Mohon tunggu...
Edi_akhiles
Edi_akhiles Mohon Tunggu... -

Writer, Traveler, Rektor @KampusFiksi, Kandidat Doktor Islamic Studies, at Jogjakarta - Madinah - Manchester

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

MELERAI PERKELAHIAN OBYEKTIVITAS DAN SUBYEKTIVITAS DALAM STUDI AGAMA (Studi Pemikiran Ian G. Barbour dalam “Isu-isu dalam Sains dan Agama”)

1 Juni 2012   04:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:32 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[22] Ibid., hlm. 266-267.

[23] Ibid., hlm. 268-269.

[24] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chichago Press, 1982); Abdul Mustaqim, Epistemologi, hlm. 90-99.

[25] Menurut Rahman, ayat potong tangan dalam “asy-syariku was syarikatu faqtha’u aidiyahuma…” tidak layak lagi untuk dipertahankan sebagai perintah mutlak memotong tangan pencuri. “Ideal moral” ayat tersebut adalah untuk mengamputasi pelaku dari perbuatan mencuri tersebut. Sedangkan konteks kultural masyarakat Arab masa itu adalah mereka merasakan aib yang sangat hebat bila mengalami kecurian, sehingga potong tangan diberikan sebagai hukuman setimpal. Hari ini di mana situasi kulturalnya sudah jauh berbeda, maka potong tangan secara fisik tidak lagi perlu dipertahankan, tetapi jauh lebih berharga untuk memksimalkan prinsip moral amputasi tersebut. Maka hukuman penjara atau denda, misalnya, sudah memadai sebagai terjemahan dari ayat tersebut. Dalam kasus korupsi, misalnya, diterapkannya Undang-Undang Pencucian Uang oleh KPK belakangan ini kepada para koruptor bisa dipahami sebagai “pengerasan amputasi” tersebut. Dan ini jauh lebih menghasilkan pesan positif agar mereka tidak lagi melakukan korupsi.

[26] Saeed, misalnya, menyatakan bahwa dalam menafsirkan teks suci akan selalu bersifat interaktif, di mana penafsir berperan aktif dalam memproduksi makna teks, bukan sebagai penerima pasif yang secara sederhana “menerima” maknanya”. Abdullah Saeed, Interpreting, hlm. 119.

[27] Lihat, misalnya, Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting The Ethico-Legal Content of Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki, Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (London: The Institute of Ismail Studies, 2004), hlm. 42-44.

[28] Muhammad Syahrur, Prinsip, hlm. 54-57. Abdul Mustaqim, Epistemologi, hlm. 186-208.

[29] QS. Al-Isra’ (17):32.

[30] Abdul Mustaqim, Epistemologi, hlm. 224-230.

[31] Karl R. Popper, Logika, hlm. 33-35.

[32] Hermeneutika secara umum didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani, hermeneuien, dengan arti menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan. Kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata Hermes, seorangdewa dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas utama Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari gunung Olimpus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Sayyed Hossein Nashr memiliki hipotesis bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam al-Qur’an, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. Bagi Nabi Idris atau Hermes, persoalan krusial yang harus diselesaikan adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar dapat dipahami oleh manusia yang berbahasa “bumi”. Dari sini makna metaforis dari profesi tukang tenun/ memintal muncul, yaitu memintal atau merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia. Hermeneutika karenanya dipahami sebagai sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari makna, rasional dan dapat diuji. Sebagai sebuah seni, ia harus menampilkan sesuatu yang baik dan indah tentang suatu penafsiran. Pada prinsipnya, hermeneutika berkaitan dengan bahasa. Setiap kegiatanmanusia yang berkaitan dengan berpikir, berbicara, menulis dan menginterpretasikan selalu berkaitan dengan bahasa. Realitas yang masuk dalam semesta perbincangan masnusia selalu sudah berupa realitas yang terbahasakan, sebab manusia memahami dalam bahasa. Kata-kata, sebagai satuan unit bahasa terkecil yang memiliki makna, selalu merupakan penanda-penanda realitas. Pemberian penanda itu sendiri sudah selalu berupa penafsiran. Oleh karena itulah, persoalan filsafat abad ke-20 ini selalu terkait dengan persoalan bahasa. Masalah pemahaman adalah masalah tekstual, artinya begitu kita mau memahami realitas, ia sebenarnya sedang menafsirkan sebuah “teks”: “teks” itu sendiri seluas realitas. Bahkan Derrida secara radikal menyatakan bahwa “everything is text and there is nothing beyond the text”. Melalui bahasa orang berkomunikasi, namun dengan bahasa pula seseorang bisa salah paham dan salah tafsir. Hans-Georg Gadamer menyatakan bahwa bahasa merupakan modus operandi dari cara berada manusia di dunia dan juga merupakan wujud yang seolah-olah merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Bahkan Martin Heidegger mengatakan bahwa semua pemahaman (verstehen) bersifat kebahasaan, intensional dan historikal (language is the house of Being). Lihat, Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique (London, Boston, and Henley: Routledge & Kegan Paul, 1980), hlm. 1; Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, volume 6 (New York: Macmillan Publishing Company, t.t.), hlm. 279; E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm.23; Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (New York: State University Press, 1989), hlm. 71; W.Pespoprodjo, Interpretasi (Bandung: Remaja Karya, 1987), hlm. 69; M. Nafisul Atho’ (ed.), Hermeneutika Transendental (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 14-17.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun