Kebencian terhadap seseorang, sesuatu atau sebuah situasi bisa dipendam dalam hati, bisa pula diujarkan secara lisan dan tertulis. Ujaran kebencian (yang sekarang kita kenal dengan istilah ‘hate speech’ terkhusus lewat gambar dan tulisan makin dapat banyak tempat berbareng dengan kemudahan-kemudahan komunikasi media sosial. Orang kini mudah mengutarakan kebencian melalui media sosial, semudah menulis status ‘baru saja makan soto lamongan enak’ atau pasang gambar selfie. Kebencian bisa ditularkan secara mudah di kalangan mereka yang memiliki frame of reference yang sama tentang seseorang, sesuatu atau suatu situasi. Kebencian bisa disamarkan dalam berbagai wujud : kata-kata kasar, meme kasar, gambar-gambar atau berita pelintiran yang, gambar hasil editan, penyebaran rumor, hoax, fitnah dan semacamnya, yang semuanya bersumber dari satu hal, yakni luapan rasa (benci).
Di dunia media sosial, seorang pembenci disebut ‘hater’, dan sejumlah pembenci disebut ‘haters’. Kalau ada yang menyebut pembenci sebagai ‘hatter’(ada lo situs berita online yang sebut ‘hater’ sebagi ‘hatter’), pastilah ia tak punya kamus bahasa Inggris.
Baiklah, pada dasarnya kebencian muncul karena banyak hal : perbedaan pendapat, kecemburuan sosial/budaya/politik, rendahnya sportivitas dalam menyikapi kekalahan, ketersinggungan, ketidakpuasan dan sebagainya; silakan tambah sendiri daftarnya.
Apa yang diharapkan oleh seorang pembenci manakala ia meluapkan kebenciannya di media sosial? Kalau kita bicara positif, kita bisa bilang itu karena sang pembenci ingin suaranya didengar dan ingin dunia luas tahu ia benci seseorang, sesuatu atau suatu situasi dan berharap ada perubahan yang membuatnya terpuaskan. Kalau kita bicara negatif, luapan kebencian di media sosial adalah upaya mencari kepuasan diri yang membebaskan dirinya dari kungkungan rasa benci yang membuatnya tak nyaman.
Model yang negatif ini biasanya dilakukan individu-individu yang buta-tuli akan konsekuensi dan akibat yang ditimbulkannya. Bisa jadi mereka tak tahu Undang-undang punya klausul-klausul yang bisa menjerat orang-orang yang telah ‘melakukan tindakan tidak menyenangkan’ yang bisa menyeret mereka ke pengadilan.
Bagaimana kebencian bisa terpupuk dan merebak di kalangan masyarakat Indonesia yang sejatinya dikenal sebagai bangsa yang santun, agamis dan ramah ini? Anda pasti akan mengarahkan telunjuk pada media sosial. Kalau sebelumnya orang ragu untuk melontar kebencian di depan umum karena langsung ketahuan, kini orang bisa bersembunyi di balik cadar-cadar dunia maya. Ia bisa tampil anonim, pakai nama palsu, atau profil palsu. Luapan kebencian juga didukung oleh media tool yang gampang: situs web, fasilitas editing foto yang semudah ABC, dan viralisasi tautan (link).
Kepolisian Republik Indonesia, sebagai pihak yang bertanggungjawab menjamin keamanan dan ketentraman masyarakat, menilai hate speech sudah mulai menganggu, meresahkan, dan mengusik tatanan ketentraman dan kenyamanan sosial. Maka terbitlah Surat Edaran (SE) Kapolri Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian atau hate speech, yang diteken pertengahan Oktober 2015. Surat Edaran dimaksudkan sebagai panduan bagi anggota Polri dalam menangani hate speech dengan rujukan sejumlah pasal terkait dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). SE ini seolah mengingatkan Polri dan masyarakat (yang sudah terlena oleh kemudahan media sosial) bahwa ujaran-ujaran kebencian yang selama ini merebak sebenarnya melanggar hukum.
Tindakan apa saja yang tergolong sebagai ujaran kebencian? Pada point 2.f SE itu disebutkan ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: (1) penghinaan, (2) pencemaran nama baik, (3) penistaan, (4) perbuatan tidak menyenangkan, (5) memprovokasi, (6) menghasut, (7) penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.
Ranah-ranah kehidupan sosial apa saja yang dicakup dalam ujaran kebencian? Poin 2.g Surat Edaran itu menyebutkan : bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: (1) suku, (2) agama, (3) aliran keagamaan, (4) keyakinan/kepercayaan, (5) ras, (6) antar golongan, (7) warna kulit, (8) etnis, (9) gender, (10) kaum difabel (cacat), (11) orientasi seksual.
Jenis-jenis media apa saja yang tercakup dalam kaitan ujaran kebencian? Point 2.h Surat Edaran itu menyebutkan : bahwa ujaran kebencian (hate speech) sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain: (1), dalam orasi kegiatan kampanye, (2) spanduk atau banner, (3) jejaring media sosial, (4) penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), (5) ceramah keagamaan, (6) media masa cetak maupun elektronik, (7) pamphlet.
Bunyi Surat Edaran selengkapnya bisa dilihat di sini.
Surat Edaran dimaksudkan sebagai panduan bagi anggota Polri dalam menangani hate speech dengan rujukan sejumlah pasal terkait dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). SE ini seolah mengingatkan Polri dan masyarakat (yang sudah terlena oleh kemudahan media sosial) bahwa ujaran-ujaran kebencian yang selama ini merebak sebenarnya melanggar hukum.
Tak semua elemen masyarakat happy dengan Surat Edaran ini. SE ini dianggap mengekang kebebasan berpendapat, melumpuhkan demokrasi, tidak perlu karena sudah ada pasal-pasal KUHP yang mengaturnya. Konon, bahkan Komnas HAM minta agar point ‘pencemaran nama baik’ tidak perlu dicantumkan.
Apakah peraturan serupa ada di belahan dunia lain? Pada bulan Juni 2011, John Galliano, perancang busana produk fashion Dior harus jadi pesakitan di pengadilan Prancis dengan tuduhan “penghinaan di muka umum terhadap sejumlah orang berdasarkan tempat asal, afiliasi agama, ras dan etnis” gara-gara ia mengunggah video di mana ia mengatakan “Saya suka Hitler” yang dianggap sangat meresahkan warga Eropa. Hukuman pelaku hate speech sangat keras di Prancis untuk membuat masyarakat jera. (sumber di sini).
Lalu kita bertanya-tanya dalam hati, benar-benar perlukan Surat Edaran Kapolri itu? Saya balik merenung dan melihat diri saya di cermin dan bertanya pada diri sendiri, “Kalau kamu dilecehkan, difitnah, dijelek-jelekkan, dicacimaki, direndahkan lewat ujaran atau gambar yang diunggah di media sosial, kemudian disebarkan secara viral, apakah kamu nyaman?” Tidak!
Kenyataannya, hate speech kini jadi jamak dan biasa dan berangsur-angsur jadi budaya bangsa dalam menangani permasalahan. Kita jadi love to hate (suka membenci) dan cenderung hate to love (tak suka menyukai). Lebih parah lagi, hate speech kini jadi mata dagangan dunia internet. Ini yang disebut e-hate (electronic-hate), seperti yang saya baca pada blog ini
E-hate menjadi ladang bisnis bagi mereka yang berusaha meraup keuntungan lewat konten-konten berkebencian. Konten-konten demikian bakal diklik dua kubu sekaligus: kubu pro-pembenci dan kubu kontra-pembenci. Kubu pro-pembenci ingin menikmati dan menghibur diri melalui luapan kebencian dan mencari temuan-temuan bahan benci baru, sementara kubu kontra-pembenci ingin tahu si pembenci ngomong apa (lagi). Tak heran bila banyak situs penebar benci bermunculan—yang tentu saja tak mempan kritik—lantaran ada manisnya uang di balik itu.
Jadi, makin suburlah aroma permusuhan saudara sebangsa karena love to hate dan hate to love itu. Ada makin banyak cara untuk membenci dan kita makin sedikit belajar bagaimana saling menyayangi sesama warga bangsa.
Oh ya, soal e-hate itu, saya sangat suka simpulan penulis blog di atas, “Nggak usah ikutan klik, share atau berkomentar pada situs-situs berjenis hate speech. Itu ulah bisnis e-hate. Kalau ternyata kontennya bohong dan menebar fitnah, mereka dapat untungnya, kita dapat dosanya!”
I can’t agree more!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H