Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pattana Nambah Rezeki lewat Bahasa Inggris

29 November 2015   22:51 Diperbarui: 30 November 2015   17:55 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Bayangkan begini:  Anda perempuan, janda,  berumur 54 tahun,  punya kedai makan di sebuah kawasan wisata, kurang laku. Tiba-tiba Anda berpikir ingin menggaet lebih banyak konsumen kedai dengan belajar bahasa Inggris.

Mungkin cerita ini kurang menarik, karena terlalu biasa; nggak extraordinary. Tapi, sebagai guru bahasa Inggris, saya melihat ini adalah sebuah proses; proses yang diawali dari sepetik gagasan sederhana  yang  kemudian dijalankan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan.

Nama perempuan paruh baya itu Pattana (berdiri di tengah pada foto di atas), pemilik warung makan YM, di pojok antara jalan Santitham dan jalan Mengrairasmee, di depan hotel YMCA, Chiang Mai, Thailand. Ini foto kedai YM milik Pattana.

 

 

Kedai milik Pattana, di depan hotel YMCA Chiang Mai, Thailand (foto : Eddy Roesdiono)

Tak ada yang istimewa dari kedai Pattana. Kedai yang mengambil setengah ruang dari rumah itu punya sekitar sepuluh set meja kursi dengan dapur olah yang langsung bisa terlihat oleh konsumen. Ia bilang sudah 5 tahun buka kedai makanan Thai itu, dibantu anak lelakinya yang saya lupa namanya.

“Kedai saya sebelumnya tidak seramai sekarang,” ujar Pattana dalam bahasa Inggris sepatah-sepatah, tapi bisa dimengerti. “Mulai ramai enam bulan lalu setelah saya rajin ngobrol dengan konsumen asing pakai bahasa Inggris, dan minta diajari bahasa Inggris,” lanjut Pattana sembari menunjukkan sebuah buku catatan penuh tulisan yang umumnya adalah frasa-frasa komunikasi gampang seperti : where do you come from?,  where are you staying in Chiang Mai?, what do you think about the food?, can I have one more of this? what is the best way to go to Doi Suthep? dan sebagainya. Frasa-frasa berbahasa Inggris itu kelihatannya ditulis langsung oleh konsumen native speaker bahasa Inggris yang diikuti terjemahannya dalam bahasa Thai oleh Pattana. Sudah setengah tahun ia mengumpulkan catatan itu, dan selama rentang waktu itu pulalah ia yang tadinya tak bisa bahasa Inggris sedikitpun mulai bisa bicara dan memahami konsumen asing.

“Buku ini selalu saya sodorkan pada pengudap di sini,  minta mereka menulis dan memberitahu saya arti masing-masing ungkapan dan kata yang ditulis,” imbuh Pattana, yang aslinya memang ramah itu.

Upaya Pattana belajar bahasa Inggris juga disertai dengan waktu yang ia sediakan untuk mengobrol dengan para pengudap di kedainya, seperti yang ia lakukan pada grup tur saya berlima. “Do you want a banana? It’s free,” Pattana menawari kami pisang. Ketika salah satu anggota tur saya menanyakan jenis makanan tertentu, ia sigap menjawab, “Oh, it is fried duck egg!” (itu telur bebek digoreng). Ia menunjukkan puluhan telur bebek yang cangkangnya diwarnai pink. Saya penasaran kenapa Pattana bisa menyebutkan jenis makanan itu dengan baik dan benar—meski tak sempurna dari segi pelafalan. Rupanya pada salah satu halaman buku catatan Pattana, frasa ‘fried duck egg’ pernah dituliskan ‘kontributor’ penulis buku frasa Pattana. Salah satu orang dalam grup saya juga sempat mengajari Pattana pertanyaan begini, "How much are they totally?" karena tadinya Pattana hanya paham "Total how much?"

Timbul keinginan saya untuk menguji Pattana, sembari praktek bahasa Thai saya yang belepotan. Saya bilang pada Pattana, “Ti ni buri dai mai? Answer in English, please!” (Boleh merokok di sini? Tolong jawab pakai bahasa Inggris). Ia sigap merespon. “No, you cannot. You can smoke outside”. Saya tanya lagi, “Can I borrow a lighter?”. Pattana menjawab . ”Sorry, I don’t have a lighter for cigarette, but I have a lighter for cooker? Is it okay?” (Maaf, saya tidak punya korek untuk rokok. Tapi saya punya pemantik api untuk kompor, mau?”)

Wah, lumayan bagus dia! Saya bayangkan, pelajar bahasa Inggris yang tak serius tak akan bisa dan biasa mengobrol enak begitu meski sudah belajar setengah tahu sekalipun.

Kedai Pattana, selain karena hidangannya enak, jadi makin laris karena hadirnya nuansa bersahabat berkat kelancaran komunikasi bahasa. Pengudap bisa tanya ini itu dan mendapat penjelasan soal makanan dari Pattana, terutama bagi pengudap yang tak boleh makan jenis-jenis makanan tertentu. Kenyamanan berbahasa untuk komunikasi kuliner ini juga yang biasanya diharapkan wisatawan asing yang biasa menanyakan jenis masakan, cara penyajian dan porsinya.

Jadi, kata kuncinya, komunikasi dalam bahasa yang dikuasai konsumen menimbulkan kenyamanan bagi konsumen, yang membuat mereka pingin balik. Ini saya ketahui secara tidak beberapa jam setelah saya makan pagi di kedai Pattana di hari Kamis 26 November 2015 itu. Seorang sahabat saya, Mary Catija, asal Brazil, tiba-tiba mengirimi foto yang ada dirinya bersama Pattana melalui pesan Whatsapp.

Di pesan Whatsapp, Mary menulis, “Hey, Eddy, what a surprise!  I am here at the same restaurant you went to this morning,” (hey, Eddy, kejutan nih, aku sekarang lagi di restauran yang tadi kamu kunjungi). Mary bilang Pattana barusan menunjukkan fotonya bersama konsumen Indonesia yang saya jepret dua jam sebelumnya dengan ponsel milik Pattana. Ada saya di foto itu. Itulah sebabnya Mary tahu saya tadi ke situ.

Mary Catija, sahabat saya asal Brazil, baru saja mengudap di kedai Pattana (screenshot : Eddy Roesdiono)

“Tadinya saya nggak rencana makan di sini, tapi pemilik kedai ramah sekali dan bicara Inggris dengan sopan mempersilakan saya dan teman-teman dan menjelaskan menu,” tutur Mary.

Kenyamanan komunikasi bahasa ini pulalah yang diupayakan dengan serius oleh para pedagang cindera mata di Wat Arun, Bangkok. Toko cindera mata terbesar di Wat Arun, yang letaknya persis di jalan keluar Wat Arun, punya sekitar 15 karyawan yang semuanya bisa berbahasa Indonesia lumayan fasih, terutama untuk tuturan-tuturan transaksi jual beli. “Kalau bahasa sama-sama tidak mengerti, susah jualannya,” ujar Kay, perempuan Thai, karyawan senior toko cindera mata yang sudah saya kenal 6 tahun belakangan ini, dalam bahasa Indonesia.

“Orang Indonesia banyak sekali datang ke sini, kalau mereka menawar atau tanya ini-itu, kami layani dengan baik,” lanjut Kay. Harga-harga cindera mata utama seperti kaos sengaja ditulis di kertas karton pakai bahasa Indonesia supaya konsumen nyaman, dan pembayaran pun boleh pakai rupiah.

“Waduh, pak, masak kaos sepuluh biji ditawar 600 baht, capek deh!” terdengar salah satu karyawan berseloroh di belakang saya, menanggapi bapak-bapak yang menawar kaos. Pembeli pun terhibur mendengar orang Thai bicara bahasa Indonesia dan melontarkan idiom-idiom khas bahasa Indonesia yang kadang-kadang terdengar aneh pengucapannya.

Ma (berkaus biru), karyawan toko cindera mata Wat Arun (Bangkok), melayani pembeli asal Indonesia, full bahasa Indonesia

(foto : Eddy Roesdiono)

“Iya, saya suka belanja di sini, biasa borong barang, karena enak ngomongnya, nggak perlu pakai bahasa isyarat dan nunjukkin kalkulator kalau pas tawar menawar harga,” ujar salah satu pelancong Indonesia asal Solo.

Nah, jadi intinya, belajar bahasa Inggris atau bahasa lain untuk satu tujuan yang jelas mustinya tidak perlu proses yang rumit. Libatkan diri secara langsung dan aktif; lebih bagus bisa disertai tatabahasa dan pelafalan yang benar. Pattana di Chiang Mai dan pedagang cindera mata di Wat Arun, Bangkok telah membuktikan bahwa menghadirkan kenyamanan komunikasi bahasa membuka banyak celah untuk meraih manfaat ekonomis yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun