Mohon tunggu...
Eddy Prahasta
Eddy Prahasta Mohon Tunggu... Insinyur - Karyawan

Saya tertarik dengan masalah sosial; contoh kasusnya banyak, bervariasi, dan muncul setiap hari. Memahami masalah ini adalah dayatarik tersendiri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Krisis Pangan Versus Kesejarteraan Para Petani Lokal

18 Mei 2024   18:23 Diperbarui: 26 Mei 2024   18:27 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 2: Contoh Masalah Para Petani Lokal 
Gambar 2: Contoh Masalah Para Petani Lokal 

"Kaidah" Harga Beras Harus Murah & Akibatnya

Untuk melindungi ketersediaan pangan bagi masyarakatnya, terutama beras sebagai makanan pokok, sejak dahulu, para penguasa (pengambil keputusan) kita selalu menggunakan kaidah umum bahwa harga beras harus "murah" hingga dapat terjangkau oleh segenap masyarakatnya; termasuk kelas yang terbawah. Pendapat masyarakat pun nampaknya demikian, tiada protes mengenai hal ini. Sehubungan dengan hal ini, muncullah beberapa istilah seperti halnya beras murah, beras subsidi, raskin (beras untuk keluarga miskin), dan lain sejenisnya.

Dengan kaidah ini, implementasinya di lapangan, jika suatu saat terjadi kelangkaan beras (terutama karena produksi lokal/nasional menurun hingga terjadi defisit beras) atau kenaikan harganya, maka dilakukanlah import beras hingga sesaat kemudian ketersediaan beras normal kembali sementara harganya turun di kisaran tertentu (sesuai keinginan).

Gambar 3: Diagram Sebab-Akibat Import Beras (Salah Satu Implikasi Kaidah Beras Harus Murah)
Gambar 3: Diagram Sebab-Akibat Import Beras (Salah Satu Implikasi Kaidah Beras Harus Murah)

Selintas, kaidah ini nampak sangat baik dan bersifat melindungi segenap masyarakatnya. Tetapi jika dibedah lebih lanjut, maka sebenarnya, analisa terhadap kaidah ini (perhatikan diagram sebab-akibat import beras) dapat bermakna lain; ada pihak/kelompok (para petani lokal) yang dirugikan dan tidak terperhatikan dalam jangka panjang. Dengan kaidah ini, sederhananya, harga beras cenderung akan "terpatok" di kisaran (rendah) tertentu secara sistemik dalam jangka panjang. 

Dengan kaidah ini, para petani lokal tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati event perbaikan kesejahteraannya (kenaikan harga beras) meskipun untuk sesaat saja; pemerintah sering keburu (memprioritaskan) mengimport beras (sebagai solusi cepat) (seolah) tanpa berupaya keras untuk terlebih dahulu "menggalakkan" perencanaan dan proses produksi beras lokalnya dalam jangka panjang. Akibatnya, bisnis di sektor ini menjadi sangat tidak menarik dan juga tidak menguntungkan (tidak berprospek) bagi para petani lokal. 

Tetapi ironisnya, bisnis ini justru menjadi sangat menarik dan menguntungkan bagi para petani di negara-negara dimana Indonesia sering mengimportnya. Produk-produk mereka cenderung laku keras di Indonesia, dan Indonesia menjadi sangat bergantung pada produk-produk mereka.

Gambar 4: Jika Kondisinya Seperti ini, Siapa ya yang mau menjadi Petani? 
Gambar 4: Jika Kondisinya Seperti ini, Siapa ya yang mau menjadi Petani? 

Kaidah ini, dengan demikian, cenderung menghambat atau bahkan dapat "mematikan" (bisnis & profesi) petani lokal secara sistemik meski perlahan. Selain itu, secara tak tersadar, kaidah ini juga akan menjadikan (menekan) mereka berada di kelas yang paling bawah. Kok bisa? Ya, pada situasi seperti itu, para petani harus melayani, "menanggung", atau "mensubsidi" kebutuhan beras semua kelas di masyarakat meskipun mereka sendiri sebenarnya belum tentu mendapatkan keuntungan yang cukup dari bisnisnya. Oleh sebab itu, tentu saja, untuk meningkatkan kelas (kesejahteraan) para petani (kecil) dibutuhkan biaya, waktu, dan energi yang sangat besar. 

Solusi Krisis Pangan & Upaya Perbaikan Nasib Para Petani Lokal

Solusi-solusi bagi krisis pangan di atas beserta program food-estate tentu saja sudah benar/baik; perlu dijalankan secara konsisten. Meskipun demikian, solusi-solusi itu masih perlu dikombinasikan dengan upaya-upaya perbaikan nasib petani lokal. Ingat, para petani adalah pemeran utama sekaligus ujung tombak pada konteks ini. Jadi, jika bukan mereka, siapa lagi yang akan menjalankan solusi-solusi itu?

Adapun upaya-upaya (potensi) perbaikan nasib para petani lokal yang dimaksud adalah: [1] pemerintah (pusat/daerah) perlu mengambil alih (sebagian) dari bisnis, permodalan, litbang, dan aktivitas di sektor-sektor pertanian; menyediakan lahan-lahan luas (milik pemerintah), menggaji para petani (penggarap) secara profesional [mereka dianggap sebagai "karyawan" pemerintah non-PNS/ASN], menyediakan pupuk, bibit, alat-alat pertanian, penggilingan, dan lain sejenisnya; [2] pemerintah juga melibatkan pihak swasta (terutama UMKM); [3] pihak swasta (besar) juga diperbolehkan (dianjurkan) untuk mengelola sektor pertanian (terutama beras) secara profesional sebagaimana halnya mereka mengelola kelapa sawit yang menguntungkan (sebagian petani menjadi karyawan profesional mereka). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun