Pada saat ini dunia tengah dihadapkan pada ancaman krisis pangan parah. Berbagai faktor sebab, mulai dari perubahan iklim, peningkatan populasi, bencana alam, krisis ekonomi, konflik geopolitik, hingga gangguan rantai pasok telah berkomplikasi sedemikian rupa hingga menciptakan situasi yang sangat mengkhawatirkan. Jutaan orang di berbagai belahan dunia terancam kelaparan dan kekurangan gizi dengan konsekuensi yang luas di sektor-sektor kesehatan, stabilitas sosial, pendidikan, dan ekonomi global.
Ukraina adalah salah satu lumbung pangan dunia. Oleh sebab itu, peperangan di Ukraina saja sudah menjadi bagian dari pemicu krisis ini. Disrupsi pasokan gandum dan pupuk dari Ukraina telah berdampak pada negara-negara lain; terutama di Afrika dan Timur Tengah yang masih bergantung pada impor pangan.Â
Belum lagi peperangan di Timur Tengah yang belum lama ini terjadi; khususnya antara Iran dan Israel. Demikian pula halnya dengan fenomena-fenomena cuaca ekstrim akibat dari perubahan iklim juga dapat memperburuk keadaan; menyebabkan kekeringan & banjir yang merusak atau setidaknya menurunkan hasil panen secara signifikan di berbagai wilayah.
Apakah Indonesia Terkena Dampaknya?
Karena pada saat ini dunia saling terhubung ke dalam sistem global yang kompleks, maka kita pun (Indonesia) terkena dampaknya. Krisis ini, besar atau kecil, akan menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga pangan di seluruh dunia hingga membebani ekonomi rumah tangga, menurunkan daya-beli, dan juga inflasi.Â
Sehubungan dengan hal ini, di Indonesia saja, sebagai ilustrasi, BPS mencatat terjadinya inflasi harga pangan sebesar 1.26% pada tahun 2022. Sementara Badan Pangan Nasional menyebutkan bahwa harga beras naik hingga 14.08% dan harga gula juga naik 20% pada tahun 2023 (Upland, 2024). Jika situasi ini terbiarkan sekian lama tanpa upaya-upaya perbaikan yang signifikan, maka cepat atau lambat (potensi) kerawanan pangan dan gejolak sosial akan muncul. Cukup membahayakan.
Solusi Krisis Pangan di Indonesia
Karena krisis ini terkait (kolaborasi dan koordinasi) dengan berbagai pihak, maka potensi solusinya pun perlu melibatkan mereka secara proporsional. Ada pun beberapa potensi solusi itu adalah upaya-upaya: (1) penurunan faktor-faktor penyebab perubahan iklim [dalam jangka panjang]; (2) peningkatan produksi pangan (intensif dan ekstensif); (3) introduksi dan penguatan substitusi pangan [sebagai pengganti bahan pangan pokok]; (4) pencarian [penelitian, pengembangan, dan promosi] sumber-sumber pangan baru (yang beragam); (5) penurunan faktor-faktor pemborosan pangan; (6) membangun insfrastruktur pendukung ketahanan pangan (terutama jalan, jembatan, gudang penyimpanan, pasar & pelelangan, fasilitas penelitian dan pengembangan, pusat distribusi, sistem informasi persediaan dan pasar, bendungan dan irigasi); (7) melindungi [membeli] lahan-lahan produktif pertanian para petani; dan (8) dukungan pemerintah (terutama permodalan, pupuk, obat, dan bibit) bagi para petani.
Seiring dengan solusi-solusi itu, sejak beberapa tahun lalu muncullah program food-estate; konsep pengembangan pangan yang terintegrasi (mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan) di sebuah kawasan. Program yang tercakup sebagai salah satu program strategis nasional (PSN) 2020-2024 ini bertujuan umum untuk mengamankan ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan yang berkualitas bagi masyarakat berdasarkan produksi dalam negeri.
Peran & Nasib Para Petani Lokal
Solusi-solusi di atas beserta program food-estate-nya tentu saja memerlukan peran sentral para petani. Tanpa mereka, solusi-solusi itu tidak akan berjalan. Peran dan jasa mereka memang sudah sangat besar bagi bangsa ini sejak dahulu; menyediakan bahan pangan bagi kita semua. Katanya, Indonesia adalah negara agraris; negaranya para petani. Meskipun demikian, sayangnya, terutama para petani kecil dan buruh tani, pengorbanan mereka belum sebanding dengan tingkat kesejahteraannya.Â
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika sebagian dari mereka telah menjual lahan-lahan produktifnya hingga luas lahan pangan secara keseluruhan di Indonesia semakin berkurang (beralih fungsi), jumlah petani menurun (beralih profesi), sedangkan jumlah buruh tani meningkat; berkonsekuensi pada tingkat pengangguran dan kemiskinan yang meningkat.Â
Kesetiaan dan kecintaan para petani terhadap profesinya tentu saja tidak diragukan lagi, tetapi nampaknya, situasinya (secara keseluruhan) selama ini membuat mereka frustasi.
"Kaidah" Harga Beras Harus Murah & Akibatnya
Untuk melindungi ketersediaan pangan bagi masyarakatnya, terutama beras sebagai makanan pokok, sejak dahulu, para penguasa (pengambil keputusan) kita selalu menggunakan kaidah umum bahwa harga beras harus "murah" hingga dapat terjangkau oleh segenap masyarakatnya; termasuk kelas yang terbawah. Pendapat masyarakat pun nampaknya demikian, tiada protes mengenai hal ini. Sehubungan dengan hal ini, muncullah beberapa istilah seperti halnya beras murah, beras subsidi, raskin (beras untuk keluarga miskin), dan lain sejenisnya.
Dengan kaidah ini, implementasinya di lapangan, jika suatu saat terjadi kelangkaan beras (terutama karena produksi lokal/nasional menurun hingga terjadi defisit beras) atau kenaikan harganya, maka dilakukanlah import beras hingga sesaat kemudian ketersediaan beras normal kembali sementara harganya turun di kisaran tertentu (sesuai keinginan).
Selintas, kaidah ini nampak sangat baik dan bersifat melindungi segenap masyarakatnya. Tetapi jika dibedah lebih lanjut, maka sebenarnya, analisa terhadap kaidah ini (perhatikan diagram sebab-akibat import beras) dapat bermakna lain; ada pihak/kelompok (para petani lokal) yang dirugikan dan tidak terperhatikan dalam jangka panjang. Dengan kaidah ini, sederhananya, harga beras cenderung akan "terpatok" di kisaran (rendah) tertentu secara sistemik dalam jangka panjang.Â
Dengan kaidah ini, para petani lokal tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati event perbaikan kesejahteraannya (kenaikan harga beras) meskipun untuk sesaat saja; pemerintah sering keburu (memprioritaskan) mengimport beras (sebagai solusi cepat) (seolah) tanpa berupaya keras untuk terlebih dahulu "menggalakkan" perencanaan dan proses produksi beras lokalnya dalam jangka panjang. Akibatnya, bisnis di sektor ini menjadi sangat tidak menarik dan juga tidak menguntungkan (tidak berprospek) bagi para petani lokal.Â
Tetapi ironisnya, bisnis ini justru menjadi sangat menarik dan menguntungkan bagi para petani di negara-negara dimana Indonesia sering mengimportnya. Produk-produk mereka cenderung laku keras di Indonesia, dan Indonesia menjadi sangat bergantung pada produk-produk mereka.
Kaidah ini, dengan demikian, cenderung menghambat atau bahkan dapat "mematikan" (bisnis & profesi) petani lokal secara sistemik meski perlahan. Selain itu, secara tak tersadar, kaidah ini juga akan menjadikan (menekan) mereka berada di kelas yang paling bawah. Kok bisa? Ya, pada situasi seperti itu, para petani harus melayani, "menanggung", atau "mensubsidi" kebutuhan beras semua kelas di masyarakat meskipun mereka sendiri sebenarnya belum tentu mendapatkan keuntungan yang cukup dari bisnisnya. Oleh sebab itu, tentu saja, untuk meningkatkan kelas (kesejahteraan) para petani (kecil) dibutuhkan biaya, waktu, dan energi yang sangat besar.Â
Solusi Krisis Pangan & Upaya Perbaikan Nasib Para Petani Lokal
Solusi-solusi bagi krisis pangan di atas beserta program food-estate tentu saja sudah benar/baik; perlu dijalankan secara konsisten. Meskipun demikian, solusi-solusi itu masih perlu dikombinasikan dengan upaya-upaya perbaikan nasib petani lokal. Ingat, para petani adalah pemeran utama sekaligus ujung tombak pada konteks ini. Jadi, jika bukan mereka, siapa lagi yang akan menjalankan solusi-solusi itu?
Adapun upaya-upaya (potensi) perbaikan nasib para petani lokal yang dimaksud adalah: [1] pemerintah (pusat/daerah) perlu mengambil alih (sebagian) dari bisnis, permodalan, litbang, dan aktivitas di sektor-sektor pertanian; menyediakan lahan-lahan luas (milik pemerintah), menggaji para petani (penggarap) secara profesional [mereka dianggap sebagai "karyawan" pemerintah non-PNS/ASN], menyediakan pupuk, bibit, alat-alat pertanian, penggilingan, dan lain sejenisnya; [2] pemerintah juga melibatkan pihak swasta (terutama UMKM); [3] pihak swasta (besar) juga diperbolehkan (dianjurkan) untuk mengelola sektor pertanian (terutama beras) secara profesional sebagaimana halnya mereka mengelola kelapa sawit yang menguntungkan (sebagian petani menjadi karyawan profesional mereka).Â
Jika upaya-upaya ini telah ditempuh sekian lama, maka kebutuhan beras nasional tentu saja akan tercukupi, para petani mendapatkan bantuan modal dan akhirnya memperoleh keuntungan yang signifikan, para petani akan tetap bekerja, digaji, atau mendapatkan penghasilan tanpa memperhatikan panenannya (berhasil atau gagal), bisnis dan profesi petani (pertanian) semakin menarik (berprospek), beras menjadi terjangkau oleh masyarakat meskipun harganya bergerak dinamis sesuai dengan kaidah supply & demand apa adanya (objektif); semuanya happy.
Catatan Akhir
Kaidah "murah" di atas tentu saja perlu dikoreksi; beras itu (bahan pangan pokok) tidak harus murah, tetapi harus terjangkau oleh masyarakat; "murah" dan "terjangkau" adalah dua kata yang berbeda dengan makna yang tidak persis sama pula. Dengan terjangkau, konsekuensinya adalah ketersediaannya harus dijamin (produksi beras dalam negeri harus ditingkatkan), keterjangkauannya harus diusahakan (peluang pendidikan, kesempatan kerja, dan pendapatan masyarakat harus terus ditingkatkan), dan pemerintah perlu selalu memonitor dan menindak-lanjuti potensi masalah terkait hal ini.
Kita semua perlu peduli pada nasib petani lokal. Jangan biarkan mereka bermasalah dan terpaksa harus menanggung resikonya seorang diri hingga akhirnya mereka mengambil sikap yang dapat merugikan kita semua dalam jangka panjang (dengan menjual lahan-lahan produktifnya dan menjadi buruh tani).Â
Unsur-unsur pemerintah perlu tanggap dengan potensi masalah besar ini dengan memberikan beberapa bimbingan, penyuluhan, bantuan, atau bahkan membeli dan mengkonsolidasikan lahan-lahan produktif para petani agar akhirnya tetap bisa berproduksi secara optimal sementara mereka tetap dapat bekerja sebagai petani.
Bisnis bahan pangan (termasuk beras), karena menjadi hajat hidup orang banyak, perlu dibuat menarik, bergairah, berprospek, dan berkelanjutan. Artinya, pada konteks ini, bisnis ini juga harus (dipastikan) menguntungkan konsumen dan para petani sebagai pelaku utamanya. Marilah kita (termasuk unsur-unsur pemerintah dan swasta) pikirkan, cari caranya, dan lakukanlah. Â Â
Import pangan (khususnya beras) pada kondisi tertentu bisa jadi tidak terhindarkan. Jadi, jika kondisinya sangat mendesak, hal itu boleh-boleh saja dilakukan. Hanya saja, tidak boleh menjadi kebiasaan. Jika memang harus dilakukan, maka hal itu harus didahului dengan pertimbangan yang sangat matang dan akurat terkait waktu (kapan)Â saatnya, berapa lama durasinya, dan berapa pula besarannya.Â
Meskipun demikian, yang paling disarankan adalah pihak-pihak pemerintah atau swasta terlebih dahulu (memprioritaskan) melakukan upaya-upaya peningkatan produksi bahan pangan lokal/nasional (baik secara intensif maupun ekstensif) dalam jangka panjang (tindakan internal yang produktif) ketimbang solusi instan import beras (tindakan eksternal yang menyebabkan kebergantungan).
Masalah tingkat kesejahteraan atau tingkat kemiskinan terkait profesi petani sangat penting dan mendesak untuk dipahami dan diberikan solusinya. Masalah ini cukup pelik, memiliki unsur sistemik, dan menyangkut orang banyak dalam jangka panjang. Demikian pula halnya dengan masalah "buruh kecil" & "pedagang kecil" yang eksis di negeri ini. Mengapa? Karena "hanya itu" yang dapat dilakukan oleh sebagian orang "sementaun ini" di lingkungannya yang tidak nyaman, tidak mendukung, dan juga sulit untuk berubah. Sebagian cara (solusi) yang dilakukan belum mampu merubah nasib mereka. Ini PR-nya; diperlukan cara lain yang luar biasa untuk memahami, menguraikan, memformulasikan, dan memberikan solusi yang "pas" dan berkelanjutan untuk mereka agar situasinya membaik dari waktu-ke-waktu.
Jika direnungkan, nampaknya, kemiskinan tidak akan pernah musnah di muka bumi. Manusia tetap saja memiliki hirarki (atas-tengah-bawah). Rejeki dan nasib manusia akan selalu berbeda satu sama lainnya; sesuai dengan "takdir" masing-masing (terlepas dari bagaimana mekanismenya). Hirarki yang paling bawah mau-tidak-mau akan "melayani" tingkatan yang berada di atasnya. Ini sudah alami dan juga merupakan "hukum alam" (sunnatullah) dimana manusia saling membutuhkan dan cenderung untuk bekerja sama. Jadi, sebenarnya, (tingkat) kemiskinan itu, dalam perspektif tertentu, bisa jadi tidak dipandang sebagai masalah besar (hulu). Masalah (turunan) ini bisa jadi akan "dilupakan", jika mereka: (1) ikhlas/ridho/syabar menerima nasib apa adanya; (2) mensyukuri segala pemberian (apapun yang mereka miliki); (3)Â sudah merasa bahagia; (4) tidak ada rasa-rasa iri, dengki, dan kesal dengan sesama (karena "keadilan" telah tersebar merata); dan (5) bantuan pemerintah (terlepas dari kecukupannya) telah tersebar di sektor-sektor penting (pendidikan, pangan, kesehatan, kesempatan kerja, dan lain sejenisnya). Pada 5 kondisi ini, manusia akan tetap bahagia (puas) meskipun dalam kondisi miskin. Kemiskinan bukan masalah sama sekali. Jadi, inilah yang juga perlu diperjuangkan. Kita perlu menempuh solusi-solusi yang mengkombinasikan berbagai aspek untuk mengatasi masalah-masalah manusia, termasuk 5 kondisi ini.
Referensi
(Upland, 2024)
Upland. Dampak Kenaikan Harga Pangan di Indonesia. 2024. https://upland.psp.pertanian.go.id/public/artikel/1704858527/dampak-kenaikan-harga-pangan-di-indonesia. 01 Januari 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H