[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Seperti inilah ternak babi yang dijual di Pasar Lili (foto: eddy mesakh)"]
sangat membantu masyarakat NTT di daratan Timor untuk menjual hasil kebun dan ternak, sekaligus tempat berbelanja kebutuhan harian yang tak bisa diperoleh di kampung. Minimal masyarakat pedalaman bisa memperoleh harga lebih murah dibanding harga di kampungnya untuk menebus sabun, pasta gigi, busana, peralatan dapur, minyak tanah, dan kebutuhan lainnya. Satu lagi, masyarakat yang berasal dari daerah pegunungan bisa memperoleh ikan laut yang jarang diperjualbelikan di kampung mereka.
Pasar Lili tak hanya menjadi tempat bagi masyarakat dari kampung-kampung dan para pedagang, tetapi juga menjadi tempat berbelanja masyarakat dari Kota Kupang yang ingin memperoleh harga lebih murah. Sebab, di pasar-pasar seperti ini, masyarakat dari Kota Kupang bisa memperoleh ternak, sayuran, dan bumbu masak dari tangan pertama. Selain lebih murah, konsumen juga bisa memperoleh sayuran dan buah-buahan dari kampung-kampung yang lebih aman dan menyehatkan karena diusahakan secara organik tanpa menggunakan pupuk kimia dan obat-obatan.
Pasar Lili dikelola oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Kupang. Terakhir kali direnovasi pada 2011 atas kerjasama Kementerian Perdagangan Republik Indonesia bekerja sama dengan Pemkab Kupang menggunakan Dana Alokasi Khusus Bidang Sarana Perdagangan.
“Tangan” anjing diborgol, babi dikarungin
[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Seorang pria membawa anjing yang baru saja dibeli di Pasar Lili (foto:eddy mesakh)"]
Ketika berbelanja di Pasar Lili, Sabtu pagi, 6 Desember 2014, saya menyaksikan hal-hal unik di area penjualan ternak pada sisi belakang pasar tersebut, yakni ada ‘tangan’ alias kedua kaki depan anjing yang diikat ke belakang layaknya polisi memborgol pelaku kejahatan yang tertangkap. Kedua kaki belakang pun diikat jadi satu menggunakan ‘tali gewang’, tali tradisional dari daun pohon gewang (Corypha gebanga)- sejenis pohon palem.
Puluhan ekor anjing kampung yang diperjualbelikan diikat seperti itu. Seorang penjual anjing menjelaskan, anjing lebih tenang, tak banyak bergerak, dan tak bisa menggigit bila diikat seperti itu. Pun lebih mudah ditenteng pembeli, cukup dengan memegang pada kedua “tangan” yang terikat itu. “Dia sonde bisa gigit kalo ikat begitu...hahahaaa...,” ujar seorang pedagang anjing.
Seekor anjing berukuran sedang, seberat kira-kira 15 kg, bisa ditebus seharga Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Sedangkan yang berukuran lebih besar, harganya bisa mencapai Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu per ekor.
Untuk apa orang membeli anjing di pasar? Bagi sebagian masyarakat di Timor dan NTT pada umumnya, daging anjing menjadi menu istimewa dan konon sangat lezat. Apalagi disantap sebagai “tolakan” alias teman minum sopi – minuman tradisional beralkohol khas di sana. Jadi, jangan heran bila Anda melihat banyak anjing diperjualbelikan ketika berkunjung ke pasar-pasar mingguan di Kabupaten Kupang, karena konsumennya banyak dan sangat laris. Di Kupang, banyak warung khusus menyediakan menu daging anjing pedas yang disebut “RW”.
Di lokasi yang sama juga diperjualbelikan ternak babi, baik babi dewasa untuk dipotong maupun anak babi sebagai bibit untuk dipelihara. Babi-babi tersebut ada yang dikarungin oleh penjualnya, sementara ratusan ekor babi lainnya hanya diikat kakinya menggunakan tali gewang.
[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Seperti inilah para pedagang mengikat anjing-anjing yang diperjualbelikan di Pasar Lili (foto:eddy mesakh)"]
Harga babi cukup tinggi. Anak babi berumur sekitar dua bulan harganya antara Rp 500 ribu – Rp 600 ribu per ekor. Sedangkan babi berukuran sedang, berumur 6-8 bulan, berkisar antara Rp 800 ribu – Rp 1,5 juta per ekor. Babi termasuk jenis ternak paling laris di daratan Timor yang mayoritas penganut Kristen Protestan dan Katholik.
Dengan harga yang relatif murah, ternak babi sangat cocok bagi masyarakat setempat untuk kebutuhan pesta-pesta berskala kecil. Selain dagingnya disukai, harga ternak ini tidak terlalu mahal dibanding sapi atau kerbau yang berharga paling murah sekitar Rp 3 jutaan per ekor. Sapi dan kerbau umumnya disembelih ketika ada pesta berskala lebih besar, seperti pesta pernikahan dan pesta-pesta adat yang biasanya mengundang lebih banyak tamu.
Sejumlah pedagang ternak mengaku penjualannya meningkat pada hari-hari jelang Natal dan Tahun Baru seperti saat ini. “Karena ada banyak acara keagamaan di bulan Desember. Ada orang sidi (penahbisan bagi penganut Kristen Protestan yang sudah menginjak usia dewasa-pen), baptisan kudus, apalagi sudah mendekati Natal dan Tahun Baru,” ujar seorang pedagang ternak di Pasar Lili yang mengaku hari itu sudah berhasil menjual enam ekor babi berukuran sedang dan besar.