“Saya dan dua teman lain sengaja memilih kereta api kelas ekonomi. Namun tak dinyana, walaupun kelas ekonomi, gerbong kereta berpendingin udara pula dan dilengkapi colokan listrik untuk mendayai telepon genggam. Kereta api merapat di stasiun Jogja lewat tengah hari, dan serta merta kami berjalan ke jalan Malioboro. Di Maliboro, mata saya tertumbuk pada tumpukan berbagai macam juadah di atas meja di depan sebuah kios, salah satunya adalah yanko, penganan kegemaran saya. Tak jauh dari kios juadah, kami dapati sebuah kedai yang menyediakan kolak kacang hijau. Jadilah kami mengudap pula di kedai itu sembari melahap juadah yang lezat tiada tara.
Di kedai itu, duduk pula seorang dara jelita. Tak sengaja selampenya terjatuh. Sigap saya memungut selampe itu dari tanah, mengibaskannya sejenak untuk mengenyahkan kotoran dan kemudian mengangsurkannya ke pada si dara. Sang dara menyungging senyum manis manakala menjemba selampe dari tangan saya dan kami saling sapa. Dari situ kami tahu si dara tengah dalam perjalanan ke Borobudur bersama 3 rekan lain. Kami sampaikan padanya kami juga hendak ke Borobudur. Mujur sekali, mereka berhasrat mengajak kami jalan bersama dengan otomobil van yang masih tersisa tiga kursi kosong. Namun, mereka bilang mereka mengambil rute lewat Purworejo karena sang dara perlu menengok neneknya yang sedang sakit selesma terlebih dahulu di Loano, sebuah kota kecil tak jauh dari Purworejo.
Kami mengiyakan tawaran ini karena pada dasarnya kami melancong tanpa rencana yang rapi, diniatkan untuk play by ear, alias improvisasi. Dan perjalanan agak menyimpang ini ternyata teramat menyenangkan. Rumah nenek si dara berada di perbukitan yang berpanorama permai. Tak jauh dari rumah nenek, ada sebuah surau yang bak bertengger di tubir jurang. Saya berjalan ke surau, dan menunaikan shalat asyar setelah berwudhu dengan air sejuk segar jernih yang dialirkan melalui sebuah pokok bambu . Selepas shalat saya melangkah ke serambi surau yang persis menghadap bentangan panorama elok di bawah sana. Saya kais telepon berkamera untuk mengabadikan gambar. Sayang sekali baterai sudah terkuras habis. Saya kecewa. Namun sekonyong-konyong sang dara baik hati telah berdiri di samping saya, mengangsurkan sebuah power bank. Aganya ia iba melihat saya kecewa dan bermuram durja lantaran tak bisa mengabadikan gambar kampung halaman si dara yang elok ini”
Mohon maaf, kelumit dua kisah di atas memang rekaan semata, murni karangan saya. Namun sejatinya saya berharap dua cerita yang terulas di atas mampu menggambarkan perbedaan keleluasaan pengalaman antara paket wisata biasa dan paket wisata tas punggung. Dalam paket wisata konvensional, Anda mengikuti jadwal ketat yang diciptakan oleh penyelenggara dan sangat kecil kemungkinan untuk belok melenceng dari itinerary. Dengan wisata tas punggung seperti yang dikisahkan di atas, Saudara akan memperoleh banyak kejutan dan pengalaman baru. Tentu saja kejutan dan pengalaman itu tak selamanya menyenangkan; namun, bukankah belajar mengatasi masalah seperti itu merupakan pengalaman tersendiri; bukan kesia-siaan belaka.
Kita akan bersua dengan berbagai rona manusia; ada yang baik seperti sang dara dan sobat-sobatnya yang tak menaruh syak wasangka pada kami dan langsung mengajak kami bergabung. Ada pula insana-insan tertentu yang beritikad tak baik, dengan menipu atau memperdaya, yang mengajari kita untuk berhati-hati. Semuanya itu akan merupakan proses pembelajaran yang tiada didapat dalam paket wisata aman sentosa tertata.
Demikianlah. Apakah Saudara-saudari telah pula menikmati wisata bahasa Indonesia melalui sajian tulisan sederhana ini? Sudilah kiranya meninggalkan komentar dengan perbendaharaan kata bahasa Indonesia yang jarang terpakai, demi pembelajaran.
Salam takzim!