Walaupun tidak secara langsung menjadi penyebab dari kejahatan copycat, tapi sebagai tanggung jawabnya pada publik, media bisa turut berperan untuk mencegah copycat dengan beberapa cara. Beberapa media massa di negara-negara berkembang sudah mulai melakukan pembatasan diri. Jarang sekali ada kasus pembunuhan, bunuh diri atau perkosaan yang ditayangkan, terutama jika korban atau pelakunya ada yang berusia remaja.
Media mulai –secara sukarela- melakukan pembatasan. Kasus kasus seperti diatas nyaris tak pernah menyentuh media, kecuali kalau dialami kelompok prominence. Bunuh diri, terutama di kalangan remaja, sudah diakui sangat menular –apalagi jika pelakunya adalah artis atau kelompok prominence- . Ide bunuh diri cenderung dianggap jalan keluar menarik oleh remaja yang bermasalah, dan berita yang detail akan mempermudah mereka mengambil keputusan. Kebiasaan media massa tradisional (yang masih dilakukan di media saat ini oleh sebagian media di Indonesia) melukiskan bunuh diri secara detail dan berusaha memberi penjelasan mengenai alasan dilakukannya bunuh diri, membuat tindakan bunuh diri bisa dipahami. Itu seolah memberikan alasan atau ijin bagi remaja untuk mengikuti langkah mereka.
Zeynep Tufekci, seorang sosiolog dari Harvard menyatakan keprihatinannya pada apa yang disebutnya sebagai “tornado media”. Setiap kali ada kasus kejahatan besar; dalam contohnya adalah penembakan massal, maka media akan menjadi tornado; berputar di sekeliling kasus itu, menyedot segala informasi yang ada dan melontarkannya dengan perbesaran kepada publik. Tufekci menyatakan bahwa ketertarikan gila media pada identitas penembak dan detil penembakan akan membuat orang lebih mudah meng asosiasikan diri dengan pelaku, dan lebih mudah menirunya karena detil sudah tersedia. Ini bisa membuat sebuah lingkaran setan copycat effect, serupa seperti yang ditemukan pada berbagai kejahatan remaja –dan bunuh diri.
Selain media, aparat juga seringkali memperburuk keadaan dengan memberikan perhatian luar biasa pada pelaku kejahatan. Begitu berhasil menangkap langsung data diri disebarluaskan. Para pemirsa dan pembaca media akan lebih cepat akrab dengan identitas pelaku. Dengan memberi , kejahatan itu tidak lagi menjadi sekedar cerita. Kejahatan itu diberi personalisasi, penokohan yang lebih jelas. Akibatnya pemirsa bisa lebih mengasosiasikan diri dengan pelaku dan lebih mudah
Ada beberapa hal yang disarankan Tufekci untuk diperhatikan oleh aparat, media dan masyarakat luas, untuk mencegah terjadinya copycat untuk kejahatan-kejahatan brutal.
- Penegak hukum harusnya tidak merilis detail dari metode yang dilakukan dalam kejahatan itu, dan mereka yang kebetulan mengetahui detil –detilnya juga seharusnya tidak membagikannya.
- Saat akun sosial media milik si pembunuh (atau pelaku) ditemukan, pihak berwajib sebaiknya langsung bekerjasama dengan platform tempat akun itu berada dan menariknya dari peredaran.
- Nama pelaku sebisa mungkin ditahan, begitu juga nama korban, jangan sampai langsung dibuka seketika. Tahan selama mungkin. Identitasnya sebaiknya baru di rilis saat terjadi pengadilan. Menunda pelepasan informasi penting bisa mencegah secara signifikan membuat kasus itu menjadi tontonan. Nama pelaku dan korban mungkin bocor, tapi efeknya jauh berbeda daripada pengumuman langsung beberapa saat setelah kejadian. Biasanya aparat seringkali sengaja mengumumkannya untuk menunjukkan keberhasilan mereka.
- Keinginan dan dorongan untuk segera mewawancarai korban selamat atau keluarga korban saat mereka masih berduka, harus dihentikan. Wawancara emosional memang bagus di layar, tapi wawancara itu juga memberikan perhatian personal dan intim, yang mungkin justru dijadikan alasan bagi para copycat untuk memulai aksinya.
Menurut Tufekci; hampir di semua masyarakat ada kelompok yang mengalami penyakit mental. Cara mereka mengekspresikannya sangat tergantung pada norma yang berlaku, idola dan pahlawan mereka, perilaku musuh-musuhnya serta lingkungan waktu dan tempat yang mempengaruhi mereka. Maksudnya; pada jaman dahulu penyakit jiwa diasosiasikan dengan penglihatan sesuatu yang mengerikan; setan, ular dan tukang sihir. Di abad ke 21, ketidakstabilan mental bisa membuat para remaja mengenakan perlengkapan tentara, menyiapkan senapan berkekuatan tinggi, dan begitu saja menembaki orang-orang yang lewat di depannya.
Kekagetan dan rasa putus asa korbannya adalah nilai tambah yang dicari, sebagai bonus dari perhatian masyarakat dan kepopuleran yang akan diraih usai ia melakukan penembakan itu[7].
- [1]Loren Coleman, (2004) The copycat effect: How the media and popular culture trigger the mayhem in tomorrow's headlines, Simon & Schuster, NY.
- [2]"C is for Copycat Effect". Hunteremkay. Retrieved August 10, 2014.
- [3] Meyers, David G. (2009). Social Psychology (10th Ed). New York: McGraw Hill.
- [4] David P. Phillips, The Influence of Suggestion on Suicide: Substantive and theoretical implications of The Werther Effect. American Sociological Review 1974, Vol.39. 340 - 54
- [5] Robert B. Cialdini (1993). Influence: the psychology of persuasion. New York: Morrow. p. 336
- [6] Mannen, Amanda."10 Movies That Inspired Real-Life Crimes". Listverse. Retrieved August 10, 2014.
- [7] Saran saran ZEYNEP TUFEKCI : diambil dari artikel nya dari Wikipedia mengenai Copycat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H