Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Sebelas Siswa, Cuma Satu yang Kuliah

11 Oktober 2014   05:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:30 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412956391105545418

[caption id="attachment_328427" align="aligncenter" width="508" caption="Ilustrasi (sumber: guemahasiswa.com)"][/caption]

BATAM – Bila Anda seorang sarjana atau saat ini sedang kuliah di perguruan tinggi, bersyukurlah. Betapa tidak, Anda merupakan satu-satunya dari sebelas teman sekelas di sekolah dasar (SD) yang mampu mencapai level pendidikan tinggi tersebut. Artinya, apabila sebuah kelas di SD berisi 32 orang (angka rata-rata di Indonesia) maka hanya 2,9 orang yang mampu mencapai universitas.

Hal itu diungkapkan DR. Sonny Harry B Harmadi selaku Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFE-UI) ketika menjadi narasumber bertema “Bonus Demografi”, dalam acara “Kompasiana Nangkring bersama BKKBN di Batam” yang berlangsung di de Arianis Café, Jl Engku Putri Komplek Carnaval Mall, Batam Center, Batam, Rabu (8/10/2014).

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang mampu mencapai level pendidikan tinggi masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menunjukkan, Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk berusia 19-24 tahun hanya sebesar 20,4 persen. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam sambutan tertulisnya saat Kongres Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Selandia Baru di Wellington, tahun 2011 silam, menyebutkan, jumlah mahasiswa Indonesia saat ini baru 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru 18,4 persen. Adapun bila dihitung terhadap populasi usia 19-30 tahun, angka partisipasi kasarnya baru 23 persen. Jumlah ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara maju. (Sumber)

DR Sony juga memaparkan data mengenai persentase sarjana di Indonesia, yakni 70 persen merupakan sarjana ilmu-ilmu sosial dan hanya 30 persen sarjana science dan teknologi. Komposisi demikian membuat Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, terutama dalam menghasilkan produk-produk berteknologi tinggi.

Selain itu, sebagaimana pernah diungkapkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, bahwa dari total 7,17 juta pengangguran terbuka di Indonesia 610 ribu di antaranya adalah sarjana – lulusan universitas. Rinciannya 190 ribu adalah lulusan pendidikan diploma I/II/III dan 420 ribu orang lulusan strata I universitas. Tingginya pengangguran intelektual ini, menurut Muhaimin, menggambarkan Indonesia berada dalam situasi “darurat sumber daya manusia (SDM)”. Dia juga mengungkapkan bahwa Indonesia kekurangan tenaga kerja profesional yang memiliki keterampilan serta kompetensi kerja (Sumber)

Data BPS 2014 menyebutkan, angkatan kerja di Indonesia saat ini masih didominasi penduduk jenjang pendidikan SD ke bawah, yaitu sebanyak 55,3 juta orang atau 46,8 persen, diikuti pendidikan SMP sebanyak 21,1 juta orang atau 17,82 persen. Penduduk bekerja berpendidikan tinggi hanya sebanyak 12 juta orang yang terdiri atas pendidikan diploma sebesar 3,1 juta orang atau 2,65 persen dan pendidikan universitas hanya mencapai 8,8 juta orang atau 7,49 persen.

Apabila dilihat berdasarkan sektor, kata DR Sonny, saat ini mayoritas angkatan kerja di Indonesia masih bekerja di sektor informal. “Kita harus bisa mentransformasikan mereka dari sektor informal ke sektor formal,” ujarnya.

Pernyataan itu sesuai data BPS per Februari 2014, yakni 118,2 juta penduduk yang bekerja di Indonesia, tercatat sebanyak 47,5 juta orang (40,19 %) bekerja pada kegiatan formal dan 70,7 juta orang (59,81 %) bekerja pada kegiatan informal.

Berbagai kondisi tersebut menjadi tantangan bagi Indonesia dalam upaya memaksimalkan bonus demografi yang diprediksi akan tercapai pada 2020-2030. Bonus demografi adalah bonus yang dapat dinikmati oleh sebuah negara manakala proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibanding penduduk tidak produktif berusia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas. Disebutkan, dalam rentang sepuluh tahun tersebut, jendela peluang (window of opportunity) bagi Indonesia untuk meraih sebesar-besarnya kesejahteraan mencapai 47 per 100 orang. Artinya 100 orang usia produktif menanggung 47 orang usia tidak produktif.

DR Sonny menyebutkan pula sejumlah tantangan lainnya dalam upaya meraih bonus demografi, yakni 45 persen perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. “Jadinya mereka nggak bisa menyelesaikan sekolah,” ujar dosen UI yang oleh tiga guru besar disodorkan kepada presiden terpilih Joko Widodo agar dipercaya sebagai Menteri Kependudukan Kabinet Indonesia Hebat.

Air, narkoba, dan iPad

DR Sonny memaparkan bahwa hanya 47 persen penduduk Indonesia yang terpapar air. “Tapi 70 persen memiliki handphone,” ujarnya sebagai bentuk refleksi bahwa kebutuhan tersier seperti pemilikan telepon genggam justru jauh melampaui kebutuhan paling mendasar manusia di Indonesia. Dia menambahkan, “28 Persen penduduk Indonesia tidak memiliki rumah,” ujar ahli demografi terkemuka di Indonesia itu.

Dia menekankan bahwa ancaman terbesar bagi Indonesia untuk meraih bonus demografi adalah narkoba. Disebutkan bahwa penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza) di Indonesia sangat tinggi. “Narkoba benar-benar menghancurkan generasi muda," ujarnya.

Sehingga dia mengingatkan agar mewaspadai betul bahaya penyalahgunaan narkotika. “Jangan sampai semakin banyak penduduk Indonesia usia produktif menjadi pengguna narkoba. Dampaknya, penduduk usia produktif justru akan menjadi beban negara," tegasnya.

Sebagai informasi, menurut catatan Badan Narkotika Nasional (BNN), hingga tahun 2013 narkoba telah merenggut 4,2 juta jiwa atau rata-rata mengakibatkan kematian 40 orang per tahun akibat penyalahgunaan narkoba. Prediksi BNN, angka kematian akibat narkoba akan terus meningkat hingga mencapai 5,1 juta orang di tahun 2015. Kerugian ekonomi negara akibat narkoba mencapai Rp 41 triliun per tahun, terdiri dari biaya ekonomi dan sosial. Data lainnya malah menyebut kerugian akibat penyalahgunaan narkotika mencapai Rp 50 triliun per tahun.

Sebelumnya, untuk memberikan gambaran kepada para blogger Kompasiana di Batam, DR Sonny memberikan sebuah analogi menggunakan iPad soal bagaimana meraih bonus demografi. Kata dia, iPad adalah gadget multiguna, namun tak semua orang memahami manfaat alat tersebut. “Ada yang hanya gunakan untuk bermain game, ada yang cuma pernah mendengar mengenai iPad, tetapi ada yang tahu semua fungsi dan manfaatnya. Demikian pula bonus demografi,” papar dia.

Menjawab pertanyaan soal mengapa Brazil dan Afrika Selatan gagal memanfaatkan bonus demografi, menurut DR Sonny, sebenarnya kedua negara itu bukan gagal, tetapi tidak mampu mengoptimalkan bonus demografinya.

Jadi, mampukah Indonesia menikmati bonus demografi tahun 2020-2030? (*)

ARTIKEL TERKAIT:

Begini Cara BKKBN Agar Indonesia Meraih Bonus Demografi

Merawat Generasi, Menuai Bonus Demografi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun