Mohon tunggu...
Eddy SATRIYA
Eddy SATRIYA Mohon Tunggu... -

Kolumnis di berbagai media cetak dan elektronik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pakta Integritas dan Reformasi Birokrasi

8 Oktober 2014   15:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:54 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Status saya beberapa hari lalu di FB yang mengomentari wawancara Abraham Samad dengan Andi F Noya dalam acara "Kick Andi" langsung mendapat komentar miring dan juga mendukung. Biasa. Kita harus memahami dunia maya. Banyak masyarakat yang bebas mengomentari ucapan atau kicauan atau opini seseorang seperti halnya pers kita di era kebebasannya yang memberlakukan motto "Sekali Merdeka, Merdeka Sekali".

Status itu pada dasarnya adalah mengkritik kebiasaan seorang pemimpin yang sedang naik daun atau dipuja-puja seluruh negeri dan dunia luar, yang melupakan praktek-praktek yang terjadi di tingkat akar rumput atau "grass root". Banyak pemimpin negeri ini yang ketika sampai ke pucuk tertinggi, terus melambung dan dilambungkan ke tingkat lebih tinggi lagi hingga melupakan praktek yang terjadi di lingkungan masyarakatnya sendiri. Ujungnya, ia akhirnya tersungkur dan tidak bisa melanjutkan visi misi nya yang sebenarnya sangat bangus dan dibutuhkan rakyat dan bangsanya.

Sekedar contoh, masih belum lekang dari pikiran kita bagaimana Prof Nazarudin Syamsudin dkk yang terjerembab oleh kasus KPU belasan tahun silam. Saya ingat betul, bagaimana Sang Profesor ketika sampai dipucuk tertinggi KPU di era tersebut terus mendapatkan pujian dari dalam dan luar negeri, termasuk dari almamaternya sebuah universitas terkenal di Australia. Dan yang terakhir adalah Prof Rudi Rubiandini yang terhempas oleh kasus suap di SKK Migas yang dibentuk sebagai pengganti BP Migas yang ditengarai sangat kental dan "oily" dengan praktek2 tidak terpuji dalam menyelenggarakan bisnis hulu Migas di negeri ini. Sebelumnya, Rudi begitu dipuja puja ketika seluruh negeri dan media ketika diketahui pulang kampung hanya menggunakan kereta api kelas ekonomi ketika pejabat lain pulang kampung naik pesawat.

***

Dari rangkaian komentar dan tanggapan atas status saya tersebut, dapat disimpulkan ada tanggapan yang emosional karena hanya membaca selintas namun ada juga yang mengamatinya dengan seksama dan berusaha meluruskan sehingga dari sebuah status sederhana di FB bisa ditarik berbagai perbaikan dalam pelaksanaan birokrasi, khususnya percepatan reformasi birokasi di Indonesia.

Samad dalam wawancaranya dengan Kick Andi menyatakan bahwa tidak boleh aparat menggunakan kamar hotel yang dia pakai ketika berdinas ke daerah untuk menampung istri yang bersangkutan. Ia menyatakan ia akan membuka kamar baru dan pindah tidur ke kamar istrinya. Memang tidak dijelaskan secara detail apakah ia cancel kamar yang ia pesan dinas, juga tidak dijelaskan bagaimana kalau yang ikut tidur bukan istri.  Anak atau keponakan atau teman, misalnya...!!

Status saya menegaskan bahwa sesuatu yang mubazir adalah (masih) pekerjaan setan, itu sesuai keyakinan yang saya anut. Karena itu saya sendiri tidak terlalu setuju untuk membuang uang rakyat yang telah dipakai untuk membayar kamar dinas, sementara kita sendiri tidak memakainya dan tidur di kamar istri yang juga kita bayar sendiri.

Dalamthreadsdi FB tersebut, didapat informasi dari seorang kawan bahwa memang di KPK sudah ada pakta integritas yang menyatakan antara lain sikap seperti dijelaskan Abaraham Samad tadi yang  melarang istri tidur di kamar hotel ketika suami berdinas, katakanlah ke luar kota dan tentu juga termasuk ke luar negeri. Juga ada larangan lain antara lain seperti ".......Di KPK gak boleh pakai telpon kantor dan ruang kantor untuk urusan pribadi, gak boleh dijemput kalau ke daerah, gak boleh terima oleh2, gak boleh terima honor." Demikian kutipan dari kawan saya tadi.

***

Ketua KPK sah-sah saja membuat pakta integritas atau mengobarkan semangat itu di media, karena memang kita sebagai calon negara maju memang sebaiknya menuju kesana. Saya tidak anti  atau menolak ide demikian. Itu memang sudah menjadi cita-cita kita dari dulu, jauh sebelum institusi seperti KPK dibuat. Kita menginginkan aparat bekerja profesional, dan tentu juga bayaran yang profesional. Kita ingin aparat bekerja jujur dan maksimal untuk bangsanya yang sedang mengejar berbagai ketertinggalan.

Berbagai larangan ataupunconductyang dicantumkan dalam Pakta Integritas di salah satu institusi penting negeri itu tentu saja patut dihargai. Rasanya berbagai kode etik di berbagai institusi juga banyak mengatur perilaku pegawainya, termasuk swasta. Namun ada yang membedakan, jika praktek-praktekethic of conductsitu dilingkungan swasta, termasuk swasta asing, biasanya sudah disesuaikan dengan budaya perusahaan, termasuk tingkat kesejahteraan dan disiplin yang berlaku. Sedangkan untuk institusi pemerintah, pelaksanaan apa yang dikenal dengan PAkta Integritas itu baru beberapa tahun ini dimulai dan belum diimplementasikan secara baik dan konsisten.

Banyak sekali pakta integritas itu tinggal janji dan tidak (harus) ditepati karena tidak adareward and pusnishment yang jelas. Semua masih dalam tahap sangat awal dan butuh pengawalan dan komitmen dari semua pihak, termasuk dari pimpinan sendiri. Pelaksanaan aturan tidak boleh menggunakan telepon kantor untuk kepentingan pribadi tentulah sangat sulit, bahkan terkadang sekarang banyak sekali pejabat yang justru dalam bertugas menggunakan telepon pribadinya untuk kepentingan kantor.

Kita menyaksikan praktek betapa telepon pribadi seperti HP digunakan dalam mengontak rekan bisnis atau pejabat lain meski untuk urusan rapat atau kantor. Juga banyak pejabat atau aparat atau pegawai lainnya justru menggunakan motor pribadi ketika harus pergi rapat dari  satu tempat ke tempat atau kantor lain. Belum lagi dalam situasi birokrasi di KIB II  yang serba ketakutan akan pemeriksaan atau pengawasan BPK atau BPKP atau KPK sekalipun, telah mengakibatkan banyak pejabat yang harus membayar dulu berbagai keperluan dinas seperti tiket hingga biaya kamar hotel untuk kemudian di reimburse dalam kurun waktu yang cukup lama.

Aturan bisa saja melarang seseorang dijemput ketika ke daerah. Apakah memang bisa dilaksanakan dengan mudah ketika kita memiliki budaya yang memang sangat baik untuk menghormati tamu? Wallahualam.  Serta berbagai aturan lain yang mungkin diadoptbegitu saja dari praktek luar yang berbeda budaya dengan kita, tentulah tidak akan mudah diimplementasikan. Belum lagi dampak terhadap sosial budaya dan ekonomi yang juga semestinya diperhatikana dengan bijak. Praktek yang terjadi selama ini memperlihatkan bahwa komponen pengeluaran seorang pegawai yang berdinas untuk membeli oleh-oleh telah menyumbang kepada ekonomi lokal cukup signifikan.

Jika berbagai larangan diterapkan "hajar bleh" jelas akan memukul ekonomi kecil atau menengah (UMKM). Alhasil, APBN yang menjadi salah satu kekuatan ekonomi riil negeri ini hanya justru akan dinikmati oleh perusahaan multi nasional melalui chainhotel, airline atau resto saja. Tidak dinikmati lagi oleh koperasi dan ekonomi rakyat. Ketika budaya oleh-oleh dilarang dan diterapkan dengan tegas tentu saja akan membuat orang takut menitipkan oleh-oleh yang mungkin hanya bernilai Rp 100 atau 200 ribu. Meski kecil, jumlah ini tentulah sangat membantu perajin Bapia di Yogaya, pedagang Sanjai di Bukittinggi, atau pedagang Rengginang di Purwakarta.

***

Meluruskan sikap dan visi ke depan bagi pemimpin tidaklah mudah. Melakukan reformasi birokrasi tidaklah bisa hanya dengan berteori saja tanpa ada praktek implementasi yang menyeluruh sekaligus evaluasi total. Berbagai aturan seperti Pakta Integritas bisa saja dibuat oleh rezim penguasa dan diganti dengan istilah lain oleh penguasa baru. Namun menyelaraskan rencana perbaikan moral aparat dengan berbagai kondisi riil di lapangan adalah suatu keharusan yang tidak boleh dilupakan.

Kita semua tentu saja menghargai niat baik pemimpin yang mempunyai visi dan nyali untuk memajukan Indonesia.  Namun tentulah kita juga tidak mudah larut dengan puja puji dan sanjungan yang membuat kita alergi untuk melakukan kritik jika ditemui ketidaksempurnaan.  Semoga dalam era Revolusi Mental dibawah kepemimpinan Presiden terpilih Jokowi, pelaksanaan reformasi birokrasi tidak hanya menjadi lip service, tetapi memang menjadi kenyataan. Semoga. Amin.

________

Note: Terima kasih kepada seluruh teman FB yang telah rajin mengomentari status saya dan membuat bandul saya kembali ke lajur penulisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun