[caption id="attachment_330360" align="aligncenter" width="640" caption="Presiden Joko Widodo (sumber: akun FB Jokowi)"][/caption]
TAK satu kata pun mengandung tudingan kepada pihak asing dalam pidato perdana Joko Widodo usai dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Senin 20 Oktober 2014. Pidato yang dikasih judul “Di Bawah Kehendak Rakyat dan Konstitusi” itu lebih difokuskan untuk ‘diri sendiri’. Meski menggunakan pilihan kata yang berbeda-beda, namun Jokowi memberikan penekanan berulang-ulang mengenai pentingnya harga diri dan kewibawaan bangsa ini. Pidato Jokowi memiliki kemiripan dengan pidato Barack Obama saat pertama kali menjadi Presiden AS. Kesamaan tersebut akan kita bahas jelang akhir artikel ini.
Saya kutip kalimat pidato Jokowi berikut ini; “Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun peradabannya sendiri. Bangsa besar yang kreatif yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran bagi peradaban global.”
Mengapa Jokowi tidak menuding-nuding pihak asing sebagai biang kerok terpuruknya negeri ini? Jelas, karena majunya sebuah bangsa bukan karena mereka pandai menyalahkan dan menuding-nuding bangsa lain, tetapi karena mereka mampu menjaga harga diri dan kewibawaan bangsanya sendiri. Pihak asing tidak mungkin mengobok-obok bangsa ini bila kita sendiri tidak membuka celah atau malah melacurkan diri kepada kepentingan mereka.
Pidato singkat dan sederhana, yang oleh beberapa lawan politik dianggap ”biasa saja” itu sesungguhnya sarat makna. Jokowi dengan semangat revolusi mental yang senantiasa digaungkannya, mendorong bangsa ini untuk bekerja keras, menjadi bangsa petarung yang selalu berjuang pantang menyerah dengan mengandalkan segala kemampuan dan sumber daya yang kita miliki. Persatuan, gotong-royong, dan kerja keras menjadi syarat mutlak agar Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar.
Penyebutan sejumlah profesi, mulai dari rakyat biasa hingga pengusaha dan aparat negara, di dalam pidato itu untuk mengingatkan bahwa bangsa ini tidak bisa apa-apa jika salah satu dari kita yang menggantungkan periuk nasinya pada profesi-profesi itu justru bekerja asal-asalan, malas, atau malah menyelewengkan posisi dan jabatan untuk kepentingan sendiri. Jokowi mendorong segenap anak bangsa dengan profesinya masing-masing untuk bekerja... bekerja... dan bekerja!
Pada alinea penutup, Jokowi menggunakan kapal sebagai analogi dan dirinya sebagai sang nakhoda. Tampaknya Jokowi sangat terinspirasi pada sebuah kapal, itulah sebabnya ketika pidato kemenangan dalam Pilpres pada 22 Juli 2014 pun dilakukan di atas Kapal Pinisi. Asal tahu, Pinisi hanyalah sebuah kapal kayu tanpa mesin dan hanya mengandalkan layar, tetapi dia mampu berlayar mengarungi samudra luas hingga ke berbagai belahan dunia.
Berikut kutipan alinea penutup pidato Presiden Jokowi; “Sebagai nahkoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudera dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan Konstitusi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merestui upaya kita bersama.”
Mari kita preteli kutipan pidato tersebut:
1.Indonesia ibarat kapal layar
Dunia begitu luas. Luasnya dunia di sini tidak semata soal ukuran atau dimensi geometrik. Banyak dimensi lain seperti geopolitik, ekonomi, relasi antar-bangsa, dan sebagainya. Dari sisi geopolitik, Jokowi ingin menyadarkan kembali cara pandang dan sikap bangsa ini mengenai siapa kita (mengenal diri sendiri), mengenal lingkungan sendiri, serta memahami Indonesia sebagai negara kepulauan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Jokowi merasa tidak perlu menuding-nuding atau mempersalahkan bangsa lain, tetapi mengingatkan soal pentingnya geopolitik bagi bangsa ini untuk mampu mempertahankan negara dan ikut berperan penting dalam membina kerja sama dan penyelesaian konflik antarnegara. Dan jelas disebutkan dalam pidato itu bahwa dalam pergaulan antarnegara, posisi Indonesia tetap sama, “...akan terus menjalankan politik luar negeri bebas-aktif, yang diabdikan untuk kepentingan nasional, dan ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Memilih analogi “kapal layar” juga untuk menegaskan Indonesia sebagai negara maritim. Ini bermakna ganda. Pertama memang bermakna real sebagai sebuah negara yang memiliki lautan yang luas, di mana Jokowi merasa perlu mengingatkan lagi semboyan nenek moyang; Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya.
Kedua, dia bermakna kiasan, di mana Jokowi mengutip pesan Bung Karno dalam alinea sebelumnya: “... saya mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk mengingat satu hal yang pernah disampaikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung.”
Kalau hanya menghadapi godaan kecil saja, kita sudah melempem, apalagi bila harus menghadapi gelombang dan hempasan ombak menggulung? Banyak pejabat terlena bujuk rayu (termasuk dari korporasi-korporasi asing) sehingga tersangkut korupsi, menerima suap, dan sebagainya. Mental kita terlalu lemah, sontoloyo, oleh sebab itulah revolusi mental menjadi penting di sini.
2.Jokowi sebagai nakhoda
Nakhoda adalah pemegang kemudi kapal. Kemudi itu tak lain ‘alat kekuasaan’. Haluan kapal sebesar apa pun akan berbelok ketika sang nakhoda memutar kemudinya. Pekerjaan nakhoda menjadi enteng jika samudra tenang tanpa badai dan gelombang. Nakhoda tidak terlihat kehebatannya bila kapalnya berlayar di lautan teduh. Dia patut disebut nakhoda kawakan manakala mampu membawa kapalnya berlayar menembus badai, mengarungi gelombang, dan mampu menaklukkan hempasan ombak yang menggulung.
Dalam pidatonya, Jokowi menyatakan, karena telah mendapatkan kepercayaan rakyat maka dia mengajak semua warga negara untuk ikut naik ke atas kapal Republik Indonesia yang sangat besar ini. Semuanya harus naik, jangan ada yang tinggal berdiri di pinggir pelabuhan sambil melambai-lambaikan tangan. Dia mengajak segenap rakyat Indonesia agar ikut mengambil bagian, bahu-membahu dalam semangat persatuan dan gotong royong, dalam pelayaran mengarungi samudra yang bergejolak sebelum memasuki teluk yang teduh kemudian bersandar di pelabuhan Indonesia Raya.
Hanya para pemalas, mereka yang apatis, dan para pembangkang yang memilih berdiri di tepi pelabuhan sambil melambai-lambaikan tangan. Mereka inilah orang-orang yang tidak ingin maju atau kelompok yang lebih menyukai status quo. Mereka lebih mirip para calo penumpang yang hanya menjual tiket tetapi tidak ikut dalam perjalanan.
3.Layar yang kuat
“Kita akan kembangkan layar yang kuat.” Layar berbahan jelek akan mudah sobek diterpa angin kencang. Tiang penopang layar (soko guru) juga harus kuat sehingga tidak boleh dari sembarangan kayu. Pun tak boleh ada bekas lubang/membusuk akibat gerogotan hama. Haruslah kayu dengan serat-serat halus dan kokoh. Demikian pula tali-tali pengikat layar haruslah tali yang kuat dan tak mudah putus.
Bagaimana mungkin sebuah kapal bisa berlayar lancar bila layarnya mudah sobek, soko guru gampang patah, dan tali layarnya mudah putus. Begitu pula bangsa ini, tak mungkin mampu berlayar, apalagi di tengah badai, bila rakyatnya melempem, pejabatnya korup, dan sistemnya bobrok.
4.Badai dan gelombang
Jokowi menyadari pelayaran menuju pelabuhan Indonesia Raya takkan mudah. Kita akan berlayar mengarungi samudra yang bergejolak oleh badai dan gelombang. Bisa berupa hambatan dari lawan politik hingga persaingan ketat dengan bangsa-bangsa lain. Maka bangsa Indonesia harus kuat dan maju dengan kekuatan sendiri melintasi semuanya. Dengan rakyat yang kuat dan konstitusi yang kokoh, bangsa ini tak mudah goyah. Atas restu dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, niscaya Indonesia Hebat bisa kita rengkuh bersama.
Pidato Obama
Barack Obama, ketika pertama kali memenangkan Pilpres AS tahun 2009, juga menegaskan pentingnya kerja keras bagi rakyat AS yang kala itu masih berkutat dengan krisis finansial. Obama berpidato pada 20 Januari 2009 di Capitol Hill, Washington DC. Dalam pidatonya ketika itu, Obama berkata, “Hari ini saya katakan kepada kalian bahwa tantangan-tantangan yang kita hadapi adalah nyata. Tantangan ini serius dan banyak. Tidak akan mudah diatasi dan tidak bisa diatasi dalam jangka pendek. Tetapi ketahuilah ini, Amerika, semua tantangan ini akan kita hadapi. Pada hari ini, kita berkumpul karena kita lebih memilih harapan daripada ketakutan, kesatuan tujuan daripada konflik dan pertentangan.”
Obama mengajak rakyat AS bersatu padu, berhenti mengeluh dan saling menuduh. Saatnya rakyat Amerika bangkit dengan semangat menyala-nyala dan tegar memilih jalan sejarah yang lebih baik. Dia menegaskan bahwa kebesaran Amerika hanya bisa diraih melalui kerja keras. “Dalam menandaskan kebesaran bangsa kita, kita memahami bahwa kebesaran tak pernah diberikan begitu saja. Mencapai kebesaran harus dengan kerja-keras. Perjalanan yang kita tempuh tak pernah mengambil jalan pintas. Perjalanan kita bukan bagi mereka yang tidak-tabah, bukan bagi mereka yang suka bermalas-malas daripada bekerja, atau bagi yang hanya mengejar kekayaan dan menjadi terkenal.”
Presiden kulit hitam pertama di AS itu melanjutkan, “Mulai hari ini, kita harus bangkit sendiri, membersihkan debu yang menempel, dan mulai lagi bekerja memperbaharui Amerika...”
Dalam pidatonya Jokowi mengatakan, “Kerja besar membangun bangsa tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden ataupun jajaran Pemerintahan yang saya pimpin, tetapi membutuhkan topangan kekuatan kolektif yang merupakan kesatuan seluruh bangsa.Lima tahun ke depan menjadi momentum pertaruhan kita sebagai bangsa merdeka. Oleh sebab itu, kerja, kerja, dan kerja adalah yang utama. Saya yakin, dengan kerja keras dan gotong royong, kita akan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Baik Obama maupun Jokowi, sama-sama tidak menyalahkan pihak asing dalam pidatonya. Keduanya sama-sama menekankan pada pentingnya kerja keras segenap warganegara, karena hanya melalui kerja keras dengan kekuatan sendiri itulah sebuah bangsa menjadi besar. Sekali lagi, tidak ada bangsa yang menjadi besar karena terus-menerus mengeluh sambil memaki-maki pihak asing. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H