling efektif untuk membentuk opini publik. Setiap orang dengan sukarela sign up untuk dapat mengakses semua informasi dan terhubung dengan pengguna lainnya secara instan melalui telepon pintar.
Ironisnya, efektifitas jejaring sosial sebagai mode komunikasi massa dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan tindakan negatif melalui tulisan-tulisan virtual yang mengarah pada penghasutan, pencemaran nama baik, penghinaan hingga provokasi. Tindakan negatif ini diperparah oleh penyebaran yang cepat melalui copy-paste link yang disematkan pada dinding virtual masing-masing. Tidak sedikit netizen yang menjadi korban “see something say something” tanpa menggali dan memverifikasi kebenaran berita tersebut.
Fenomena lain, seperti pewarta warga (citizen journalism) yang telah menjadi trend masyarakat digital harus lebih mengedukasi dengan konten-konten berita yang aktual, tidak fiktif, tidak dipelintir dan berisikan pesan moral. Jika terlibat dalam diskusi-diskusi di medsos hendaknya menghindari komentar-komentar yang menyulut kebencian dan penghinaan terhadap individu atau kelompok sebagaimana tertulis dalam poin-poin SE tersebut diantaranya SARA, kaum difabel dan orientasi seksual.
Polisi Jangan Kecolongan
Publik pasti memberikan dukungan terhadap upaya Polri sebagai pihak yang berwajib untuk menegakkan hukum terutama dalam menertibkan kesantunan berbahasa. Melalui SE ini, tentu masyarakat akan berpikir panjang bahkan urung untuk berulah menebar kebencian. Dalam perspektif nasionalisme, semua komponen bangsa pasti mengapresiasi langkah Polri untuk menangkal ujaran-ujaran kebencian yang berpotensi merusak tatanan keharmonisan dan persatuan kehidupan bangsa Indonesia. Namun, di sisi lain Polri perlu mempertimbangkan asas kesetaraan hukum dan penegakkan hukum karena tidak menutup kemungkinan SE ini disalahgunakan untuk mengkriminalisasi seseorang atau kelompok demi tujuan tertentu, membungkam lawan-lawan politik, dan mengintimidasi.
Langkah Polri ini jangan sampai menjadi kontraproduktif karena kurang matangnya kajian yuridis, kultural dan filosofis. Misalnya SE ini harus memiliki mekanisme penegakkan yang lebih jelas misalnya indikator-indikator apa saja yang disebut hate speech. Langkah lanjutan ini sangat perlu untuk menepis adanya isu bahwa SE adalah cara-cara orde baru dengan menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan dikebirinya sikap kritis serta kebebasan berpendapat. Kesadaran masyarakat untuk mengkonstruksi pemikiran melalui ujaran-ujaran akan terus bergerak seiring dengan kematangan dalam berdemokrasi namun penegakkan hukum juga harus dijalankan demi keadilan dan keamanan bersama.
Oleh: Edi Ramawijaya Putra
*Penulis Adalah Mahasiswa Program Doktoral Linguistik Terapan Universitas Atma Jaya Jakarta