Masih menurut laporan KOMPAS, kondisi itu menimbulkan krisis pangan sehingga makanan yang dikonsumsi anak pun berkurang, bahkan tidak bergizi. ”Kekurangan gizi itu membuat anak mudah terserang berbagai penyakit, seperti diare. Lalu menimbulkan kematian,” kata Isbandrio.
Kasus gizi buruk terjadi di hampir semua kabupaten di NTT. Kasus terbanyak di Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Kasus gizi buruk sebetulnya selalu terjadi setiap tahun di NTT. Tahun 2014, misalnya, tercatat 2.100 anak penderita gizi buruk dan 15 anak di antaranya meninggal, serta tercatat 3.121 anak balita mengalami kurang gizi.
Mantan Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang, Agustinus Tamo Mbapa, dikutip JPNN, menyatakan akan mengajukan class action terkait kasus 1.918 gizi buruk dan 21.134 gizi kurang di NTT. "Sudah waktunya saya dan PMKRI Kupang mengajukan class action ke pengadilan menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap 1.918 kasus gizi buruk di NTT," kata Agustinus Tamo Mbapa, di Gedung DPD, Senayan Jakarta, Rabu (24/6/2015).
Selain itu, Agustinus juga mendesak anggota DPD RI asal NTT jadi inisiator mengumpulkan anggota DPR, gubernur, bupati dan instansi terkait untuk membicarakan kasus tersebut. Kata Agustinus, fakta memilukan tersebut sudah terjadi sejak 15 tahun terakhir. "Soal gizi buruk di NTT, kami memang tidak berharap banyak ke DPR karena mereka lagi asyik mengkriminalisasi APBN melalui dana aspirasi Rp 20 miliar rupiah per anggota,” sindir Agustinus.
Segitiga setan
Melalui akun facebook-nya, Ketua Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, mengomentari berita utama Harian KOMPAS itu dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). “Selama 10 tahun terakhir, IPM NTT berada di peringkat ketiga terbawah secara nasional. Pertanyaannya; apakah intervensi Pemprov NTT, pemkot/pemkab, dan LSM lokal dan internasional di bidang kesehatan selama ini tak ada hasilnya? Sedih sekali,” tulis Darius
Darius menilai bahwa kondisi gizi buruk dan kemiskinan merupakan isu sisstemik di NTT. Artinya ada system (pembangunan) yang salah, baik dari sisi perencanaan maupun penerapan. Sebab, menurut Darius, gizi buruk tak bisa dilepaskan dari kondisi kemiskinan. “Problem besarnya adalah kemiskinan yang berdampak pada gizi buruk dan lain-lain. Kalau kita hanya berkutat pada solusi jangka pendek itu (pemberian makanan tambahan), maka intervensi pemerintah dan berbagai stakeholder lainnya seperti tak ada artinya,” ujar dia.
Anggota Dewan Riset Daerah NTT, Dr Hyron Fernandez, berpendapat, untuk mengatasi persoalan di NTT harus total football untuk putuskan matarantai-segitiga setan (lingkaran setan yang ada tiga matarantainya yang utama), yakni miskin, bodoh. Penyakitan. Baca: HDI/IPM di Indonesia- bukan hanya di NTT (walau NTT juaranya). Jika tidak, bangsa Ini akan jadi kuli di negeri sendiri yang "gemah ripa loh jinawi” ini. Fernandez mengajak Ombudsman NTT menggelar dialog publik tentang kebijakan untuk solusi investasi fundamental SDM Indonesia, khususnya di NTT.
Masih menurut Fernandez, intinya investasi SDM sejak dalam kandungan. Pendidikan ibu hamil, ibu-ibu yang bakal hamil, suami-suami yang menghamili, laki-laki yang akan menghamili, dan keluarga besar masing-masing yang mau punya keturunan yang bermutu, tapi tidak tahu bagaimana menjadikannya. Mereka semua perlu pendidikan kesehatan reproduksi. Lalu dilanjutkan dengan seribu hari pertama: di sini mulai total football yang sesungguhnya dan Negara harus hadir di sini, full team (semua sektor berbagi peran, dipimpin Kepala Wilayah, mulai dari Ketua RT, Ketua RW, Kepala Dusun, Kepala Desa/Lurah, Camat, Bupati, Gubernur. Negara harus hadir di periode emas - golden period untuk investasi SDM Indonesia.
Memprioritaskan pembangunan ekonomi saja, menurut Fernandez, seperti praktik Orde Baru puluhan tahun (Trilogi Pembangunan Selama Orde Baru tidak menyebutkan secara eksplisit Pembangunan SDM) menyisakan indeks GINI yg menganga antara kaya-miskin. “Jika kita tidak melihat bahwa investasi dasar SDM sebagai jalan keluar pembangunan, bangsa kita tetap dan akan terus terjajah di tengah kekayaan alam yang melimpah dan beban negara akan terus bertambah. Gizi buruk yang tinggi pada Balita saat ini akan menjadi ‘sumber biaya’ bukan sumber daya, apalagi bonus demografi,” tulis Hyron Fernandez yang pernah menjabat Sektetaris Bappeda NTT.