Mohon tunggu...
eddy lana
eddy lana Mohon Tunggu... Freelancer - Eddylana

Belajar menjadi tukang pada bidang yg dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sekelumit Catatan Pribadi Saat 27 Juli 1996

4 Juli 2021   15:15 Diperbarui: 4 Juli 2021   15:20 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak lama lagi, kita sudah sampai pada tanggal 27 Juli 2021. Dimana pada tanggal yang sama di tahun 1996, terjadi peristiwa berdarah pengambil alihan paksa kantor PDIP pimpinan Megawati Soekarno Putri. 

Peristiwa itu juga dikenal sebagai kudatuli yaitu akronim dari kerusuhan dua puluh tujuh Juli. Secara tak langsung, peristiwa itu merefleksikan betapa kejinya rezim orde Baru. Kejadian menyedihkan ini tak lain akibat timbulnya kekhawatiran rezim Soeharto. 

Dimulai dari sebuah gedung tua yang merupakan kantor PDIP, yang belakangan menjadi tempat berkumpulnya jejalan arus masa. Yaitu masa anggota PDIP yang bercampur masa simpatisan serta pembenci orba. 

Selalu tumpah ruah, tanpa disadari gedung tua itu berubah menjadi arena pelupa emosi melawan orde Baru. Nyaris setiap hari masa membanjir di gedung tua itu. 

Sebuah panggung yang dibangun untuk ber orasi mendadak jadi favorit. Entah siapa yang mendeklarasikan maka dikenal lah panggung itu sebagai mimbar bebas. 

Dinamakan mimbar bebas, yaitu sebuah panggung tempat siapa saja bisa berorasi untuk mengeluarkan uneg-uneg dikepalanya. . 

Panggung yang dibangun dihalaman gedung PDIP itu sekonyong jadi arena ajang perlawanan pada penguasa otoriter.  Saking demokratis yang, siapapun boleh berorasi sebebas-bebasnya. 

Celakanya, semua orasi yang kerap berkumandang di Mimbar Bebas itu tak mengenal rada takut. Rupanya, sikap otoriter dan korup dari rezim itu telah amat menyakiti hati Rakyat banyak. 

Pantaslah jika aksi spontan masyarakat itu membuat pihak aparat mulai melirik. Dan hal itu jugalah yang membuat rezim Soeharto yang represif itu pasang kuda-kuda. 

Jiwa muda saya yang kala itu memang sudah anti Soeharto, membuat kaki rajin menginjak halaman gedung itu. Dan berkat mimbar bebaslah, hati saya selalu bersikeras untuk tak pernah absen dari tempat itu. 

Kebetulan, tempat tinggal saya juga berada di sebuah kampung, berjarak seratusan meter dan terletak tepat dibelakang kantor PDIP. 

Bergerombolan bareng kawan satu kampung, saya kerap berjejalan bergabung dengan partisan lainnya. Berpartisipasi sekaligus mewarnai aksi-aksi perlawanan untuk rezim Soeharto. 

Pernah sekali waktu disaat mimbar bebas berlangsung, tiba-tiba puluhan anak muda berbaris riuh menyelip masuk. Mereka meneriakan yel-yel penuh semangat. Ternyata mereka adalah anak-anak PRD yang dipimpin Budiman Sudjatmiko. 

Sebenarnya, sebelum peristiwa kudatuli. Ada kejadian demo lainnya yang cukup rusuh juga. Saya lupa tanggalnya, tetapi ingat bahwa kejadian itu memang terjadi di bulan Juni (  tgl. 21-22? ) 1996, kurang lebih sebulan sebelum kudatuli. Sebab saya turut serta didalam aksi demo itu. 

Kalau tak salah, hari di bulan Juni itu diadakan aksi demo yang direncanakan bakal menuju istana. Tepat dihari H, jumlah peserta aksi yang datang dan berkumpul cukup besar. 

Dan tiba pada saat aksi mulai beranjak start. 

Sejumlah besar peserta yang sudah berjalan keluar, mendadak berhenti. Barisan paling depan tak dapat meneruskan jalannya. Sekelompok tentara ternyata telah menutup arah menuju Jalan Imam Bonjol. 

Mereka berbaris rapat  ditepi jalan Surabaya yang melintang ditubuh jalan Diponegoro, menutup ujung jembatan yang cuma berjarak puluhan meter dari kantor PDIP. Sehingga siapapun tak bisa lewat tanpa menembus barisan mereka. 

Akhirnya, setelah terjadi aksi dorong-mendorong. Jejalan masa berhasil memecah hadangan petugas. Ribuan masa berbondong-bondong dengan histeria memenuhi jalan kearah Imam Bonjol. 

Semua berjalan santai menuju lokasi yang  ditujukan yaitu Istana Negara. Sambil lewat saya sempat menyapa seseorang yang rupanya bernama Sri Bintang Pamungkas. 

Di perempatan Patung Kuda Barisan peserta ditolak masuk ke jalan merdeka barat. Kami diarahkan oleh aparat untuk lewat kejalan Merdeka Selatan, dimana gedung balai kota DKI berada. 

Dari merdeka Selatan, ribuan masa masih berusaha untuk sampai ke Istana. Mereka berbelok ke jalan Merdeka barat melewati stasiun Gambir. 

Ketika langkah saya tiba didepan kantor PLN. Terdengar riuh ramai disertai masa yang berlarian berbalik arah. 

Ripanya, sebelum masa aksi mencapai Markas Kostrad, mereka telah dihadang secara agresif oleh ratusan aparat Bersenjata sebatang rotan besar. Dengan brutal mereka memukuli peserta aksi, baik wanita maupun pria. 

Saya yang menyelamatkan diri melompat dan bersembunyi disebuah gardu keamanan ( gedung Pramuka?), sempat menyaksikan para penumpang aksi demo yang disabeti rotan oleh para petugas. Seorang gadis muda saya lihat menjerit-jerit histeris dibangku depan mobil berkain terpal itu. 

27 Juli 1996, sekira pukul tujuh saya menerima kabar bahwa telah terjadi penyerang di kantor PDIP. Kami, sebagai simpatisan mimbar bebas segera  berlarian untuk melihat apa yang sebenarnya tengah berlangsung. 

Saya bergabung dengan beberapa kawan, tetapi tak mau ambil risiko untuk mendekati lokasi, karena riuhnya suara yang timbul dari penyerangan itu bisa terdengar dari radius puluhan meter. 

Keramaian hanya terjadi disekitar kantor PDIP. Sedang jalan-jalan di sekitarnya masih terlihat seperti kondusif ( jl surabaya, mangunsarkoro) belum terlihat adanya aparat. 

Kami masih berdiam tak berapa jauh dari tempat kerusuhan itu. Situasi jalan Surabaya dan mangun sarkoro masih terlihat aman. 

Saat itulah kami mendapat informasi, bahwa ada sekira tujuh orang yang terluka dan berada di rumah belakang kantor PDIP. Mereka berhasil melompat kerumah kosong itu untuk menghindar dari penyerangan brutal para penyerang. 

Segera saya mengontak seorang kawan bernama Azis yang memiliki sebuah mobil. Dengan hati-hati dan waspada, kamu memarkir mobil kedalam rumah. 

Beberapa orang terluka dengan bergegas masuk kedalam mobil. Dalam pembicaraan dengan mereka, ternyata sebagian mereka berasal dari luar Ibu Kota (Sumatra, lampung). 

Saat itu, saya yang tak tahu harus kemana mengantar mereka, bertanya dan mendapat jawaban. 

" Kerumah ibu saja bang di Kebagusan " maksudnya pastilah kerumah ibu Megawati ketua PDIP saat itu. 

Berkat petunjuk mereka, akhirnya mobil pengantar kami sampai dipintu gerbang pagar. Beberapa orang yang sedang berada di gardu keamanan, melompat keluar menyambut kedatangan kami dan rekan mereka yang terluka parah. 

Herannya, mereka yang berada di gardu, sama sekali belum mengetahui apa yang sedang terjadi di kantor Partai itu.

Sekembalinya kami ke tempat semula, ternyata kerusuhan telat meluas dan melebar pesat. Penjarahan-penjarahan dan pembakaran terjadi diseantero Ibu Kota. 

Sayangnya, peristiwa kudatuli tak sedikitpun menjadikan warga Indonesia berpikiran menjadi lebih positif dan dijadikan pelajaran untuk menciptakan NKRI lebih damai dan sejahtera. 

Facto and real citayam 4721

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun