Faktor-faktor teknis diagnosa dan variabel-variabel kasus per kasus itu dikesampingkan demi artikel yang ramah pembaca awam.
Kembali ke perilaku self-diagnosis. Kita persempit konteksnya ke gangguan mental. Orang-orang yang melakukan self-diagnosis itu biasanya terbagi menjadi dua tipe yaitu:Â
1. Orang yang tidak punya waktu untuk konsultasi dengan profesional sampai harus 'tersesat' dengan informasi yang dibaca di internet, dan 2. Orang yang mengklaim dirinya mengalami gangguan mental karena termakan glorifikasi.
Kasus yang pertama sudah jelas. Orang tersebut hanya tidak memiliki waktu saja dan terbawa dengan informasi-informasi 'dini' yang dia dapatkan. Ada suatu fenomena yang dinamakan Barnum Effect.Â
Ini adalah fenomena psikologis dimana seseorang diberikan deskripsi yang sangat akurat tentang dirinya, membuatnya percaya bahwa deskripsi itu benar-benar berlaku padanya padahal sebenarnya deskripsi itu sangat umum bisa berlaku ke banyak orang.Â
Contoh dari fenomena ini adalah yang terjadi pada ramalan astrologi, pembacaan aura sampai pada tes-tes kepribadian. Melakukan riset sendiri di internet terhadap masalah yang kita alami akan sangat mungkin melahirkan fenomena ini.Â
Deskripsi tentang diri kita akan sangat mudah kita terima dan setujui begitu ada saja beberapa hal yang cocok dengan keadaan kita. Padahal metodologi diagnosa itu sendiri sangat rumit dan luas cakupannya, apalagi berbicara tentang kesehatan mental.Â
Psikiater dan psikolog adalah orang-orang yang berkualifikasi mendiagnosa gangguan mental seseorang.Â
Mereka sudah melalui pelatihan, pendidikan serta pengalaman yang luas dan tak terhitung lagi.Â
Sangat tak masuk akal orang-orang ini mengambil pendidikan, pelatihan dan uji yang begitu rumit kalau masalah kesehatan mental bisa dengan mudah didiagnosa dengan 5-10 menit berselancar di internet. Kalau pembaca adalah tipe orang yang ini, langkah yang tepat memang cuma meluangkan waktu dan seek professional help.
Tipe orang yang melakukan self-diagnosis yang kedua adalah yang termakan glorifikasi.