Mohon tunggu...
Edett Mttz
Edett Mttz Mohon Tunggu... -

kepingan yang tersisa,\r\nkunikmati satu-persatu,\r\nbeberapa yang lain sudah kulupakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anda dan Saya di Sore Itu

30 Desember 2012   13:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:47 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

saat itu, kita adalah dua manusia yang hidupnya dipenuhi dengan sejuta fantasy.

seperti orang asing yang punya dunia sendiri.
kita selalu terbang tinggi.

begitu indahnya saya rasakan ketika anda mengambilkan beberapa bintang untuk saya.

yang kemudian anda menyebutnya "guiding light".


itu juga yang menuntun kita melewati ribuan konflik.

teori sang pengadu domba membuat kita terperosok dalam lubang-lubang menyakitkan.


tapi anda selalu ada disamping saya, anda menuliskan puisi-puisi untuk saya.

membuat saya merasa lebih ringan.

mungkin saya adalah sebongkah es, tapi anda mencairkanya kemudian, ketika anda mengambil tangan saya lalu anda bilang :

"ini cuma akan membuat kita merasa lebih kuat".

anda tau? itu sangat menenangkan.


mungkin semacam ikatan yang membuat kita tegar disaat itu.


****


sore itu,

langit begitu kelam, nampak murung.


aku duduk dimeja itu, meja yang menyimpan banyak usia.

kopi sudah terseduh, aromanya begitu kental.

tapi rokok tetap menjadi pemeran utama.


menciptakan sebuah irama, ketika butiran hujan menghantam keras bagian atap rumahku, mengambil alih suasana disore itu.

aku menikmatinya.


tiba-tiba lenyap ketika ada suara didepan pintu, mungkin seorang tamu, tapi siapa disaat hujan lebat seperti ini?

beribu-ribu tanya,

kuhampiri saja, kubuka pelan-pelan, menjawab rasa penasaranku.

ternyata wanita itu, tentu saja aku mengenalnya.

aku sangat mengenalnya.


entah kenapa dia nampak istimewa disore itu.

aku menyapanya, tapi dia tidak memberikan senyuman itu.

tanda tanya besar yang harus kujawab sendiri.


dia berjalan kearahku, menghampiriku.

dia memegang tanganku erat, seperti ingin mengatakan sesuatu, lalu kulihat matanya mulai mencair..

dia tak bicara sepatah kata pun, hanya terus menangis.

seolah ada hal berat yang tidak mampu ia sampaikan.


ku usap genangan di pipinya pelan-pelan, satu persatu, lalu kusandarkan dia dibahuku.

tubuhnya begitu dingin, aku merasakan ada banyak kepedihan dijiwanya.

suasana begitu beku dikala itu.


dia memelukku rapat-rapat, tidak seperti biasanya, entah kenapa dia sangat menikmati.


perlahan ia mulai melepaskan, sepertinya ingin beranjak.


Lalu dia pergi begitu saja, meninggalkan sebuah surat diatas meja.


seorang lelaki mengantarkanya pulang.


aku seperti tersambar petir, sesuatu telah meledak didadaku, menikam bertubi-tubi, nafas begitu berat, jantung berpacu, menggelinjang tidak menentu, rasanya sakit sekali.


saat itu juga aku mengerti kenapa seorang pria harus meneteskan air mata.


****


tentang surat itu,

tentu saja bukan sebuah puisi.

hanya beberapa baris kata yang menyakitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun