Di ruang ini, saya akan menuangkan sebuah catatan kehidupan seorang sobat. Mencari kategori untuk disematkan pada tulisan ini, sepertinya tak ketemu yang cocok. Akhirnya pilihan jatuh pada Diary sebagai kategori pilihan untuk isi dalam kisah ini. Diary sobat saya
Kisah ini mungkin tak mirip betul dengan suasana didalam Lembaga Pemasyarakatan yang sekarang, sebab kisah ini terjadi sekitar th 1970. Tetapi setidaknya ada garis besar yang identik dan pola situasi yang mirip pada kehidupan didalamnya.Â
Saya pikir, kisah ini bisa diambil sebagai pelajaran, bagi mereka yang belum pernah merasakan hidup dalam penjara. Atau yang sama sekali belum pernah berurusan dengan Hukum. Sehingga bisa berpikir dua tiga kali sebelum melakukan sebuah pelanggaran dan terjeblos kedalamnya.Â
Sebagai contoh, Maher at tualibi yang wajahnya pucat pasi saat didatangi polisi, atau kejadian kemarin. Dimana seorang Bapak muda menganiaya  petugas nakes di sebuah Rumah 😪 Sakit. Bapak muda yang sebelumnya garang bak singa lapar, mendadak lunglai digenggaman petugas yang menangkapnya. Dan itu baru dihadapan petugas, belum masuk kedalam sel tahanan.Â
Dan disebuah kebetulan yang bagus, saya menghabiskan waktu begadang kita berdua untuk menyimak pengalaman sedihnya. Pengalaman langka yang masih asing di telinga saya. Yaitu kehidupan didalam penjara
Dengan takzim saya menguping ceritanya dengan hikmat. Sambil mereka- reka keseraman apa yang bisa saya peroleh dari kisahnya ini.Â
... Jangan lupa, Koes Bersaudara juga pernah mendekam dipenjara ini...Â
Sentaknya mendadak ketika ceritanya baru berjalan sepatah dua patah kata. Saya mengangguk-angguk mengiyakan sambil berharap dia meneruskan ceritanya.Â
Sobat saya meneruskan penuturannya. Untung saja dia bukanlah pelaku kejahatan. Sobat saya berurusan dengan Hukum karena kasus perkelahian. Jadi dia tak perlu berbelat-belit untuk pembuatan Berita Acara Pemeriksaannya.
Lain dengan kasus kriminal ataupun lainnya. Terkadang para pelaku banyak berdalih atau menyangkal perbuatannya. Maka tekanan psikologis secara verbal atau non verbal bisa terjadi pada mereka. Begitu katanya.Â
Menurut kisahnya di th 1970 sobat saya itu terlibat perkelahian yang melukai lawannya. Dia ditangkap dan ditahan di sebuah Komando Sektor Kepolisian di wilayah Jakarta Timur. Umurnya saat itu relatif masih remaja. Walau berani tapi masih buta tentang risiko-risiko yang bakal diterima akibat tingkah polah nya.Â
Di sel Komando Sektor itu aku diplonco oleh para tahanan lama. Mereka memukul secara mengeroyok, ingin sih melawan, tapi kupikir gak guna. Ke esokkannya, mereka sudah bersikap seperti sahabat biasa. Mungkin mereka juga takut seandainya aku mengancam karena tradisi ploncoan kemarin.Â
Demikian ungkapnya mengiring kisah pertamanya.Â
Dan untuk tak bertele-tele, saya mewakili sobat itu untuk bertutur sesuai dengan apa yang keluar dari bibirnya.Â
Setelah kurang lebih 20 hari, dia dioper ke Penjara Glodok. Di penjara itu pula pernah mendekam seorang pendekar bernama Ji'ih pengikut si Pitung legenda Betawi.Â
Gerbang penjara Glodok cukup lebar, setelah sobat itu masuk. Ternyata ada selapis lagi gerbang yang sama besar didalamnya. Sehingga menyekat ruang diantara dua gerbang itu menjadi satu ruang proses administrasi narapidana baru.Â
Di gerbang lapis kedua itu, ada jendela-jendela kecil berjeruji. Dimana orang yang berada didalam lokasi penjara bisa mengintip situasi kedalam ruangan. Rupanya, itu adalah juga ruang tunggal yang digunakan keluar masuk seluruh keperluan di LP itu.Â
...Wajah-wajahnya seperti tak berdaging dan sebagian lainnya berambut tak beraturan. Â Sepotong kecil muka mereka memenuhi jendela-jendela kecil berterali itu. Mereka melepas pandang kearahku dengan sorot mata yang tidak dapat kubayangkan, membuat jantungku berdetak kencang... Q
Ujarnya menceritakan suasana saat itu.Â
Melewati pintu gerbang lapis kedua, dia diantar ketempat selanjutnya, yaitu kamar yang akan dihuni nya selama masa hukuman.Â
Cuma belasan meter dari gerbang lapis kedua., langkahnya menapaki celah cukup lebar yang diapit dua tepi dinding tembok tinggi. Dihari belakang dia baru tahu bahwa bangunan dibalik tembok itu itu disebut sel depan. Dan satu deretan dengan ruang pintu gerbang ganda itu, dimana tak jauh dari sel depan itu terletak dapur penjara.Â
Melangkah keluar celah itu, dia lewat disebidang tanah yang dikiri-kanannya berdiri bangunan. Bangunan sebelah kanan adalah deretan sel dobeldir atau sel berpintu teralis ganda, sel itu terdiri dari dua ruangan. Ruang depan kosong dengan pintu teralis terkunci, dan si napi ditempatkan diruang terdalam juga dengan teralis terkunci. Sepertinya sel model itu untuk menghukum napi yang bandel atau kerap bikin ulah.Â
Bangunan sebelah kiri tampaknya digunakan sebagai kegiatan rohani. Baik untuk penganut Agama Islam ataupun Kristen.Â
Akhirnya dia tiba di sebuah tanah lapang seluas setengah lapangan sepak-bola. Sebuah bangunan rumah yang berupa kamar-kamar dengan variasi besaran berbeda, Â berdiri nyaris mengelilingi tanah lapang itu. Ada kurang-lebih 22 ruangan yang dipakai untuk dihuni napi.Â
Rupanya itulah ruangan ruangan yang digunakan sebagai hunian para napi. Sobat saya masuk kesebuah ruangan besar, cukup untuk 35 penghuni. Dan itulah kediaman barunya dipenjara itu.Â
Pada siang hari para napi itu dikeluarkan dan bebas berkeliaran, dan sore hari kembali masuk setelah di absen.Â
Kehidupan di LP Glodok sungguh memprihatinkan. Makanan memang dijatah 3 kali sehari, tetapi lihatlah kwalitas makanan itu. Nasi cadong adalah julukan melecehkan yang diberikan pada makanan jatah napi itu.Â
Jatah pagi adalah seonggok butiran jagung yang direbus. Pukul 11.00 jatah berisi tiga kepalan nasi dengan lauk setengah sendok makan ikan teri goreng yang esoknya terkadang diseling sepotong kecil ikan peda goreng. Pukul tiga siang kembali disuguhi makan yang tak beda jauh dari jatah siang.
DISURUH MENGAMBIL PISAU
Suatu hari, seorang kawannya dari kamar lain mendekatinya, lalu seperti berhati-hati orang itu berkata setengah berbisik. Dia menyuruh sobat saya untuk mengambil sebilah pisau yang di klaimnya sebagai milik kelompok kamarnya.Â
Pisau itu diselipkan dikisi-kisi papan dibawah kolam air untuk WC didalam ruangan kamar besar sobat itu. Tanpa pikir panjang dia menyetujuinya.Â
Ternyata didalam Penjara, ada kelompok yang bersaing satu dengan lainnya. Kegiatan mereka adalah menarik napi baru yang dianggap berduit. Biasanya kelompok itu mendapat informasi dari napi baru yang berasal dari berbagai tahanan kepolisian di seluruh Wilayah DKI. Tahanan tajir mana yang akan dikirim ke Glodog.Â
Tak pelak lagi, bila mereka harus punya sesuatu untuk mendukung kegiatan itu, sebilah pisau atau senjata tajam lainnya.Â
Dan sobat saya sama sekali buta, kalau saja dia sadar bahwa hidup didalam LP itu penuh kehatian dan kecurigaan mungkin dia akan menolak permintaan mengambil pisau itu.Â
Memang, misinya ternyata gagal. Kepala kamar rupanya mencium gelagat mencurigakan dari sobat saya itu. Untungnya tak terjadi sesuatu atas dirinya. Dia hanya disidang dan  diperingatkan.Â
Di penjara Glodok ada sebuah sumur besar, sobat saya sering mendengar bisik-bisik bahwa didalam sumur itu banyak senjata tajam. Benda berbahaya itu diikat sebuah benang kuat dan panjang, lalu sajam itu ditenggelamkan kedalam sumur, dan sebatang paku yang sudah terikat benang kuat itu. Akan ditancapkan ditempat rahasia didinding sumur. Untuk diambil apabila dibutuhkan.Â
MENYAKSIKAN DUA KALI PERISTIWA PEMBUNUHAN
Suatu kali, sobat itu ngucing kedapur. Ngucing adalah istilah cari makanan sisa kedapur. Maklum saja karena jatah nasi cadong sangat jauh dari mencukupi, tidak mengherankan apabila napi yang tak pernah dibesuk keluarga pasti akan terlihat kurus kering.Â
Tiba-tiba terdengar letusan kuat suara pistol. Si sobat cepat menghambur tanpa sadar apa yang terjadi. Dalam larinya matanya sempat menangkap orang yang sedang berdiri terhuyung di halaman sel depan. Dibagian perutnya tampak genangan darah membasahi baju yang dikenakannya.Â
Rupanya, sebuah pembunuhan baru saja terjadi. Dan tembakan dan hardik kan berasal dari para petugas yang hendak mengendalikan kejadian. Dalam larinya si sobat sempat mendengar teriakkan yang mengumpat pembunuhnya.Â
Bukan sekali itu saja. Di kesempatan lain, dia menyaksikan kembali sebuah pembunuhan. Menggunakan sebatang kaki meja bekas, seorang napi meremukkan kepala napi lainnya.Â
Selepas dari penjara Glodok yang dijalaninya cuma enam bulan. Sobat saya itu masih tak mampu mengekang kebiasaannya untuk berkelahi. Di tahun 1975 saya dengar dia masuk lagi kedalam penjara. Kali itu dia masuk di LP Cipinang, cuma dua bulan untuk peristiwa pemukulan.Â
Setelah sobat itu masuk ke LP Cipinang, saya tak pernah lagi bisa menghubunginya. Lost contack sama sekali. Â Semoga dia masih ada walau pasti sudah renta, walau bagaimanapun dia adalah seorang sahabat dalam arti sebenarnya untuk saya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H