[caption caption="(Orang kota suka selfie di pedesaaan. Foto : Eddy Roesdiono)"][/caption]
Tanggal 8 Februari 2016, saya dan keluarga dalam sebuah mobil van, perlu waktu tiga jam untuk sampai ke lokasi wisata Farm House di Lembang, dari hotel tempat kami menginap di Jalan Peta, Bandung yang hanya berjarak 11 kilometer.  Begitu sampai di lokasi, kami harus berdiri dalam antrian panjang untuk membeli tiket masuk ke Farm House yang dijual oleh dua petugas yang melayani pengunjung sembari berdiri karena loka wisata ini belum punya rumah tiket.
Ratusan wisatawan menyesaki kawasan wisata yang menyediakan atraksi bangunan rumah pertanian ala Eropa. Nyaris tak tersisa ruang untuk bergerak saking banyaknya pengunjung dan karena laju jalan kaki seringi tertahan oleh pengunjung yang sedang selfie (memoret diri sendiri), groupie (memotret grup, yang montert ikut di dalamnya) atau helpie (potret diri atau grup minta bantuan orang lain).
Memutar kepala seluas 360 derajad, saya melihat pemandangan yang hampir sama : selfie dan groupie dengan metode arm-length (serentangan lengan, biasanya pakai timer) atau dengan selfie stick (tongsis). Kegiatan selfie kemudian dilanjut dengan pencet-pencet tombol HP untuk mengedit hasil jepretan dan mengunggah ke media sosial.
Pemandangan seperti ini kini jamak di kawasan pariwisata. Kunjungan ke lokasi wisata tidak lagi hanya didominasi oleh hasrat untuk mengunjungi tempat baru atau melepas kepenatan dan ketegangan, melainkan juga untuk keperluan memotret diri (dan bersama teman-teman), dan mengabarkannya kepada rekan lain melalui media sosial.
Meski belum tersedia data penelitian yang sahih, saya berani bilang dunia pariwisata berhutang banyak pada kombinasi ponsel berkamera dan media sosial. Sangat sulit mendapati individu wisatawan berangkat ke loka wisata tanpa ponsel berkamera di tangan, dan sangat jarang dijumpai wisatawan hanya duduk takzim menikmati daya tarik wisata. Mereka sibuk dengan kegiatan memotret dan mengunggah hasil potret. Bahkan ketika mengudap di kedai di kawasan wisata, kegiatan memotret jalan terus sembari. Teman di Facebook akan dapat kiriman gambar pais gurami dan peyeum bandung serta kata-kata ‘makan dulu ah….’ Plus informasi lokasi ‘at Dusun Bambu, Lembang, West Java’. Gambar diunhgah pula di Instagram, dikirim via Twitter dan dishare juga di group Whatsapp, BBM, Path, atau Line.
Teknologi yang dikemas dalam aplikasi penyunting foto pada ponsel juga menyumbang kegairahan memotret : cropping, tambah-kurang cahaya, pemutihan raut, penyembunyian bentol-bentol wajah dan sebagainya. Pose potret juga makin beragam : bibir bebek, ekspresi terkejut, lompat-lompat dan teknik-teknik potret selfie lain yang mudah didapat bila penggila media sosial suka browsing ‘selfie tips’ di google agar hasil selfie makin jreng. Kian seru pula bila hasil potret dibubuhi teks sebelum diunggah di media sosial. Tak ketinggalan pula sekarang orang suka potret dengan memanfaatkan teknik forced perspective (perspektif paksa), yakni menggunakan objek di kejauhan menjadi sesuatu yang terhubung atau tersentuh langsung. Lihatlah hasil potret tangan orang yang bisa mengangkat menara Eiffel, mencolek ujung atas pyramid dengan ujung jari atau merengkuh bulan dengan kedua jari seperti gambar di bawah ini.
(Memotret dengan forced perspective. Foto : Archel Murjani)