Kota Batam juga melampaui kota-kota lain dalam hal ketersediaan dan aksesibilitas jaringan internet. Sejak tahun 2008 Batam telah menjadi cyber city, yakni jaringan internet tersedia di seluruh kecamatan serta tersedianya free wi-fi pada banyak titik. Tahun 2009 Batam sudah mulai menerapkan pengurusan KTP secara online, dan dengan dukungan teknologi informasi pula, sejak Januari 2015, pembuatan KTP dan Kartu Keluarga (KK) bisa dilakukan di kantor camat. Sekarang, seluruh kelurahan di Batam telah tersedia jaringan internet.
Baru-baru ini Menkominfo Rudiantara, mengatakan bahwa saat ini Batam menjadi hub jaringan komunikasi Indonesia dan global karena adanya jaringan komunikasi kabel laut (Batam-Mersing Cable System) ke luar negeri di Tanjung Bemban. Fasilitas ini mampu melayani permintaan komunikasi hingga satuan giga bit per second (gbps) dan menjadi cadangan untuk jaringan internasional yang telah ada sebelumnya. Dengan fasilitas ini pula, tahun ini, dua perusahaan telekomunikasi nasional, Indosat dan Telkomsel, sudah bisa menyelenggarakan layanan telekomunikasi 4G untuk pelanggan di Batam. (antara)
Singkatnya, dari sisi teknologi informasi, nyaris tak ada hambatan bagi Kota Batam untuk menerapkan konsep smart city. Para pemangku kepentingan tinggal menghubungkan infrastruktur fisik, teknologi informasi, sosial, dan ekonomi-bisnis menjadi satu kesatuan sistem yang saling mendukung.
Namun, kata orang; “Ini Indonesia, Bung!” Maksudnya, kendati telah didukung oleh teknologi informasi canggih, Batam tetaplah bagian dari Indonesia yang tak lepas dari persoalan-persoalan klasiknya, yakni kurang responsif, inovatif, dan kompetitif. Teknologi yang ada belum dimanfaatkan secara optimal oleh para pemangku kepentingan sehingga yang terjadi adalah kurang cepat tanggap dalam mengatasi permasalahan kota, pemecahan masalah kurang inovatif, dan berdaya saing lemah dibandingkan kota-kota lain di negara-negara tetangga.
Pemangku kepentingan kurang responsif dalam mengatasi persoalan kota seperti kerusakan lingkungan, banjir, dan masih mengatasi permasalahan sampah secara “tradisional”. Pembangunan kota masih kurang mempertimbangkan kelestarian alam, kurangnya kerja sama aktif yang saling mendukung (bersimbiosis) dengan institusi-institusi pendidikan/kampus, lembaga-lembaga penelitian, maupun dengan perusahaan-perusahaan yang jumlahnya mencapai ribuan. Transportasi massal pun masih mengandalkan sistem “tradisional”, maksudnya masih bergantung pada angkutan kota berupa mikrolet dan minibus. Ada layanan bus DAMRI, namun kurang diminati warga kota karena keterbatasan daya angkut dan jadwal yang kurang sesuai dengan irama mobilitas penduduk yang umumnya bekerja di sektor industri manufaktur, perdagangan, dan jasa. Warga kota pun lebih memilih kendaraan pribadi seperti mobil dan motor serta ojek motor sebagai angkutan alternatif. Ini mengakibatkan kemacetan, terutama pada jam-jam sibuk, lantaran banyaknya kendaraan pribadi berseliweran di jalan raya.
Sebagai kota yang digerakkan oleh “dua mesin” yakni Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Kawasan (BP Batam), mestinya kota ini memiliki akselerasi lebih baik dibanding kota-kota lain di Indonesia bahkan mampu bersaing atau minimal menjadi pilihan utama tumpahan industri dari Singapura sebagaimana “teori balon” yang dicetuskan BJ Habibie. Kendati saat ini Batam masih diminati investor asing, posisinya sudah mulai tersaingi oleh Tanjungpelepas, Johor, Malaysia. Masih ada saling menyalahkan terkait tanggungjawab terhadap permasalahan kota, tetapi sekaligus berebut wewenang antara kedua institusi tersebut dalam beberapa aspek, misalnya soal hak pengelolaan lahan (HPL).
Rusun untuk Hemat Lahan