Arman pernah mempunyai seorang isteri dan seorang putra, tetapi Tuhan berkata lain. Istri dan putranya lebih dulu meninggalkannya, mereka berdua wafat mendahuluinya. Dan setelah itu Astrid serasa enggan untuk menggali lebih jauh. Yang penting Astri tak mau apabila nanti dianggap seorang pelakor.Â
" Rumah itu belum ku jual, masih di huni oleh Pengontraknya. Aku ingin menghadiahi nya kepadamu, andai kau bersedia untuk mendiami nya kembali. " sekonyong suara Arman menyelak keheningan diantara mereka.Â
Sejenak hati Astrid berdegup kencang. Arman mulai membuka wajahnya, celetuk Astri dalam hati. Rumah berharga sekian milyard ingin dihibahkan begitu saja kepadanya? Tidakkah telinga nya yang salah dengar, atau?Â
" Tak percaya, jika rumah itu kuserahkan pada mu andai kau mau? " seperti tahu jika Astrid tak percaya pada ucapannya, Arman berucap lagi seolah menegaskan. Lalu, tanpa menunggu reaksi Astrid, lelaki itu menjalankan mobilnya.Â
Bibir Astrid bagai terkunci. Benaknya berputar mencari tahu, pada sikap Arman yang dirasanya terlalu membuka.Â
Nyaris setahun lelaki itu tak pernah sedikitpun bersikap seperti ini dengan menepuk bahunya. Mungkin maksud  nya untuk menenangkan hatinya. Tetapi Astrid berani bersumpah bahwa baru kali itulah Amran meyentuhnya.Â
Ada sekira satu jam, ketika mobil itu sampai disebuah perumahan. Arman memasuki perumahan itu setelah berdialog sebentar pada satpam yang berjaga disebuah gardu.Â
Akhirnya mereka berhenti disebuah rumah. Arman membuka pintu halaman dan memasukkan mobil kedalam.Â
Tetapi, herannya, Arman tak keluar dari mobilnya. Malah tangannya langsung ditutupkan kewajahnya Lalu, lelaki itu terisak sambil menundukan mukanya.Â
Astrid tak tahu harus berbuat apa. Diapun belum mampu menerka, mengapa Arman sekonyong bisa bersikap seperti itu.Â
Tetapi tak lama, Arman memalingkan wajahnya setelah menyapukan sehelai tisu ke wajahnya.Â