Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Faedah Tamasya Tas Punggung

24 Desember 2015   13:09 Diperbarui: 24 Desember 2015   13:15 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Saya penggemar tiga  hal : bahasa,  wisata tas punggung (backpack), dan Kompasiana. Maka beta tulis artikel sederhana tentang pelancongan kantung punggung ini di Kompasiana dengan semungkin-mungkinnya memanfaatkan sinonim kosa kata bahasa Indonesia yang tak lazim dipakai. Umpamanya, saya gunakan kata ‘faedah’ sebagai pengganti ‘manfaat’; dan ‘tamasya’ sebagai pengganti ‘wisata’.

Biro penyedia layanan tamasya jamaknya menawarkan skema pelancongan terstruktur dari segi  jenis angkutan yang dipakai, penginapan tempat bermalam,  kedai langganan, dan tujuan-tujuan tamasya yang telah dimufakatkan di depan dengan peserta pelancongan berkelompok.  Ini cocok bagi para pelancong pemula; mereka tak perlu was-was akan banyak ikhwal di lokasi wisata; semuanya sudah diatur penyelenggara wisata.

Teruntuk penggemar tamasya yang berhasrat mendulang lebih banyak pengalaman, model wisata seperti diuraikan di atas kurang bernas lantaran tidak menyediakan peluang pengalaman-pengalaman unik dan petualangan-petualangan  seru dari lokasi tamasya yang dikunjungi.

Cobalah cermati kisah dua pelancong di bawah ini. Pelancong A dan B, dua-duanya asal Surabaya,   baru saja kembali dari tamasya ke Jogja. Pelancong A berangkat dengan sekompok pelancong melalui biro perjalanan, sementara Pelancong B berekreasi dengan sejumlah sobat kental  dengan cara tamasya kantung punggung.  Pelancong A bertamasya dengan ikhtisar perjananan yang jelas, sementara Pelancong B bertolak dengan rencana ala kadarnya.

Manakala keduanya telah kembali ke Surabaya, berkisahlah mereka.

Pelancong A:

“Kami berangkat dari Surabaya naik bis malam berpendingin udara, semuanya 32 penumpang yang tak saling kenal. Kami singgah di sebuah restoran di daerah Madiun di mana kami memperoleh jatah makan  dan kesempatan untuk berturas, pukul 1 malam. Hidangan paketan berupa semangkuk kecil nasi soto yang diciduk dari belanga tua dan sejumput nasi yang dikais dari periuk nasi, berikut segelas tes nan tak cukup manis. Setelah makan malam kami melanjutkan perjalanan, kembali terlelap lantaran tak ada yang bisa dilakukan. Mana bisa aku berbual-bual dengan seorang remaja tanggung di sebelahku yang sejak dari menit pertama masuk bis tak pernah lepas mata dan tangannya dari ponsel cerdasnya.

Setibanya di Jogja, kami langsung dibawa ke candi Borobudur untuk menikmati mentari terbit. Oh ya, kami sempat menunaikan shalat subuh di sebuah masjid besar di Muntilan sebelum menginjakkan kaki di kawasan Borobudur. Indah permai panorama manakala kami melayangkan pandangan ke seantero dataran dari puncak candi Borobudur. Sang surya yang perlahan naik di ufuk timur di antara perbukitan laksana penguasa bumi yang berbagi terang.  Cercah-cercah rona cahaya laksana disematkan satu persatu ke jajaran tetumbuhan di bawah sana. Sayang disayang, saya tak bisa berbagi  rasa suka cita ini dengan rekan seperjalanan lantaran tak saling kenal; walhasil, saya hanya mengabadikan gambar dan berkabar berita kepada  handai-taulan pada kelompok obrolan Whatsapp. Moga-moga sedini itu sudah ada yang terjaga untuk menorehkan celetuk pada potret mentari terbit kiriman saya”

Dari candi Borobudur, bis melaju ke beberapa tempat, yang semuanya terasa amat singkat. Tak bisa saya tawar menawar waktu dengan pemandu manakala ada hal menarik hati yang ingin saya nikmati berlama-lama, atau bilamana ada kedai kudapan yang sajiannya tampak menggugah selera.

Pelancong B berkisah:

“Saya dan dua teman lain sengaja memilih kereta api kelas ekonomi. Namun tak dinyana, walaupun kelas ekonomi, gerbong kereta berpendingin udara pula dan dilengkapi colokan listrik untuk mendayai telepon genggam. Kereta api merapat di stasiun Jogja lewat tengah hari, dan serta merta kami berjalan ke jalan Malioboro. Di Maliboro, mata saya tertumbuk pada tumpukan berbagai macam juadah di atas meja di depan sebuah kios, salah satunya adalah yanko, penganan  kegemaran saya. Tak jauh dari kios juadah, kami dapati sebuah kedai yang menyediakan kolak kacang hijau. Jadilah kami mengudap pula di kedai itu sembari melahap juadah yang lezat tiada tara.

Di kedai itu, duduk pula seorang dara jelita. Tak sengaja selampenya terjatuh. Sigap saya memungut selampe itu dari tanah, mengibaskannya sejenak untuk mengenyahkan kotoran dan kemudian mengangsurkannya ke pada si dara. Sang dara menyungging senyum manis manakala menjemba selampe dari tangan saya dan kami saling sapa. Dari situ kami tahu si dara tengah dalam perjalanan ke Borobudur bersama 3 rekan lain. Kami sampaikan padanya kami juga hendak ke Borobudur.  Mujur sekali, mereka berhasrat mengajak kami jalan bersama dengan otomobil van yang masih tersisa tiga kursi kosong. Namun, mereka bilang mereka mengambil rute lewat Purworejo karena sang dara perlu menengok neneknya yang sedang sakit selesma terlebih dahulu di Loano, sebuah kota kecil tak jauh dari Purworejo.

Kami mengiyakan tawaran ini karena pada dasarnya kami melancong tanpa rencana yang rapi, diniatkan untuk play by ear, alias improvisasi. Dan perjalanan agak menyimpang ini ternyata teramat menyenangkan. Rumah nenek si dara berada di perbukitan yang berpanorama permai. Tak jauh dari rumah nenek, ada sebuah surau yang bak bertengger di tubir jurang. Saya berjalan ke surau, dan menunaikan shalat asyar setelah berwudhu dengan air sejuk segar jernih yang dialirkan melalui sebuah pokok bambu . Selepas shalat saya melangkah ke serambi surau yang persis menghadap bentangan panorama elok di bawah sana. Saya kais telepon berkamera untuk mengabadikan gambar. Sayang sekali baterai sudah terkuras habis. Saya kecewa. Namun sekonyong-konyong sang dara baik hati telah berdiri di samping saya, mengangsurkan sebuah power bank. Aganya ia iba melihat saya kecewa dan bermuram durja lantaran  tak bisa mengabadikan gambar kampung halaman si dara yang elok ini”

Mohon maaf, kelumit dua kisah di atas memang rekaan semata, murni karangan saya. Namun sejatinya saya berharap dua cerita yang terulas di atas mampu menggambarkan perbedaan keleluasaan pengalaman antara paket wisata biasa dan paket wisata tas punggung. Dalam paket wisata konvensional, Anda mengikuti jadwal ketat yang diciptakan oleh penyelenggara dan sangat kecil kemungkinan untuk belok melenceng dari itinerary. Dengan wisata tas punggung seperti yang dikisahkan di atas, Saudara akan memperoleh banyak kejutan dan pengalaman baru. Tentu saja kejutan dan pengalaman itu tak selamanya menyenangkan; namun, bukankah belajar mengatasi masalah seperti itu merupakan pengalaman tersendiri; bukan kesia-siaan belaka.

Kita akan bersua dengan berbagai rona manusia; ada yang baik seperti sang dara dan sobat-sobatnya yang tak menaruh syak wasangka pada kami dan langsung mengajak kami bergabung. Ada pula insana-insan tertentu yang beritikad tak baik, dengan menipu atau memperdaya, yang mengajari kita untuk berhati-hati. Semuanya itu akan merupakan proses pembelajaran yang  tiada didapat dalam paket wisata aman sentosa tertata.

Demikianlah. Apakah Saudara-saudari telah pula menikmati wisata bahasa Indonesia melalui sajian tulisan sederhana ini? Sudilah kiranya meninggalkan komentar dengan perbendaharaan kata bahasa Indonesia yang jarang terpakai, demi pembelajaran.

 

Salam takzim!

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun