Sajak-sajakÂ
       Edho Surya Dinata
NAFAS TILAP IKAN BETOK
Usai telah menyemai padi
Do'a peluh ada
pada setiap bulirnya
Sepanjang masa
itu kami menempa
Hingga tangan
menyuapi hidup
   Kini bergulir
   musim pada saatnya
   Tanah sawah
   adalah padang rumput
   yang dirayapi air beriak-riak
   hingga tergenang
  segenap hamparannya
Menjadilah ia lebak berawa
Sejuk recap airnya
kadang menyentuh pinggang
Mengapung perahu ketek
hingga ketengahnya
Mencari tilap betok
untuk kami
menyambung nafas.
HUJAN MALAM DI SARANGLANGÂ
Menepikan kelana
di Saranglang
Melabuhkan akad
pada perempuannya
Telah meniup-niup nyawa
pada gemeratak reot kayu
bebunyian dinding
sebuah kamar
yang serta merta ditimpa hujan deras
 Akankah anakku menangis
 Seperti sedu sedan
 hujan deras malam ini
 Ketika ayah ibunya bersatu
 merangkai nyawa ?
Menangislah nak !
air mata akan membuat mata bening laksana intan
  Kita adalah kedhoifan
  yang menanggung
  beban berat
  Maka ada kehendakNya
  yang maha agung
  dikehadiran wujudmu kelak
Aku, ayahmu ini
hanyalah lelaki pengembara
di belantara rimba fana
yang hanya menunaikan iradah
Melaksanakan KemahaAgungan kehendak-Nya jua
 Dan kenanglah
 kakek moyangmu
 Adam Hawa merangkai kami
 Demikian kami
 merangkai kamu
 Hanya saja
 Mungkin kau akan mahsyur
 Dengan namamu
 yang bercahaya mata
Demikian menyenangkan hujan ini
     ( Saranglang adalah nama sebuah desa di Pemulutan barat Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan)
LAYANG-LAYANG PUTUS
Mengenang bingen,
Adalah anak-anak
yang Ibunya pembuat layang-layang
Dari sejak dibelikan susu
hingga membelikan susu
dirasai lembar layang-layang
Ya, !. Ibunya adalah pembuat layang-layang yang handal
Membagi keceriaan
pada sesama
hingga segala layangan menaiki langit
Meliuk-liuk diantara awan
Terkadang menukik
atau tenang saja di udara
selama bertahun-tahun
sampai layangan putus
di sambut keharibaan
PERAKIT PERAHU
(Kepada Alm. Hj Saudah)
Engkaulah bunda
perakit perahu
Mengalirkan kasih pada asuhan termanis
mengiring langkah-langkah
Pemberian itu
buah ketulusan
Merela harap
mereguk balas.
WANITA PENENUN SONGKETÂ
Beriro ini adalah sebatang unglen yang di serut
Benangnya adalah jalinan rakam yang bewarni
Merah, biru, putih, hijau
dan juga emas
Sedangkan bila lidi-lidi
adalah motif rangkai
yang berkembang
Begitu menghentak-hentak
Kala beriro beradu pinggiran
di ujung pelipir
Menyusun runsen
yang ditahan perut
Setiap hari atau malam
Di sepanjang aliran musi
Pada jemari para wanitanya
yang menyimpan naluri ketekunan alamiah
Maka kain
dan selendang songket ini
dikenakkan ketika itu.
MENJELANG LELAP
Mataku mohon terpejalah
Hai hati yang memegang titah
di kerajaan tubuh
Titahkan pada mata
tuk terpejam
Titahkan pada bibir
tuk tersenyum
Dan kau sendiri
bersandaralah barang sejenakÂ
CERITA PAGI
Kilau embun
urai sukma
percikkan sejuk
Serunai pipit
nan kirana
mekar di pucuk
Dalam arus menabuh air
merangkai nada
Sabda puja
PASAR KALANGAN
Bahkan kini mall virtual
hanya sedikit tekan mengulik
tombol berapa
pada smartphone
Maka jual beli kelaikkan pasar
ada di gerak jari
Bahkan kini pasar kalangan
masih ampuh
mengguratkan nostalgia
Bersama menjual pakaian
Bersama membeli lakso
dan sekian tandan pisang mas
juga pisang gedah
Bahkan menukar barter
Seperti dahulu
Tentang penulis,
Edho Surya Dinata, lahir di Palembang 6 Juli 1983, Menyenangi dan mulai menulis puisi sejak SLTP. Beberapa puisi dan cerpennya pernah dimuat di beberapa media.
Kini Edho berdomisili di Desa Saranglang Pemulutan barat Ogan Ilir Sumatera Selatan. Selain bertani, Edho juga masih tetap menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H