Mohon tunggu...
Eddy SATRIYA
Eddy SATRIYA Mohon Tunggu... -

Kolumnis di berbagai media cetak dan elektronik.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Taksi, Kemacetan, dan Otak Pemimpin

16 April 2014   14:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bang Tolong antar anak saya ke Pondok Labu lewat Cinere Mas ya!" demikian pinta saya sambil mengucapkan terima kasih kepada supir taksi itu pada suatu pagi di depan komplek perumahan. Rasa was-was tentu saja menghinggapi karena anak saya masih duduk di kelas 2 SMA dan pagi masih gelap menjelang jam 5 itu.

Ketidakmampuan kita membagi waktu dan badan sering membuat kita harus meminta pertolongan orang lain, baik secara suka rela ataupun berdasarkan aturan bisnis. Hari itu saya tidak bisa mengantar anak gadis saya yang akan pergi Camping bersama teman-temannya ke Cibodas. Saya juga harus mengurus anak gadis satu lagi yang harus berangkat jam 6 pagi.

Demikianlah, sekelumit gambaran betapa kita membutuhkan taksi untuk suatu keperluan. Lebih sering kita membutuhkannya untuk pergi ke kantor, ke resepsi, makan siang  ataupun menuju atau kembali dari bandara.

***

Untuk kota besar seperti Jakarta, taksi sudah menjadi pilihan kedua setelah kendaraan pribadi bagi kebanyakan orang atau kelompok menengah. Ia menjadi alternatif terbaik bagi yang mampu. Bukan hanya sekedar menghemat tenaga, terkadang untuk kondisi tertentu menggunakan taksi juga jauh lebih ekonomis. Terlebih lagi untuk kota besar, taksi sebenarnya bisa menjadi alat utama pengendali atau untuk mengurangi kemacetan di kota-kota besar.

Dengan naik taksi kita mengurangi tekanan untuk badan jalan dan ruangan parkir termasuk mengurangi area yang harus menjadi lahan perhentian sementara. Dengan menaiki taksi dan mengatur jadwal bersama jelas mengurangi jumlah pemakaian mobil, baik dalam kota ataupun antar kota dengan jarak sedang seperti Jabodetabek. Singkat kata taksi sebenarnya jika di manage dengan baik akan menolong warga kota dalam banyak hal.

Sayangnya perlakuan pemerintah sendiri tentang bagaimana taksi diperlakukan agar berbagai tujuan baik di atas bisa tercapai, masih tergolong buruk. Seharusnya taksi diberikan berbagai kebebasan termasuk menggunakan jalan dan lajur yang tersedia. Taksi seyogyanya boleh kemana saja pada jam berapa saja, kecuali memasuki jalan yang bertanda "vorbodden".

Alih-alih memberikan kebebasan kepada taksi atau secara tidak langsung membebaskan penumpang untuk bergerak "mobile" kemana saja, petugas sering secara permanen memaksa taksi harus mengikuti aturan yang berlaku untuk mobil pribadi. Sebagai contoh, di Bundaran Hotel Indonesia (HI) yang menjadi salah satu persilangan strategis untuk pergantian arah, taksi harus patuh mengikuti rambu untuk kendaraan pribadi yang tidak boleh masuk dari arah jalan Diponegoro untuk jam tertentu. Taksi harus memutar dulu ke kolong kereta di Jalan Blora jika harus memutar dari jl DIponegoro ke arah jalan Thamrin pada kurun waktu jam 16-19.

Tidak jarang kita lihat taksi juga harus berputar cukup jauh di depan Gedung Indosat, mengikuti kendaraan pribadi jika datang dari arah Selatan. Serta masih banyak contoh lain tentang larangan arah dan jalan yang boleh dimasuki taksi.

Keharusan mengikuti rambu yang mengurangi kebebasan mobilitas taksi ini tentu saja terkadang mempengaruhi pilihan pengendara mobil untuk akhirnya membawa kendaraan sendiri, karena disamping harus membayar sewa taksi, ia masih juga harus memutar dan membuat perjalanan menjadi tetap sulit. Saya sendiri dan mungkin para pembaca mungkin pernah mengalami pilihan seperti itu ketika harus makan siang. Pilihan menggunakan taksi akhirnya dikalahkan oleh pilihan membawa kendaraan sendiri, yang secara tidak langsung menambah beban kepada kapasitas jalan, alias menambah kemacetan.

Di samping rambu, adanya tarif parkir atau ongkos sekedar lewat suatu gedung juga termasuk "ketidakwarasan" sistem transport yang salah penerapan. Tidak jarang rumah sakit, mall, hotel, dan pusat perbelanjaan dari sekedar ruko kecil hingga yang besar, "memaksa" taksi harus tetap membayar. SAya ingat, sejak 15 tahun lalu, untuk masuk RSAB Harapan Kita, taksi harus membayar. Jangan lagi ditanya pula bagaimana mall "memalak" taksi yang nota bene mengantarkan orang berbelanja ke mall tersebut. Selayaknya, jika taksi membawa penumpang ke dalam mall, jika perlu diberikan bonus. That's economics!

Tidak jarang kita harus membayar Rp 5.000-7.000 hanya untuk sekedar mendrop seseorang ketika masuk sebuah mall tertentu yang hanya butuh waktu kurang dari lima menit. Begitu pula untuk hotel yang berada dalam area yang parkirnya di kelola oleh perusahaan lain, juga diperlakukan sama. Pengenaan tarif parkir buat taksi yang berbeda perusahaan (merk) selain taksi yang dibolehkan "mangkal" di hotel atau mall tertentu terkadang juga memicu pertengkaran antara penumpang yang tidak paham harus membayar dengan supir taksi.

Memang ada beberapa hotel atau mall yang masih memberlakukan "grace periode" atau tenggat waktu tertentu seperti kurang dari 5 menit masih menggratiskan, namun jumlahnya sekarang semakin berkurang.

Selain kedua hal tersebut, juga adanya pembatasan tambahan seperti perlakuan stikerisasi di bandara yang melarang taksi kosong masuk area bandara serta tidak bolehnya taksi berhenti di area strategis,juga menjadi penyebab utama orang tetap menggunakan kendaraan pribadi. Dari sebuah survey kecil yang saya lakukan kepada beberapa supir taksi yang punya langganan, mereka mengeluhkan jika harus menjemput pelanggan mereka ke bandara karena jika tidak berstiker mereka tidak boleh masuk. Akhirnya mereka juga harus putar otak untuk bisa menjemput pelanggannya. Mulai dari sekedar kucing-kucingan dengan petugas atau menyogok, atau membawa saudara dari pelanggan itu dari rumahnya. Terkadang dia harus melakukan pendekatan kepada orang di area tertentu untuk menjadi sekedar joki. Ironisnya, untuk Terminal 3 taksi yang sudah berjasa mengantarkan penumpang yang menjadi konsumen Angkasa Pura, ketika keluar dari lokasi parkir harus membayar sebesar Rp 4.000. Mungkin pikiran managemen Angkasa Pura, "enak aja luh dapat penumpang kakap dan harus berbagi dong sama kami!". May be yes, may be yes!

Tiga kondisi di atas, ketidakbebasan jalur taksi, pengenaan parkir atau retribusi dalam berbagai bentuk lain, dan berbagai bentuk pembatasan tambahan itu  jelas membuat memaksa orang untuk membawa mobil sendiri atau menyuruh supir untuk melakukan penjemputan yang pada ujung nya menambah kemacetan.

Selain ketiga kondisi di atas, tidak jarang kita temui kelakukan pengemudi taksi sendiri yang memilih-milih penumpang juga sering kali memaksa orang untuk membawa lagi kendaraan pribadi. Kelakuan buruk ini sudah sangat "notorius" untuk berbagai bandara, termasuk di Sukarno Hatta, Bandara Juanda, dan Stasiun KA Bandung.

Ketika akses bandara M1 masih dibuka, tidak jarang supir taksi malah berulah jika kita meminta harus lewat belakang menuju arah Serpong. Padahal kondisi atau lokasi tujuan memang memaksa harus lewat daerah Tangerang. TEntu akhirnya kita akan memaksakan diri untuk menjemput saudara atau orang tua yang datang dari daerah atau menyuruh supir untuk melakukan penjemputan. Hal ini tentu akan berimbas kepada tambahan kemacetan.

Ketika menginap di sebuah hotel berbintang 5 di Yogyakarta saya temukan dua orang supir taksi yang menggunakan argo meter menjawab, "mereka nakal pak, kami selalu dikasi yang buangan!", ketika saya betanya mengapa harus cukup lama menunggu taksi, padahal ketika jogging di sekitar pelataran parkir saya melihat banyak taksi stand bye. Rupanya conscierge atau bell boy di hotel tersebut mengupayakan agar tamu yang membutuhkan taxi sedapat mungkin menggunakan taksi hotel. Sungguh suatu keteledoran yang tidak perlu, karena hanya mengharapkan komisi.

***

Untuk kota Bandung, saya pernah berargumen kepada seorang teman bahwa dengan membereskan taksi dikota itu, saya jamin kemacetan Bandung di akhir pekan atau libur panjang akan bisa berkurang. Usulan kreatif saya ini semula dicibir oleh seorang teman yang pakar perencanaan kota. Tetapi setelah saya jelaskan ia mulai "mantuk-mantuk" mengaminkan.

Saya sampaikan kepadanya, jika pemkot bandung yang sekarang dinakhodai oleh Ridwan Kamil mampu membereskan taksi kota, maka kemacetan akan berkurang, tegas saya.

Pertama, taksi di stasiun kereta dan Bandra harus dirapikan dan diatur antrian yang baik serta harus memakai argo dengan jumlah pembayaran minimum tertentu, sehingga Sang Supir taksi tidak harus mengomel dan merasa dirugikan jika penumpang ternyata harus di antar ke lokasi yang tidak terlalu jauh (argo rendah). Jika kota-kota sedang lain bisa, Bandung mestinya bisa mengatur stasiun KA dan Bandara mereka. Jika memang sulit mengaturnya, taksi gelap yang selama ini beroperasi tetap diberikan jatah dengan aturan yang ketat.

Kedua, untuk dalam kota semua taksi diwajibkan memakai argo. Selama ini jika kita menyetop taksi di Bandung, maka nyaris 90 % harus melalui tawar menawar yang terkadang menjadi ajang "gelut" jika kedua pihak saling tersinggung. Padahal yang mengawali lebih sering si supir taksi. Dari beberapa kali survey yang saya lakukan ini memang kenyataan, kecuali kita menyetop di pangkalan tertentu di daerah Pasteur atau memesan lewat telepon.

Saya sampaikan jika taksi di stasiun dan bandara serta dalam kota Bandung ini bisa ditata dengan standar internasional, saya yakin kemacetan akan berkurang. Pertama, orang lebih memilih memakai kereta api yang mengantarkan penumpangnya dari pusat kota ke pusat kota.

Kedua, pilihan berikutnya adalah bagi yang berpergian sendiri atau hanya berdua, maka naik travel antar kota masih jauh lebih ekonomis.

Dengan menggunakan kereta api dan travel, para pelancong atau turis lokal akan lebih nyaman karena angkutan dalam kota bandung juga tersedia sangat banyak untuk berbagai tujuan. Meski berganti kendaraan, jarak yang tidak terlalu jauh dan udara yang sejuk masih nyaman untuk naik kendaraan umum di banding menyetir kendaraan pribadi ditengah kemacetan.

Nah, jika taksi sudah bisa menggunakan argo, ia juga akan menjadi pilihan untuk mengantar pelancong sekedar makan malam atau kuliner ke daerah lain seperti di kawasan Dago Utara yang juga memiliki ruang parkir terbatas ditambah dengan terjalnya jalan yang terkadang tidak mudah dilalui dengan santai.

***

Kita tentu sangat berharap agar perubahan visi aparat terhadap pengaturan taksi dan juga kebijakan yang tegas untuk penerapan argo yang menjadi referensi pembayaran bagi penumpang dan supir ini bisa diperbaiki. Di samping itu ketegasan aturan pembayaran retribusi parkir, misalnya pembebasan untuk taksi atau memberikan "grace period" juga dapat ditegakkan tanpa kecuali akan sangat menolong bisnis taksi dan tekanan terhadap ruang. Untuk Jakarta dan kota sedang seperti Bandung kondisi ini sudah merupakan keharusan jika kita memang berniat mengurangi kemacetan.

Semoga kondisi amburadul pertaksian ini bisa diperbaiki oleh penguasa atau aparat yang sudah menepuk dada bahwa ia adalah pemimpin yang reformatif.

Taksimu menunjukkan kondisi negaramu dan kualitas otak serta visi pemimpinmu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun