Uraian di atas seperti lingkaran setan saja. Kita bingung harus memulai dari mana. Apakah mencerdaskan manusianya duluan, sistemnya duluan, atau jalankan keduanya secara bersama-sama? Di sinilah pentingnya melakukan identifikasi masalah untuk menentukan konsep smart city seperti apa yang paling tepat diterapkan pada sebuah kota. Caranya?
Kota Batam yang terdiri atas gugusan Pulau Batam, Rempang, dan Galang yang dihubungkan oleh Jembatan Barelang, “hanya” seluas 715 km2. Sejak awal pulau ini telah dipersiapkan dan dikembangkan sebagai daerah industri, perdagangan, dan jasa serta ditetapkan sebagai free trade zone (daerah perdagangan bebas). Status tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi Batam selalu di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Ketika rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional berkisar 5 persen, pertumbuhan ekonomi Batam mampu mencapai 7-8 persen.
Daya tarik itu membuat masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia berbondong-bondong ke Batam untuk mencari pekerjaan, sehingga rata-rata pertumbuhan populasi mencapai 8 persen per tahun. Mengacu statistik pada situs resmi Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), jumlah penduduk Batam pada 2005 masih berkisar 700 ribu jiwa, pada Desember 2014 populasi telah melampaui angka satu juta jiwa (bpbatam.go.id). Diperkirakan populasi Batam saat ini telah mencapai 1,3 juta jiwa. Pertumbuhan populasi ini didominasi oleh para pencari kerja dari daerah lain.
Laju populasi cukup tinggi sementara ketersediaan lahan sangat terbatas, baik untuk kepentingan bisnis dan industri, hunian, fasilitas publik, area penyangga, dan sarana-prasarana lainnya.Terutama untuk hunian, dari waktu ke waktu pembangunan kawasan perumahan terus berkembang dan semakin banyak menghabiskan lahan. Belum lagi penyerobotan lahan, termasuk di area-area buffer zone untuk mendirikan rumah-rumah liar (ruli), termasuk di catchment area sekitar dam penampung air baku. Ditambah buruknya sistem draenase, maka banjir pun tak terhindarkan manakala curah hujan berlangsung 2-3 jam saja, sementara ketersediaan air baku di waduk-waduk justru menipis.
Karena itu, saatnya Pemerintah Kota Batam dan BP Batam bahu-membahu menata ulang peruntukan lahan. Mulai menghemat penggunaan lahan untuk pembangunan hunian dengan mengurangi pengembangan rumah tapak (landed house) dan mengembangkan rumah susun (rusun). Masyarakat yang selama ini bermukim di ruli-ruli harus dipindahkan ke rusun dan lahan-lahan yang telah rusak atau mengalami deforestasi harus ditanami kembali sebagai hutan kota serta memperbanyak taman-taman kota.
Sayang, Pemerintah Kota tampaknya kurang tegas dalam mengatasi berkembangnya permukiman liar. Penulis menduga ini ada kaitannya dengan kepentingan politik, yakni penghuni ruli dijadikan lumbung suara dalam pesta demokrasi. Imbalannya mereka tidak boleh digusur. Padahal, jika memang berniat baik untuk kepentingan warga, pemerintah bisa membangun rusun dan memindahkan mereka ke sana, sebagaimana yang sedang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta.