Kerumitan dari sistem pluralitas terbatas muncul pertama kali pada parlemen hasil pemilu 1999. Pada kontestasi untuk memperebutkan jabatan presiden, terjadi pemilahan atau pengelompokkan antara kelompok yang mendukung B.J Habibie dengan disponsori oleh Partai Golkar, dan kelompok pemenang pemilu yaitu PDIP. Namun pencalonan kedua tokoh tersebut mendapatkan reaksi yang keras dari dalam parlemen itu sendiri dan dari masyarakat luas pada umumnya. (Pamungkas 2011: 162)
B. J Habibie tidak mendapat dukungan yang cukup kokoh dari internal Partai Golkar dan mendapat penolakan dari beberapa kelompok pro-reformasi. Sedangkan Megawati mendapatkan resistensi dari partai-partai Islam dan partai-partai lainnya karena dianggap terlalu mengandalkan kemampuannya sendiri, sehingga mengecilkan dukungan yang didapat dari partai lain.
Di tengah kebuntuan situasi tersebut, kemudian Amien Rais membentuk kekuatan dengan partai-partai Islam yang dikenal dengan istilah Poros Tengah. Poros Tengah tersebut berisi faksi-faksi Islam dan Partai Amanat Nasional. Politik konsolidasi yang dilakukan oleh tokoh Islam ini berusaha untuk mencari jalan keluar dari sikap saling menolak terhadap alternatif calon presiden yang telah ada.
Poros tengah akhirnya mengusulkan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa, KH Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden alternatif. Di tengah perjalanan kontestasi pemilihan presiden tersebut Habibie mundur sebagai calon presiden karena pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR. Kontestasi akhirnya hanya tinggal Gusdur dan Megawati. Hingga pada akhirnya kontestasi pemilihan presiden ini dimenangkan oleh Gusdur dan Megawati ditempatkan sebagai wakil presiden dengan Amien Rais sebagai ketua MPRnya. (Pamungkas 2011: 163)
Terkait dengan amandemen UUD 1945, terjadi perdebatan yang sengit mengenai masalah-masalah dasar negara dan agama. Diskursus baru bisa diakhiri setelah tiga tahun terjadi pertarungan ide dan gagasan. Fraksi PDIP, fraksi KKI, dan fraksi PDKB yang dapat dikelompokkan sebagai partai yang beraliran nasionalis-sekuler-dan reformis moderat berpandangan bahwa Pancasila perlu masuk dalam pasal-pasal UUD. Sedangkan partai-partai yang menjadikan Islam sebagai asas dan cita-citanya berpandangan sebaliknya. (Pamungkas 2011: 163)
Dalam masalah agama dengan konteks keberlangsungan pasal 29 UUD 1945, terjadi perdebatan tentang Piagam Jakarta yang ingin dimasukkan dalam amandemen. Partai-partai Islam tentu menjadi pendukung mengenai wacana dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam amandemen, sementara di pihak yang lain partai-partai nasionalis dan Kristen menolaknya.
Hingga pada akhirnya kedua fraksi yang saling bersilang pendapat mencapai kompromi. Mereka bersepakat bahwa Pancasila dan Piagam Jakarta tidak dimasukkan dalam pasal-pasal, tetapi kompensasinya adalah dimasukkannya kata-kata "Iman, Taqwa, dan Akhlaq" dalam bab pendidikan. Menurut hemat kami, hal tersebut terjadi karena karakteristik seorang Muslim yang legowo dan ikhlash dalam menggapai cita-cita yang gagal diperjuangkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H