Belajar itu tak kenal waktu. Kalimat ini muncul begitu saja di benak saya Juni lalu, dan mendaftarlah saya di salah satu perguran tinggi negeri di Surabaya, diterima di program yang saya pilih, yakni Magister Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM). Saya perlu nambah gelar di belakang nama saya karena sering disindir teman begini, “Lihat itu backdrop acara pelatihanJoyful learning and Creative teaching untuk guru yang menyebutkan namamu sebagai instruktur hanya pakai gelar S1, sementara peserta banyak yang menyandang gelar S2”.
Pendek cerita, mulailah saya kuliah lagi. Di usia 54, praktis saya menjadi mahasiswa paling sepuh. Mahasiswa lain adalah fresh graduates dan professional muda, yang akan menjadi rekan kuliah selama paling cepat 18 bulan ke depan. Kuliah berlangsung tiga hari dalam seminggu, yakni Senin sampai Rabu, mulai pukul 18.00 sampai 22.00.
Bekerja di pagi hari kemudian dilanjut kuliah di senja hari malam bukan perkara mudah bagi saya. Kantuk menyerang setiap saat dan semangat bisa memudar kapan saja, apalagi bila dosen kasih materi dengan cara tak menarik. Bila terserang kantuk, saya biasa mengolesi pelipis dengan minyak kayu putih. Celakanya, aroma cajuput oil segera merebak di antara adik-adik mahasiswi/mahasiswi yang necis-necis dan cakep-cakep dengan farfum beraroma sedap. Aroma minyak kayu putih saya merusakan ketentraman hidung. “Masuk angin ya, pak? Atau mules?” mereka tanya. Ini memang pertanyaan tipikal untuk pemakai minyak kayu putih, karena cajuput oil memang terkenal sebagai kawan setia di kala mules dan masuk asing. Besoknya, ketika saya oles minyak kayu putih ke pelipis, ada yang tanya lagi, “Masuk angin lagi, pak? Kok sering banget masuk angin?”
Waduh! Ini menimbulkan kesan saya adalah mahasiswa paruh baya yang sakit-sakitan. Masak setiap masuk kuliah dikira dalam keadaan masuk angin! Perlu cari akal.
Dan solusi itu dihadirkan putri saya Nadia. Seminggu lalu, saya jemput dia di stasiun kereta sepulang perjalanan dari Bandung naik kereta api malam Turangga. “Kok baumu sedap?” saya tanya Nadia. “Pakai minyak kayu putih ekaliptus, biar hangat dan segar di perjalanan semalam dalam kereta yang dingin,” jawab Nadia.
“Mana ada minyak kayu putih baunya keren seperti itu?”saya tak percaya.
“Ada. Ini!” Nadia mengacungkan sebotol satu botol kecil isi 30 ml minyak kayu putih ekaliptus aromatherapy Cap Lang varian lavender dengan tutup warna ungu. “Mirip minyak kayu putih, tapi bahan dasarnya minyak ekaliptus,” kata Nadia.
Saya raih botol itu, saya buka tutupnya, dan mengolesi pelipis dengan minyak ekaliptus aromatherapy Cap Lang. Lo, jebule memang beda dan unik; segar, hangat dan menentramkan. “Ini buat bapak, ya?” kata saya.
“Enak aja. Bapak beli sendiri dong!”
Empat hari lalu, saya mulai mengantongi minyak ekaliptus aromatherapy Cap Lang. Manakala kantuk menyerang di ruang kuliah, saya buka tutup botol, saya endus aromanya beberapa saat, dan saya oles di kedua pelipis, sedikit di bawah mata dan seoles di titik di bawah cuping yang menurut ilmu Chi adalah sleeping point. Saya jadi segar sekaligus hangat, kantuk hilang, mood terdongkrak, dan penjelasan yang disajikan dosen melalui di layar LCD terserap dengan baik. Selain itu, saya jadi lebih percaya diri karena aroma minyak ekaliptus aromatherapy Cap Lang bisa menyamarkan aroma asam keringat lantaran saya sering terpaksa pergi kuliah seusai kerja tak sempat mandi.
“Hm, elegan sekali aromanya. Pakai apa-an, Pak?” teman sebelah, perempuan profesional muda yang saya kenal sebagai karyawan bank bertanya. “Minyak antingantuk dan antigalau,” saya jawab sekenanya. “Memang ada? Mau dong pak. Boleh minta?”
Saya angsurkan minyak ekaliptus aromatherapy Cap Lang. Ia buka tutup botol, dan menghirup aroma ekaliptus lewat di bawah hidungnya yang indah. “Oh, Cap Long toh? Keren nih pak! Aromanya beda dari minyak kayu putih biasa!” kata dia.
“La memang beda. Ini bukan terbuat dari cajuput oil, tapi dari eucalyptus oil!” kata saya.
Ia membaca informasi komposisi yang tertera di etiket botol : minyak ekaliptus, oleum eucalyptus dan fragrance lavender oil. Ia tuangkan beberapa tetes minyak ke telapaknya, kemudian menggosok-gosokan kedua telapak. Ia hirup aroma ekaliptus di yang tertebar dari dua telapak tangan yang ia tangkupkan. “Bener nih! Hangat, bikin mata melek dan bikin tenang!” kata dia.
“Wow, ada empat varian ya : green tea untuk jaga mood, rose untuk dongkrak mood, pure relieving you untuk gejala masuk angin dan lavender untuk memberi perasaan tenang dan santai! Yang bapak kasih tadi lavender ya, pantesan pak Eddy kalem dan rileks,”selorohnya.
Saya baru mau berkomentar ketika bu dosen di depan bicara agar keras ditujukan kepada kami. “Maaf, bapak dan mbak di belakang itu, mohon perhatikan depan!”. Saya dan mahasiswi di sebelah tak berani bicara lagi, tapi tak berhenti menghirup aroma segar minyak kayu putih ekaliptus aromatherapy Cap Lang. Hirup-hirup aroma kalem dan rileks kan tidak dilarang.
Seusai kuliah, saya merasa tak enak pada bu dosen; mahasiswa tersepuh kok kasih contoh tak elok. Di luar kelas, saya hampiri beliau. “Maaf, bu. Tadi saya kasih minyak ekaliptus aromatherapy pada teman sebelah supaya segar ”
“Minyak apa?” tanya bu dosen.
“Minyak kayu putih ekaliptus aromatherapy Cap Lang,” saya menunjukkan botol minyak ekaliptus saya.
“Ibu mau?”
“Halah, Anda kurang update! Saya sudah biasa pakai itu, yang rose. Nih!” ibu dosen mengeluarkan botol 30ml dari stationary-pouch. “Sudah ya, selamat malam!”
Bu dosen berlalu. Saya menoleh ke belakang. Mbak mahasiswi tadi berbincang dengan beberapa teman, menunjukkan hasil klik link yang saya sampaikan tadi. Saya sendiri melangkah ke parkiran motor.
Untuk menjaga agar tak ngantuk dan bisa konsentrasi setir motor di malam hari menempuh perjalanan 14 kilometer dari kampus ke rumah saya di Surabaya barat, saya oleskan minyak ekaliptus aromatherapy Cap Lang di kening dan bawah mata dan hidung. Saya juga biasa menyanyi untuk melawan kantuk dan lelah. Hari itu saya rencanakan menyanyi lagu kebangsaan Indonesia Raya sepanjang perjalanan. Indonesia Raya dan minyak ekaliptus aromatherapy Cap Lang; kedua-duanya menentramkan dan menghangatkan hati saya.
Foto-Foto : Eddy Roesdiono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H