Kegilaan menjadi relatif karenanya. Jangan-jangan apa yang kita tuduh gila hari ini adalah diskursus yang berharga untuk mengubah episteme kita.
Sebagai tokoh postmodernis, Foucault sama sekali tidak mengaitkan diskursus apa pun sebagai akar diskontinuitas terhadap episteme apa pun dengan “benar-salah” atau “baik-buruk”. Baginya, semua benar secara relatif. Tidak ada kebenaran tunggal dalam sejarah peradaban manusia, karena yang terjadi selalu adalah soal siapa dan apa yang menjadi “episteme” pemangku kuasa dan peradaban itu.
Atas dasar ini pulalah kiranya Foucault tidak pernah ragu untuk memperoklamirkan dirinya sebagai seorang homoseksual. Ya, mudah dimengerti, karenanya bagi Foucault pilihan homoseksual atau tidak bukanlah pilihan salah-benar, gila-normal, tetapi soal diskursus di hadapan episteme.
Sulit buat siapa pun yang berlandaskan “keyakinan religius” untuk menerimanya, juga saya. Tetapi filsafatnya tentang diskontinuitas itu sangat berharga buat kita semua, karena hanya dengan gerakan diskontinuitaslah maka peradaban baru akan lahir dan terus lahir sebagai sebuah pembebasan.
Jogja, 27 November 2011