Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Segitiga Setan Penyebab Gizi Buruk di Provinsi NTT

25 Juni 2015   07:40 Diperbarui: 4 April 2017   16:15 1664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

HARIAN KOMPAS edisi Selasa 23 Juni 2015 mengangkat berita utama berjudul “1.918 Anak Menderita Gizi Buruk di NTT”. Sub judulnya; 11 Anak Balita Meninggal. Sementara portal berita Kompas.com, dalam beberapa hari terakhir melaporkan tentang bencana kelaparan yang dialami dua kecamatan - Amanuban Selatan dan Kualin - di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Berita-berita itu menghebohkan masyarakat NTT dan menjadi bahan diskusi cukup serius di sebuah grup media sosial yang dikelola seorang anggota DPRD NTT. Isu tentang masyarakat kelaparan kemudian “terpaksa makan putak” ditanggapi beragam. Pasalnya, makan putak tak selamanya karena kelaparan.

Putak gewang yang belakangan lebih banyak dijadikan pakan ternak (sapi, babi, dan kambing), sebenarnya merupakan bahan pangan alternatif sebagian masyarakat NTT. Putak yang berasal dari empulur pohon gewang diolah menjadi tepung sagu, sama dengan sagu dari pohon aren atau pohon sagu. Sehingga dinilai kurang tepat bila orang makan putak lantas dianggap karena kelaparan.

“Putak itu makanan manusia juga. Masyarakat di TTS bahagian selatan lagi tenang-tenang saja. Kami sudah terbiasa dengan kesusahan, namun beberapa media sedih dengan kesusahan kami, jadi ini sudah dibuat booming isu,” tulis Pdt Jefri Wattileo.

Kendati begitu, mayoritas netizen sepakat bahwa masyarakat yang dilanda bencana kelaparan, sebagaimana dilaporkan Kompas.com, benar adanya. Sebab daerah-daerah tersebut memang sering dilanda bencana kelaparan akibat kekeringan ekstrem saat kemarau panjang. Sementara ketika musim hujan, daerah mereka dilanda banjir bandang. Kalaupun tidak kebanjiran, minimal tanaman pangan di kebun dan ladang mereka mati akibat tergenang saat musim hujan.

Netizen Marthen Djakadana menulis; “Sebelum presiden makan, ajak dulu bupati dan wakil bupatinya, anggota DPRD dan gubernurnya untuk makan putak.”

Artikel terkait: Ajak Jokowi Makan Putak: Warga TTS “Sindir” Pemerintah NTT

Gizi buruk

Harian KOMPAS melaporkan, sebanyak 1.918 anak di Nusa Tenggara Timur menderita gizi buruk selama Januari-Mei 2015. Tercatat 11 anak berusia di bawah lima tahun meninggal akibat gizi buruk. Selain itu, masih ada 21.134 anak balita yang mengalami kekurangan gizi.

Koran terbesar di Tanah Air itu mengutip Kepala Seksi Perbaikan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur (NTT) Isbandrio, di Kupang, Senin (22/6/2015), bahwa penderita gizi buruk dialami keluarga miskin yang tinggal di wilayah terpencil dan pedalaman. Mereka sulit dijangkau kendaraan bermotor karena ketiadaan jalan. Pemahaman ibu terhadap gizi pun sangat rendah. Itu diperparah dengan kemarau panjang yang terjadi sejak tahun 2014 sehingga banyak petani gagal panen.

Masih menurut laporan KOMPAS, kondisi itu menimbulkan krisis pangan sehingga makanan yang dikonsumsi anak pun berkurang, bahkan tidak bergizi. ”Kekurangan gizi itu membuat anak mudah terserang berbagai penyakit, seperti diare. Lalu menimbulkan kematian,” kata Isbandrio.

Kasus gizi buruk terjadi di hampir semua kabupaten di NTT. Kasus terbanyak di Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Kasus gizi buruk sebetulnya selalu terjadi setiap tahun di NTT. Tahun 2014, misalnya, tercatat 2.100 anak penderita gizi buruk dan 15 anak di antaranya meninggal, serta tercatat 3.121 anak balita mengalami kurang gizi.

Mantan Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang, Agustinus Tamo Mbapa, dikutip JPNN, menyatakan akan mengajukan class action terkait kasus 1.918 gizi buruk dan 21.134 gizi kurang di NTT. "Sudah waktunya saya dan PMKRI Kupang mengajukan class action ke pengadilan menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap 1.918 kasus gizi buruk di NTT," kata Agustinus Tamo Mbapa, di Gedung DPD, Senayan Jakarta, Rabu (24/6/2015).

Selain itu, Agustinus juga mendesak anggota DPD RI asal NTT jadi inisiator mengumpulkan anggota DPR, gubernur, bupati dan instansi terkait untuk membicarakan kasus tersebut. Kata Agustinus, fakta memilukan tersebut sudah terjadi sejak 15 tahun terakhir. "Soal gizi buruk di NTT, kami memang tidak berharap banyak ke DPR karena mereka lagi asyik mengkriminalisasi APBN melalui dana aspirasi Rp 20 miliar rupiah per anggota,” sindir Agustinus.

Segitiga setan

Melalui akun facebook-nya, Ketua Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, mengomentari berita utama Harian KOMPAS itu dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). “Selama 10 tahun terakhir, IPM NTT berada di peringkat ketiga terbawah secara nasional. Pertanyaannya; apakah intervensi Pemprov NTT, pemkot/pemkab, dan LSM lokal dan internasional di bidang kesehatan selama ini tak ada hasilnya? Sedih sekali,” tulis Darius

Darius menilai bahwa kondisi gizi buruk dan kemiskinan merupakan isu sisstemik di NTT. Artinya ada system (pembangunan) yang salah, baik dari sisi perencanaan maupun penerapan. Sebab, menurut Darius, gizi buruk tak bisa dilepaskan dari kondisi kemiskinan. “Problem besarnya adalah kemiskinan yang berdampak pada gizi buruk dan lain-lain. Kalau kita hanya berkutat pada solusi jangka pendek itu (pemberian makanan tambahan), maka intervensi pemerintah dan berbagai stakeholder lainnya seperti tak ada artinya,” ujar dia.

 

Anggota Dewan Riset Daerah NTT, Dr Hyron Fernandez, berpendapat, untuk mengatasi persoalan di NTT harus total football untuk putuskan matarantai-segitiga setan (lingkaran setan yang ada tiga matarantainya yang utama), yakni miskin, bodoh. Penyakitan. Baca: HDI/IPM di Indonesia- bukan hanya di NTT (walau NTT juaranya). Jika tidak, bangsa Ini akan jadi kuli di negeri sendiri yang "gemah ripa loh jinawi” ini. Fernandez mengajak Ombudsman NTT menggelar dialog publik tentang kebijakan untuk solusi investasi fundamental SDM Indonesia, khususnya di NTT.

Masih menurut Fernandez, intinya investasi SDM sejak dalam kandungan. Pendidikan ibu hamil, ibu-ibu yang bakal hamil, suami-suami yang menghamili, laki-laki yang akan menghamili, dan keluarga besar masing-masing yang mau punya keturunan yang bermutu, tapi tidak tahu bagaimana menjadikannya. Mereka semua perlu pendidikan kesehatan reproduksi. Lalu dilanjutkan dengan seribu hari pertama: di sini mulai total football yang sesungguhnya dan Negara harus hadir di sini, full team (semua sektor berbagi peran, dipimpin Kepala Wilayah, mulai dari Ketua RT, Ketua RW, Kepala Dusun, Kepala Desa/Lurah, Camat, Bupati, Gubernur. Negara harus hadir di periode emas - golden period untuk investasi SDM Indonesia.

Memprioritaskan pembangunan ekonomi saja, menurut Fernandez, seperti praktik Orde Baru puluhan tahun (Trilogi Pembangunan Selama Orde Baru tidak menyebutkan secara eksplisit Pembangunan SDM) menyisakan indeks GINI yg menganga antara kaya-miskin. “Jika kita tidak melihat bahwa investasi dasar SDM sebagai jalan keluar pembangunan, bangsa kita tetap dan akan terus terjajah di tengah kekayaan alam yang melimpah dan beban negara akan terus bertambah. Gizi buruk yang tinggi pada Balita saat ini akan menjadi ‘sumber biaya’ bukan sumber daya, apalagi bonus demografi,” tulis Hyron Fernandez yang pernah menjabat Sektetaris Bappeda NTT.

Lebih lanjut Fernandez menjelaskan mengenai pentingnya investasi SDM sejak dalam kandungan sampai 1.000 hari pertama yang disebut “Golden Period”. “Karena kapasitas terpasang otak manusia selesai dalam periode ini – 80 persen selesai sampai dengan umur dua tahun - sisanya 20 persen antara umur dua tahun sampai lima tahun. Pada saat si Polan/si Paolin masuk SD, kapasitas otak terpasang sudah selesai dibentuk. Ada yang berisi penuh, separuh penuh, bahkan kosong! Ibarat memory hard disc, ada yang berukuran Terra Bite, ada Giga Bite, ada Mega Bite, dan Kilo Bite, bahkan ada yang Bite saja!”

Kembali soal fakta gizi buruk, menurut Fernandez, saat ini (34 persen) mereka akan jadi input sekolah dasar. “Mau sekolah dari emas, gurunya S3, kurikulumnya teruji, (anak-anak penderita gizi buruk) tidak bakal bisa mengikuti proses pendidikan dengan baik, apalagi jadi output yang baik dan bisa jadi sumber daya secara ekonomi.” Lalu dia melontarkan kalimat satire, “Banyak berdoa saja agar kemiskinan kita jangan menjadi akar dari berbagai permasalahan sosial (baca: kejahatan). Kadang-kadang saya berpikir, untung kita ini kuat berdoa.... he he he.”

Isolasi fisik

Permasalahan kemiskinan, gizi buruk, dan rendahnya indeks pembangunan manusia di NTT sudah seperti benang kusut. Tak ada persoalan tunggal karena semuanya saling terkait dan saling memengaruhi.

Kasus gizi buruk, misalnya, bukan semata-mata karena kemiskinan. Rendahnya pengetahuan pun tak bisa disorot sebagai penyebab tunggal. Ternyata buruknya infrastruktur transportasi ikut memberi sumbangan, seperti dilaporkan Harian KOMPAS di atas, yang menyontohkan kematian dua balita di Desa Manusasi, Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Desa tersebut berlokasi 50 kilometer dari Kefamenanu, Ibukota TTU. Hanya bisa dijangkau dengan ojek tapi biayanya mencapai Rp 200 ribu! Akibatnya Dinas Kesehatan kesulitan mengontrol kondisi kesehatan masyarakat di sana, sebagaimana dikeluhkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, Stefanus Bria.

Ketua Komisi V DPRD NTT Winston Rondo mengingatkan Pemprov NTT untuk mewaspadai periode Juni-Desember yang merupakan puncak musim kemarau dan rawan pangan di sejumlah daerah NTT. Sementara Direktur Perkumpulan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT Sarah Lery Mboik menilai, revolusi kesehatan ibu dan anak (KIA) yang diluncurkan pada 2012 dengan mengalokasikan anggaran miliaran rupiah tidak banyak berpengaruh terhadap penyelesaian masalah gizi buruk di NTT. Menurut mantan anggota DPD ini, kasus gizi buruk di NTT sudah menahun, terjadi sejak 20 tahun silam, dan tidak pernah berubah sampai hari ini.

”Setiap penyusunan APBD antara pemda dan DPRD ujung- ujungnya untuk kepentingan mereka, melalui sejumlah proyek siluman. Rakyat selalu jadi korban. Kalau ada anggaran untuk rakyat, seperti Program Anggur Merah, pun hanya bagi kelompok warga yang mendukung kepala daerah itu, sementara rakyat yang dianggap lawan politik diabaikan begitu saja,” ujar Lerry dikutip KOMPAS.

Anggota Komisi IX DPR RI, Amelia Anggraini, kepada Liputan6.com, mengatakan, masih banyaknya gizi buruk di NTT dan beberapa daerah di Indonesia karena Pemerintah belum menjalankan amanat Peraturan Pemerintah 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi.

Menurutnya, pada Pasal 37 – Pasal 40 PP 15/2015 sudah jelas mengatur tentang Perbaikan Gizi Masyarakat. Dalam konteks inilah, Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya menyusun dan melaksanakan kebijakan mengenai perbaikan Gizi Masyarakat.

Amelia mendesak agar ada sinergi dan koordinasi antar pemerintah. “Selama ini kerjasama lintas pemerintah masih kurang, karenanya perlu dikuatkan kerjasamanya untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat,” ujar politisi NasDem ini. (*)

Keterangan gambar: Grafik kecenderungan gizi buruk di Indonesia 2007-2013 (sumber: Dr Hyron Fernandez)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun