[caption caption="Ini baru polisi (sumber: http://beritacenter.com)"][/caption]KEPOLISIAN Republik Indonesia (Polri) terus dihujat, terutama melalui media sosial dan kolom komentar pada pemberitaan terkait. Sebagai pelindung/penjaga masyarakat, sejatinya kehadiran Polri disyukuri, bukan malah dibenci. Mengapa masih banyak warga negara menghujat pengayomnya?
Bagaimana sebaiknya Polri bersikap agar bisa mengambil hati masyarakat Indonesia? Polri dan setiap anggota Polri perlu memahami bagaimana masyarakat memandang mereka. Ini penting agar Polri dapat meraih kembali legitimasinya. Bila hari-hari ini kita menemukan begitu banyak opini publik memandang negatif terhadap Polri, itu tak lain karena sikap dan perilaku (oknum?) Polri sendiri. Pendekatan kekuasaan dan penerapan hukum yang kaku tak lagi relevan di zaman teknologi informasi, pers bebas, dan hebatnya kekuatan media sosial.
Kekesalan terhadap Polri ditumpahkan masyarakat melalui media sosial hingga komentar pada berita-berita terkait. Contohnya komentar pedas berikut ini; “Apa-apaan ini, masak setiap pengaduan ke polisi oleh pihak yg menguntungkan polisi selalu ditetapkan sebagai tersangka. Harus dibentuk lembaga yang menyelidiki institusi polisi agar tidak menimbulkan kesan terjadinya kriminalisasi.” Komentar ini terkait penetapan tersangka oleh Bareskrim Polri terhadap dua komisioner Komisi Yudisial, Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman, karena dianggap telah mencemarkan nama baik Hakim Sarpin Rizaldi.
Perhatikan juga ketika Polri mengimbau masyarakat agar membuat laporan polisi manakala terjadi tindak pidana atau pelanggaran hukum. Diingatkan.Pentingnya.Membuat.Laporan.ke.Polisi. masyarakat justru memilih mengumbarnya di media sosial karena merasa repot dan berbelit-belit bila lapor polisi. Bahkan tak sedikit yang dicuekin.
Penulis sendiri pernah mengalaminya. Pernah suatu ketika berhasil menangkap maling (tepatnya pengutil) di toko, diserahkan kepada polisi lengkap dengan barang bukti. Petugas menerima laporan dan menyuruh datang lagi besok pagi. Ketika datang paginya, maling itu sudah raib dari kantor polisi. Dengan enteng seorang petugas menjawab, “mungkin dia kabur lewat loteng.”
Ketika ada lagi pengutil tertangkap, kami terapkan aturan sendiri, yakni meminta bayaran sepuluh kali lipat dari harga barang yang dicuri. Praktik seperti ini dilakukan juga oleh para pemilik toko lainnya. Padahal ini termasuk tindakan main hakim sendiri dan tentu saja melanggar hukum. Tetapi, belakangan kami tak lagi main hakim sendiri, melainkan melaporkan kepada Ketua RW agar pelakunya dinasihati. Jika pelakunya anak-anak, praktik “main hakim sendiri” kembali diterapkan dengan cara menghukum pelaku membersihkan halaman lalu mengantar pulang ke orangtuanya agar dinasihati. Persoalan selesai!
Lalu, bagaimana sebaiknya Polri bersikap agar bisa mengambil hati rakyat Indonesia? Malcolm Gladwell dalam bukunya; “David and Goliath” khususnya bagian ketiga tentang “Batas-batas Kekuasaan” menceritakan bagaimana seorang polisi bernama Joanne Jaffe melakukan pendekatan terhadap masyarakat ketika menjabat Kepala Biro Perumahan Kota di kawasan Brownville, New York City. Ini adalah kawasan kumuh dan miskin, terletak di bagian timur Brooklyn, yang dihuni sekitar seratus ribu orang dan terkenal sebagai ‘sarang penjahat’. Inilah kota yang melahirkan dua juara dunia tinju; Mike Tyson dan Riddick Bowe.
Dalam menghadapi para pelaku kriminal, Jaffe sama sekali tidak menggunakan pendekatan kekuasaan. Dia melakukan hal sebaliknya, tetapi sebelumnya dia telah menginventarisir nama-nama para kriminal, paling tidak yang pernah sekali tertangkap polisi. Jaffe menjalankan program bernama J-RIP, Juvenile Robbery Intervention Program (Program Intervensi Rampok Remaja). Telah banyak upaya pendekatan terhadap keluarga para kriminal tetapi selalu mendapat penolakan. Seisi kota itu sangat membenci polisi
Jaffe tak hilang akal. Ketika hari Thanksgiving, Jaffe menghadap atasannya, meminta duar ribu dollar untuk membeli 125 kalkun bagi 125 keluarga yang terdapat daam ‘daftar hitam’ kepolisian. Malam itu, dengan sebuah mobil boks berpendingin, para polisi berkeliling dari rumah ke rumah membagi-bagikan kalkun beku. Dalam kantong kalkun itu terdapat brosur bertuliskan; “Dari keluarga kami untuk keluarga Anda, Selamat Thanksgiving.”
Jika sebelumnya para polisi bahkan tak diperkenankan masuk rumah, kali ini justru Jaffe dan timnya disambut hangat. “Kami cuma mau bilang, Selamat Thanksgiving. Lalu, ‘Ayo, silakan masuk!’ Sambil menarik kami masuk, lalu, Johnnie, ada polisi! Lalu ada banyak orang lari kesana-kemari, saling peluk dan menangis.” “Saya selalu mengatakan hal yang sama; ‘saya tahu kadang kalian bisa benci polisi. Saya mengerti itu. Tapi saya cuma ingin kalian tahu, biarpun kelihatannya kami mengganggu dengan mengetuk pintu kalian, kami peduli, dan kami benar-benar ingin kalian bisa merayakan Thanksgiving.’”
Kepada Gladwell, Jaffe menjelaskan bahwa dirinya sangat terobsesi bertemu para keluarga pelaku kriminal karena dia tidak menganggap polisi di Brownsville dipandang punya legitimasi. Dan legitimasi itulah yang ingin direbut oleh Jaffe melalui program J-RIP. Sebab, menurut Jaffe, tidak mungkin menyadarkan para remaja yang sudah mencuri dan merampok, sementara polisi jugalah yang menjebloskan ayahnya, abangnya, atau sepupunya ke penjara. Maka, polisi perlu meraih kembali rasa hormat dari masyarakat dengan pendekatan humanis.
Jaffe menjalankan program J-RIP tahun 2003. Lantas, apa hasil yang diperoleh Jaffe? Angka kriminalitas (perampokan) di Brownsville turun drastis, masing-masing di atas 120 kasus pada tahun 2006, kurang dari 100 kasus (2007, 2008, & 2009), kurang dari 60 kasus (2010), dan kurang dari 30 kasus (2011).
Gladwell menentang pendapat bahwa dengan kekuasaan besar, negara bisa menegakkan keteraturan tanpa perlu mengkhawatirkan apa pendapat mereka yang diperintah. Dia menggunakan Jaffe sebagai bukti bahwa yang berkuasa harus memerhatikan bagaimana pihak lain memandangnya. Bahwa yang memerintah sangat rentan terhadap pendapat pihak yang diperintah.
Sikap Kapolri
Gladwell tak perlu mengajari Polri karena sesungguhnya para petinggi Polri telah memahami bagaimana cara mengambil hati rakyat Indonesia.
Jend Bambang Hendarso Danuri semasa menjabat Kapolri pernah berkata, “pengabdian dan prestasi tidak boleh membuat polisi arogan dan sombong. Ia meminta agar polisi menghilangkan sikap egosentris, arogansi, dan tampilkan wajah polisi yang humanis tapi tegas.”
Jend Sutarman - yang digantikan oleh Badrodin - juga pernah mengatakan hal senada, yakni polisi harus menjunjung tinggi nilai humanis dalam melayani masyarakat. Selain itu, awal Januari 2015 lalu, Sutarman mengingatkan agar Polri jangan diombang-ambingkan oleh kekuatan politik.
Pemegang tongkat komando Polri saat ini, Jenderal Badrodin Haiti, telah berjanji akan memimpin Polri sesuai visi “Pemantapan soliditas dan profesionalisme Polri guna mendukung terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.”
Visi itu diimplementasikan dalam delapan misi di antaranya melaksanakan revolusi mental SDM Polri melalui perbaikan sistem rekrutmen, peningkatan kesejahteraan, pendidikan, dan latihan serta pengawasan, memperkuat kemampuan pencegahan kejahatan dengan landasan prinsip pemolisian proaktif (proaktif policing) dan pemolisian yang berorientasi pada penyelesaian akar masalah (problem oriented policing), memacu terbentuknya postur Polri yang lebih dominan sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat, dan meningkatkan pelayanan yang lebih prima kepada publik.
Misi yang luar biasa! Perhatikan, Polri lebih berorientasi pada penyelesaian akar masalah. Ibarat pohon, Polri tidak semata-mata menegakkan hukum atas apa yang terlihat (pucuk, daun, dan batang pohon) tetapi melihat sampai dalam, yakni ke akarnya. Ada penyakit apa yang menyerang akar pohon itu sehingga pucuk, daun, dan batangnya tak terlihat sehat?
Rupanya, akar persoalan ada di tubuh Polri sendiri. Buktinya Badrodin berjanji akan “memacu terbentuknya postur Polri yang lebih dominan sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat, dan meningkatkan pelayanan yang lebih prima kepada publik.” Berarti dalam praktik selama ini poin-poin tersebut masih kurang dominan. Lebih jelasnya, melalui misinya, Badrodin mengakui secara implisit bahwa selama ini Polri masih belum menjadi pelayan yang baik, masih kurang mengayomi, masih kurang melindungi masyarakat, dan pelayanan Polri masih kurang prima.
Setelah sah menjadi Kapolri, pada sebuah kesempatan baru-baru ini, Jend Badrodin ‘lebih terbuka’ alias ‘mengakui’ dari alam bawah sadarnya tentang lemahnya legitimasi Polri atas masyarakat yang diayomi. Badrodin menyatakan bahwa polisi dituntut memiliki “dua wajah”. Satu wajahnya penuh senyum kalau melayani masyarakat. Tapi, polisi harus galak kalau polisi melakukan penegakan hukum.
Dia menyadari bahwa kerap ada jarak antara Polri dan masyarakat. Masyarakat khawatir kalau didatangi polisi terkesan telah melakukan pelanggaran hukum. Takut dirazia atau ditangkap. Menurut Badrodin, hal tersebut karena kurangnya komunikasi yang baik dari Polri kepada masyarakat. "Kalau polisi tidak mau komunikasi dengan masyarakat, ya tidak bisa. Nanti apa pun yang dilakukan polisi tidak ada dukungan," kata Badrodin.
Hal terpenting dalam pernyataan Kapolri pada kesempatan itu adalah dia menyadari pentingnya dukungan masyarakat. "Senjata polisi tidak hanya pistol, gas air mata, tapi dukungan masyarakat," kata Badrodin. Itulah legitimasi yang harus diraih Polri sekuat tenaga. Sayang, niat Kapolri belum terimplementasi baik sampai ke jajaran terbawah. (*)
SUMBER: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H