Mohon tunggu...
Edi Ramawijaya Putra
Edi Ramawijaya Putra Mohon Tunggu... Guru - Dosen

Pendidik, Penulis, Trainer dan Pembicara Dengan Latar Belakang Linguistik Terapan Bahasa Inggris (TESOL) Bidang Kajian Sosiolinguistics dan Language Pedagogy. Instagram: @edi_ramawijayaputra

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menakar Surat Edaran Kapolri

4 November 2015   17:11 Diperbarui: 4 November 2015   17:22 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

 

Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015 tentang penanganan ujaran kebencian atau hate speech bisa jadi merupakan titik akumulasi intervensi pihak berwajib terhadap cara berbahasa di ruang publik. SE inipun praktis menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Sebagian kalangan yang pro menilai ini adalah langkah yang tepat sebagai upaya preventif menangkal ujaran-ujaran kebencian yang berujung pada permusuhan, konflik sosial hingga disintegrasi bangsa.

Di sisi lain, SE yang ditandatangai langsung oleh pimpinan tertinggi institusi kepolisian ini dinilai sangat tendensius, syarat muatan politik dan berpotensi melumpuhkan kebebasan berpendapat yang notabenenya dilindungi oleh konstitusi. Canggihnya cara manusia modern berinterkasi memungkinkan ujaran-ujaran (utterances) terpublikasi secara masif dan cepat dengan atau tanpa disadari oleh si penutur aslinya. Partisipasi verbal masyarakat terhadap pemerintah dan isu-isu yang sedang hangat dewasa ini semakin meningkat.

Partisipasi tersebut sangat multidimensional mulai dari hanya sekedar mengomentari, memberikan ulasan panjang hingga memberikan kritik. Namun, kebebasan berbicara di ruang publik dibatasi oleh aturan, norma dan etika. Kebebasan berbicara yang dimanifestasikan melalui komentar dan tautan (posting) di media-media sosial selain wajib mengindahkan kaidah informasi juga harus menjunjung tinggi nilai kesantunan berbahasa.

Siapa Yang Diancam?

Sebuah surat edaran resmi dari pucuk tertinggi pimpinan kepolisian yang ditujukan bagi organ dibawahnya tentu memiliki dasar, kajian dan pemikiran yang melatarbelakangi. Langkah Jenderal Badrodin Haiti menerbitkan edaran ini merupakan bentuk penekanan (stressing) bagi polisi untuk lebih aware dan proaktif terhadap penindakkan secara hukum maraknya ujaran-ujaran kebencian (hate speech) yang secara yuridis sebenarnya sudah diatur dalam hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Di dalam KUHP sangat jelas dan tegas mengatur tentang delik hukum dan sanksi bagi siapapun yang melakukan tindakan seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan menyebarkan berita bohong diancam hukuman pidana. Salah satu hal yang membuat edaran ini banyak menuai kritik adalah kemunculannya di tengah-tengah tajamnya sorotan masyarakat dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan kinerja Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Edaran ini dinilai akan memberangus masyarakat biasa (civil society) dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan eksekutif. Namun, apabila ditinjau dari aspek normatif siapapun bisa menjadi korban tidak hanya menteri, pejabat tinggi negara atau presiden.

Kiamatnya Criticisim?

Salah satu hal yang paling kontroversial pada SE Kapolri tersebut adalah pada huruf (h)  poin 3 disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media diantaranya adalah jejaring media sosial seperti facebook, twitter dan blog mandiri. Situs jejaring sosial adalah media paling digemari di Indonesia dengan lebih dari 63 Juta akun (dikutip dari laman kominfo.go.id). Jejaring sosial tidak hanya berfungsi sebagai koneksi antarmanusia melainkan juga menjadi sarana berbagi, berdiskusi hingga mengkritisi. SE Kapolri ini dikhawatirkan akan mereduksi sikap kritis masyarakat internet (netizen) dalam merespon setiap isu-isu yang berkembang dan kebijakan-kebijakan pemerintah meski tidak satupun dalam poin edaran tersebut menyebutkan criticism sebagai salah satu bentuk hate speech.

Kita sama-sama tahu bahwa sikap kritis sangat diperlukan dalam proses transformasi berbangsa dan berdemokrasi. Mudahnya bertutur dengan Presiden dan para menterinya, kepala-kepala daerah, pejabat pemerintahan, anggota dewan melalui akun resmi masing-masing adalah satu sarana untuk membangun diskursus-diskursus konstruktif untuk bersama-sama memikirkan masalah dan nasib bangsa ini. Berdasarkan pengamatan penulis di diskusi-diskusi media sosial banyak netizen yang membawa konsep, pemikiran dan ide yang justru lebih cemerlang dari postingan sekaliber menteri atau kepala daerah. Oleh karena itu, sikap kritis harus dilihat sebagai check and balance bukan tindakan makar.

Filsuf bahasa J.L. Austin pernah menulis buku berjudul How To Do Things With Words. Salah satu pokok bahasan yang sangat relevan dengan cara kita berbahasa dewasa ini adalah teori ternama di kalangan masyarakat linguistik yaitu Speech Acts. Dalam teori ini terdapat tiga aspek mendasar dalam tiap ujaran (utterances) yaitu locution (bentukan bahasa), illocutionary force (tindakan yang dilakukan melalui ujaran) dan perlocutionary act (dampak dari tindakan). Teori ini menggeneralisasi bahwa semua tindakan bisa dilakukan dengan kata.

Misal, tindakan mengkritisi bisa saja dilakukan melalui pilihan kata, frase, kalimat  dan segala bentukan bahasa (form and meaning) yang dapat kita pilih dan pilah. Pemilihan dan pemilahan bentukan bahasa baik dalam ragam tulis dan lisan yang tercermin dalam cara kita berbahasa inilah yang sebenarnya diancam dalam surat edaran tersebut. Belajar dari teori ini, sikap kritis tidak harus diungkapkan dengan kata atau kalimat-kalimat kasar, mendiskreditkan satu pihak, mengandung unsur penghinaan dan bermuatan kebencian. Sebaliknya, bisa menggunakan bentukan bahasa dan pemaknaan yang santun tanpa mengurangi esensi dari sikap kritis itu sendiri.

Netizen Harus Hati-Hati

Harus diakui bahwa akhir-akhir ini kita dapat dengan mudah melihat postingan berita, komentar-komentar, ujaran-ujaran yang tidak pantas dan mulai mengancam keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara. Pesatnya kemajuan teknologi komunikasi melalui media sosial ini hendaknya digunakan dengan bijak dan penuh kewaspadaan. Dengan jumlah pengguna yang signifikan, jejaring media sosial menjadi pilihan paling efektif untuk membentuk opini publik. Setiap orang dengan sukarela sign up untuk dapat mengakses semua informasi dan terhubung dengan pengguna lainnya secara instan melalui telepon pintar.

Ironisnya, efektifitas jejaring sosial sebagai mode komunikasi massa dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan tindakan negatif melalui tulisan-tulisan virtual yang mengarah pada penghasutan, pencemaran nama baik, penghinaan hingga provokasi. Tindakan negatif ini diperparah oleh penyebaran yang cepat melalui copy-paste link yang disematkan pada dinding virtual masing-masing. Tidak sedikit netizen yang menjadi korban “see something say something” tanpa menggali dan memverifikasi kebenaran berita tersebut.

Fenomena lain, seperti pewarta warga (citizen journalism) yang telah menjadi trend masyarakat digital harus lebih mengedukasi dengan konten-konten berita yang aktual, tidak fiktif, tidak dipelintir dan berisikan pesan moral. Jika terlibat dalam diskusi-diskusi di medsos hendaknya menghindari komentar-komentar yang menyulut kebencian dan penghinaan terhadap individu atau kelompok sebagaimana tertulis dalam poin-poin SE tersebut diantaranya SARA, kaum difabel dan orientasi seksual.

Polisi Jangan Kecolongan

Publik pasti memberikan dukungan terhadap upaya Polri sebagai pihak yang berwajib untuk menegakkan hukum terutama dalam menertibkan kesantunan berbahasa. Melalui SE ini, tentu masyarakat akan berpikir panjang bahkan urung untuk berulah menebar kebencian. Dalam perspektif nasionalisme, semua komponen bangsa pasti mengapresiasi langkah Polri untuk menangkal ujaran-ujaran kebencian yang berpotensi merusak tatanan keharmonisan dan persatuan kehidupan bangsa Indonesia. Namun, di sisi lain Polri perlu mempertimbangkan asas kesetaraan hukum dan penegakkan hukum karena tidak menutup kemungkinan SE ini disalahgunakan untuk mengkriminalisasi seseorang atau kelompok demi tujuan tertentu, membungkam lawan-lawan politik, dan mengintimidasi.

Langkah Polri ini jangan sampai menjadi kontraproduktif karena kurang matangnya kajian yuridis, kultural dan filosofis. Misalnya SE ini harus memiliki mekanisme penegakkan yang lebih jelas misalnya indikator-indikator apa saja yang disebut hate speech. Langkah lanjutan ini sangat perlu untuk menepis adanya isu bahwa SE adalah cara-cara orde baru dengan menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan dikebirinya sikap kritis serta kebebasan berpendapat. Kesadaran masyarakat untuk mengkonstruksi pemikiran melalui ujaran-ujaran akan terus bergerak seiring dengan kematangan dalam berdemokrasi namun penegakkan hukum juga harus dijalankan demi keadilan dan keamanan bersama.

Oleh: Edi Ramawijaya Putra

*Penulis Adalah Mahasiswa Program Doktoral Linguistik Terapan Universitas Atma Jaya Jakarta

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun