Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Love to Hate, Hate to Love

5 November 2015   13:37 Diperbarui: 5 November 2015   14:50 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat Edaran dimaksudkan sebagai panduan bagi anggota Polri dalam menangani hate speech dengan rujukan sejumlah pasal terkait dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). SE ini seolah mengingatkan Polri dan masyarakat (yang sudah terlena oleh kemudahan media sosial) bahwa ujaran-ujaran kebencian yang selama ini merebak sebenarnya melanggar hukum.

Tak semua elemen masyarakat happy dengan Surat Edaran ini. SE ini dianggap mengekang kebebasan berpendapat, melumpuhkan demokrasi, tidak perlu karena sudah ada pasal-pasal KUHP yang mengaturnya.  Konon, bahkan Komnas HAM minta agar point ‘pencemaran nama baik’ tidak perlu dicantumkan.

Apakah peraturan serupa ada di belahan dunia lain? Pada bulan Juni 2011, John Galliano, perancang busana produk fashion Dior harus jadi pesakitan di pengadilan Prancis dengan tuduhan “penghinaan di muka umum terhadap sejumlah orang berdasarkan tempat asal, afiliasi agama, ras dan etnis” gara-gara ia mengunggah video di mana ia mengatakan “Saya suka Hitler” yang dianggap sangat meresahkan warga Eropa.  Hukuman pelaku hate speech sangat keras di Prancis  untuk membuat masyarakat jera. (sumber di sini). 

Lalu kita bertanya-tanya dalam hati, benar-benar perlukan Surat Edaran Kapolri itu? Saya balik merenung dan melihat diri saya di cermin dan bertanya pada diri sendiri, “Kalau kamu dilecehkan, difitnah, dijelek-jelekkan, dicacimaki, direndahkan lewat ujaran atau gambar yang diunggah di media sosial, kemudian disebarkan secara viral, apakah kamu nyaman?” Tidak!

Kenyataannya, hate speech kini jadi jamak dan biasa dan berangsur-angsur jadi budaya bangsa dalam menangani permasalahan. Kita jadi love to hate (suka membenci) dan cenderung hate to love (tak suka menyukai). Lebih parah lagi, hate speech kini jadi mata dagangan dunia internet. Ini yang disebut e-hate (electronic-hate), seperti yang saya baca pada blog ini

E-hate menjadi ladang bisnis bagi mereka yang berusaha meraup keuntungan lewat konten-konten berkebencian. Konten-konten demikian bakal diklik dua kubu sekaligus: kubu pro-pembenci dan kubu kontra-pembenci. Kubu pro-pembenci ingin menikmati dan menghibur diri melalui luapan kebencian dan mencari temuan-temuan bahan benci baru, sementara kubu kontra-pembenci ingin tahu si pembenci ngomong apa (lagi). Tak heran bila banyak situs penebar benci bermunculan—yang tentu saja tak mempan kritik—lantaran ada manisnya uang di balik itu.

Jadi, makin suburlah aroma permusuhan saudara sebangsa karena  love to hate dan hate to love itu. Ada makin banyak cara untuk membenci dan kita makin sedikit belajar bagaimana saling menyayangi sesama warga bangsa.

Oh ya, soal e-hate itu, saya sangat suka simpulan penulis blog di atas, “Nggak usah ikutan klik, share atau berkomentar pada situs-situs berjenis hate speech. Itu ulah bisnis e-hate. Kalau ternyata kontennya bohong dan menebar fitnah, mereka dapat untungnya, kita dapat dosanya!”

I can’t agree more!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun