Ada beberapa contoh lain yang terjadi dengan komponen yang berbeda seperti pulpen, dll. Data dummy tersebut akan diubah dengan komponen yang sebenarnya setelah proses pembahasan.
Munculah argumen kontra dari beberapa pihak.
"Harusnya gak bisa diinput sembarang begitu. Masa' uang rakyat dikira-kira", "Ini berarti tidak profesional. Harusnya ada perencanaan yang matang di tiap SKPD untuk detail pengadaan", "Harus ada sanksi bagi SKPD yang lambat menyusun komponen sampai harus membuat data dummy".
Ribut-ribut ini akhirnya membuat Gubernur Anies Baswedan angkat bicara. Gubernur membawa ide untuk meng-upgrade sistem. "Sistem itu sekarang sudah digital, but not smart" -- kata pak Gubernur.
Lebih jauh lagi, Gubernur Anies menyoroti sistem yang menerima inputan yang tidak wajar tersebut. "Kalau sistemnya smart, inputan yang tidak wajar itu harusnya ditolak".
Sebagai orang yang bergelut dibidang teknologi informasi dan pengembangan sistem elektronik, saya tertarik untuk mengangkat ini sebagai topik tulisan.
Terlepas dari perdebatan apakah ini merupakan tindak curi-curi kesempatan untuk 'bermain' anggaran atau murni salah input, tulisan ini hanya sebatas membahas dari sisi sistem saja, tentang ide dari Gubernur Anies Baswedan.
Mungkinkah membuat sistem yang bisa mendeteksi kesalahan input anggaran?
Validasi Digital dan Nilai Pembanding
Pertama-tama kita harus paham, bagaimana cara sistem elektronik yang tidak memiliki daya pikir seperti manusia, bisa melakukan pengecekan terhadap nilai yang diinputkan manusia ke dalam sistem.
Validasi yang dilakukan sistem elektronik sederhananya hanya merupakan perbandingan nilai berdasarkan suatu rule atau aturan. Nilai yang diinput manusia akan dibandingkan dengan suatu nilai lain yang jika hasil perbandingan tersebut tidak memenuhi kondisi yang diberikan, maka validasi dianggap gagal. Mari kita perjelas dengan gambaran yang lebih konkrit.