Mohon tunggu...
Edi_akhiles
Edi_akhiles Mohon Tunggu... -

Writer, Traveler, Rektor @KampusFiksi, Kandidat Doktor Islamic Studies, at Jogjakarta - Madinah - Manchester

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Diskontinuitas Foucoult (Pengetahuan, Episteme, Diskursus, Kuasa, dan Peradaban)

27 Mei 2012   07:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:44 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang menakjubkan dari pemikiran Foucault di sini kemudian ialah apa yang disebutnya sebagai “diskontinuitas” (patahan, ambang, keretakan, rupture). Sekali lagi, Foucault sama sekali tidak pernah mengaitkan peradaban apa pun dengan kalkulasi “benar-salah atau baik-buruk”. Baginya, setiap peradaban adalah khas, unik, tersendiri, karena kekhasan episteme itu. Dan, kekhasan setiap episteme dan peradaban itu lahir karena gerakan “diskontinuitas” itu. Soal apakah diskontinuitas itu menghasilkan sesuatu yang lebih baik atau tidak, itu bukan poin utama Foucault. Tetapi melalui diskontinuitas itulah, babakan peradaban manusia terus berjalan.

Dengan kata lain, jika ada sebuah wajah kuasa peradaban yang tidak menempuh diskontinuitas itu, maka peradaban itu akan mati. Episteme-nya akan macet. Sehingga, agar peradaban tidak mati, maka dibutuhkan diskontinuitas itu, yang dipicu oleh menyeruaknya “diskursus”. Bagi Foucault, diskursus bukanlah sekadar wacana, tetapi pengetahuan-pengetahuan yang berbeda dengan arus utama episteme itu. Semakin menguat diskursus itu, maka akan semakin mendorong lahirnya diskontinuitas. Seiring dengan runtuhnya episteme lama akibat desakan diskursus-diskursus yang memicu diskontinuitas itu, maka diskursus itu akan menduduki kursi episteme baru, yang lantas menjadi peradaban baru itu pula. Inilah yang menjadikan setiap babak peradaban sedemikian unik dan khasnya.

Diskursus-diskursus yang menyeruak ke hadapan episteme ini tentu tidak akan mudah untuk menjelma episteme baru. Episteme lama selalu berusaha meruntuhkan diskursus-diskursus itu agar tidak memicu diskontinuitasnya. Berbagai cara dilakukan, dan yang menarik lagi dari Foucault dalam konteks ini ialah penerjemahannya tentang kegilaan (madness).

Coba Anda cermati lagi ilustrasi di awal tulisan ini. Sebutan “gila” (abnormal, atau apa punlah padanannya) disorongkan oleh episteme terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda dengannya. Sebutan gila ini jelas merupakan bagian strategis dari episteme untuk meruntuhkan diskursus agar tidak melecutkan diskontinuitas itu. Sehingga, dari sisi diskursus “para korban episteme” itu, yang disebut gila atau abnormal itu, hasilnya menjadi berbeda. Justru episteme itulah yang abnormal alias gila.

Lalu, siapakah sebenarnya yang gila? Yang abnormal? Yang ora nggenah?

Episteme sebagai pemangku kekuasaan itulah yang menjadi penentunya. Kenapa episteme? Karena episteme-lah yang berkuasa, dan kekuasaan itulah yang mempengaruhi seluruh organ peradaban untuk menyatakan diskursus itu sebagai “orang gila”. Sementara, dari sisi diskursus dan diskontinuitas itu, mereka “menjadi gila” lantaran digilakan oleh episteme, bukan kegilaan dari diskursus itu sendiri.

Ahhh…menarik sekali kalau pemikiran ini dicoba-terapkan pada sosok orang-orang besar dalam catatan sejarah dunia yang menjadi panglima diskontinuitas itu.

Nabi Muhammad Saw, misalnya. Di hadapan episteme Mekkah waktu itu, suku Quraisy, beliau dituduh gila, sesat, abnormal, karenanya dikejar untuk dibunuh. Ini akibat beliau membawa ajaran Islam sebagai “diskursus” di hadapan episteme Arab waktu itu. Episteme Arab yang politeis, merendahkan wanita, gemar perang antar suku, dll., didesak oleh diskursus Islam yang dibawa Rasulullah, yang berbeda dengan episteme itu, seperti mengajarkan tauhid, memuliakan wanita, melarang khamer, membunuh, dll.

Andai, andai nih ya, Rasulullah tidak pernah membawa diskursus Islam itu di hadapan episteme Arab, dan beliau tidak gigih memperjuangkan diskursusnya sehingga mampu melecutkan diskontinuitas peradaban Arab, niscaya kita hari ini takkan pernah merasakan pesona cahaya Islam.

So what?

Dari sisi Quraisy, Nabi diklaim gila karena diskursusnya. Dari sisi Nabi, diskursusnya adalah pengubah kebarbaran episteme Arab. Ketika diskontinuitas itu terjadi, mewujudlah diskusrsus itu sebagai episteme, membentuk kuasa dan peradaban, dan itulah Islam yang kita kenal hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun