Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Pariwisata, Ponsel Berkamera dan Media Sosial

25 Februari 2016   18:35 Diperbarui: 25 Februari 2016   19:32 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Orang kota suka selfie di pedesaaan. Foto : Eddy Roesdiono)"][/caption]

Tanggal 8 Februari 2016, saya dan keluarga dalam sebuah mobil van, perlu waktu tiga jam untuk sampai ke lokasi wisata Farm House di Lembang, dari hotel tempat kami menginap di Jalan Peta, Bandung  yang hanya berjarak 11 kilometer.  Begitu sampai di lokasi, kami harus berdiri dalam antrian panjang untuk membeli tiket masuk ke Farm House yang dijual oleh dua petugas yang melayani pengunjung sembari berdiri karena loka wisata ini belum punya rumah tiket.

Ratusan wisatawan menyesaki kawasan wisata yang menyediakan atraksi bangunan rumah pertanian ala Eropa. Nyaris tak tersisa ruang untuk bergerak saking banyaknya pengunjung dan karena laju jalan kaki seringi tertahan oleh pengunjung yang sedang selfie (memoret diri sendiri), groupie (memotret grup, yang montert ikut di dalamnya) atau helpie (potret diri atau grup minta bantuan orang lain).


(Groupie sekeluarga, menambah asyik wisata. Foto : Eddy Roesdiono)

Memutar kepala seluas 360 derajad, saya melihat pemandangan yang hampir sama : selfie dan groupie dengan metode arm-length (serentangan lengan, biasanya pakai timer) atau dengan selfie stick (tongsis). Kegiatan selfie kemudian dilanjut dengan pencet-pencet tombol HP untuk mengedit hasil jepretan dan mengunggah ke media sosial.

Pemandangan seperti ini kini jamak di kawasan pariwisata. Kunjungan ke lokasi wisata tidak lagi hanya didominasi oleh hasrat untuk mengunjungi tempat baru atau melepas kepenatan dan ketegangan, melainkan juga untuk keperluan memotret diri (dan bersama teman-teman), dan mengabarkannya kepada rekan lain melalui media sosial.


(Bila seumur-umur baru kali ini bisa peluk biawak hidup, helpie boleh juga. Foto : Eddy Roesdiono)

Meski belum tersedia data penelitian yang sahih, saya berani bilang dunia pariwisata berhutang banyak pada kombinasi ponsel berkamera dan media sosial. Sangat sulit mendapati individu wisatawan berangkat ke loka wisata tanpa ponsel berkamera di tangan, dan sangat jarang dijumpai wisatawan hanya duduk takzim menikmati daya tarik wisata. Mereka sibuk dengan kegiatan memotret dan mengunggah hasil potret. Bahkan ketika mengudap di kedai di kawasan wisata, kegiatan memotret jalan terus sembari. Teman di Facebook akan dapat kiriman gambar pais gurami dan peyeum bandung serta kata-kata ‘makan dulu ah….’ Plus informasi lokasi ‘at Dusun Bambu, Lembang, West Java’. Gambar diunhgah pula di Instagram, dikirim via Twitter dan dishare juga di group Whatsapp, BBM, Path, atau Line.

(Karena berada di lokasi wisata, meski cuma dinding biasa, diantri juga buat latar belakang foto. Foto : Eddy Roesdiono)

Teknologi yang dikemas dalam aplikasi penyunting foto pada ponsel juga menyumbang kegairahan memotret : cropping, tambah-kurang cahaya, pemutihan raut, penyembunyian bentol-bentol wajah dan sebagainya. Pose potret juga makin beragam : bibir bebek, ekspresi terkejut, lompat-lompat dan teknik-teknik potret selfie lain yang mudah didapat bila penggila media sosial suka browsing ‘selfie tips’ di google agar hasil selfie makin jreng. Kian seru pula bila hasil potret dibubuhi teks sebelum diunggah di media sosial. Tak ketinggalan pula sekarang orang suka potret dengan memanfaatkan teknik forced perspective (perspektif paksa), yakni menggunakan objek di kejauhan menjadi sesuatu yang terhubung atau tersentuh langsung. Lihatlah hasil potret tangan orang yang bisa mengangkat menara Eiffel, mencolek ujung atas pyramid dengan ujung jari atau merengkuh bulan dengan kedua jari seperti gambar di bawah ini.


(Memotret dengan forced perspective. Foto : Archel Murjani)

Tak pelak lagi, selfie dengan ponsel berkamera adalah macro-trend dunia. Dan ini lebih asyik dilakukan di luar rumah, di luar lingkungan sehari-hari dalam hal mana lokasi wisata adalah kawasan yang memenuhi semua kebutuhan aktualisasi diri semacam unggahan karya selfie dan konformasi kedekatan perkawanan melalui groupie dan rekan-rekan di media sosial yang dituju.

Mengunjungi tempat-tempat baru yang berpanorama berbeda, indah, bersih, menarik hati, dan bermacam rona menjadi kebutuhan untuk menunjang kegemaran baru yang dibentuk oleh kemudahan teknologi fotografi murah dan keluasan sediaan media sosial digital. Soal kaitan pariwisata, ponsel berkamera dan media sosial, Archel Murjani, teman saya, punya pendapat. Kata Archel, "Mengunggah foto di Instagram, misalnya, itu asyik. Jadinya saya suka mengunjungi tempat-tempat wisata yang nantinya instagrammable. Itung-itung share tempat wisata baru buat rekan-rekan," kata Archel sembari menambahkan bahwa kadang ia kasihan juga melihat pelancong yang benar-benar menikmati suasana loka wisata. "Mereka yang pingin enjoy di loka wisata jadi banyak terganggu oleh 'ksatria tongsis," lanjut Archel.

 [caption caption="Acrhel Murjani : Loka wisata yang Instragrammable, layak dikunjungi. Foto milik Archel Murjani. "]

[/caption]


(Selfie di lokasi wisata, bikin happy. Foto : Eddy Roesdiono)

Jadi, begitulah. Seperti yang saya sampaikan di atas, dunia pariwisata tak akan berhenti menuai rezeki bila mereka mampu menyediakan atmosfir berbeda, berwarna dan beragam, yang bisa diabadikan sebagai objek dan latar belakang potret untuk diunggah ke media sosial

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun