Misalnya, dana lem Aibon yang diinputkan staff pada Dinas Pendidikan tersebut, harus dicek terlebih dahulu oleh Kepala Seksi, Kepala Bidang, sampai Kepala Dinas, baru bisa naik sebagai informasi publik.
Kejadian sekarang membuktikan tidak adanya sistem kontrol dalam SKPD itu sendiri, dalam hal ini Dinas Pendidikan. Paradigma yang dipakai dalam sistem kontrol yang dimaksud, berorientasi kepada tanggung jawab para pejabat yang ada dalam instansi, alih-alih bergantung pada rule sistem elektronik semata.
Kemudian pertanyaan muncul: “Kalau demikian, kapan lingkaran setan ini akan berakhir? Bukankah kontrol oleh manusia lebih rawan?”
Jawabannya ada di transparansi. Ketika produk kontrol oleh para birokrat ini bisa diakses publik, proses di dalam instansi menjadi seperti aquarium, bisa diintip dari segala sisi. Ketika publik menilai produk birokrasi ini tidak benar, maka tuntutan keberatan bisa memicu adanya pengecekan terhadap proses birokrasi yang terjadi sebelumnya.
Akan ketahuan, siapa sih yang meloloskan inputan yang aneh ini? Sistem e-Budgeting yang ideal akan me-record setiap ada persetujuan item komponen baik itu dari Kepala Seksi, Kepala Bidang, Kepala Dinas, maupun pejabat lain yang berhubungan.
Apa keuntungannya? Selain fungsi kontrol, performa para birokrat juga bisa terlihat. Alhasil, para pengambil kebijakan bisa memilih untuk mengevaluasi para birokrat yang tidak perform dengan baik dalam tupoksi mereka.
Jadi pak Gubernur alih-alih berfokus membenahi sistem elektronik untuk otomatis memvalidasi inputan, buat saja sistem yang membuat mereka ‘takut’ untuk bermain, dengan kesadaran bahwa pekerjaan mereka sedang dipantau masyarakat bahkan pak Gubernur sendiri.
Lagipula, aneh kalau pak Gubernur menyoroti repotnya memeriksa satu-satu item komponen pake mata. Bukankah itu sudah menjadi tanggung jawab para birokrat? Terlebih lagi, item komponen tetap akan melalui proses pembahasan di DPRD, yang disana akan dilakukan penyisiran satu per satu. Sama saja. Dalam hal sepenting uang rakyat, pengecekan manual adalah hal yang tidak terhindarkan.
Mari kita mengubah paradigma kita tentang sistem. Jangan sampai kita terjebak pada masalah yang tidak substansial, sementara banyak PR yang harus diselesaikan dalam birokrasi, manusia-manusia itu sendiri.
Rasanya tidak berlebihan berkata bahwa, secanggih apapun sistem elektronik, kalau penggunanya tidak andal, percuma saja. Secanggih apapun mobil F1, kalau pengendaranya amatir, semua sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H