Herbert Kelman, seorang Psikolog Harvard University, menyatakan identifikasi merupakan salah satu bentuk dari konformitas. Di dalam konformitas ada “tekanan” baik secara eksplisit atau implisit dari lingkungan sekitar yang memaksa seseorang bertingkah laku sesuai dengan norma kelompoknya. Tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai personalnya (Baron, Byrne, dan Branscombe, 2008).
Sayangnya, salah satu pembentuk norma kelompok dan lingkungan itu juga adalah media massa.
Seorang pembunuh atau pelaku kejahatan bisa menjadi selebriti mendadak karena media. Kekerasan atau bunuh diri yang fenomenal membuat media terus menerus menyorotinya, dan mengakibatkan para pelaku menjadi terkenal. Itu juga yang terjadi pada Charlie Starkweather dan Carry Ann Fugate. Total 10 film dibuat terinspirasi kasus mereka[6], salah satunya adalah Natural Born Killer karya Oliver Stone, bahkan satu film di dedikasikan dengan nama Starkweater sebagai judul. Beberapa buku dan literatur mengupas fenomena kejahatan mereka, bahkan 2 buku khusus dibuat untuk Caril Ann saat ia bebas. Belum lagi beberapa lagu juga diciptakan berdasar kisah mereka, termasuk “Nebraska” yang dinyanyikan Bruce Springsteen.
Dengan ketenaran seperti itu, tentu ada saja orang orang yang mengidolakan mereka. Para pelaku kejahatan copycat ini juga hampir seluruhnya menyadari; semakin kejam, unik, kreatif, brutal dan besar skala kejahatan yang mereka lakukan, semakin besar kemungkinan diberitakan. Tujuan mereka biasanya juga salah satunya adalah menjadi "populer" seperti penjahat selebritis yang mereka contoh.
Apakah media layak dipersalahkan sepenuhnya dalam menciptakan kejahatan copycat ini? Riset riset selanjutnya di bidang psikologi menunjukkan bahwa; walaupun banyak orang yang terbukti melakukan kejahatan copycat ini mengaku termotivasi akibat sesuatu yang mereka lihat di media massa (berupa berita, buku atau film), tapi hampir seluruhnya dari mereka memiliki catatan kriminal dan atau memiliki ketidakseimbangan (gangguan) mental sebelumnya. Meskipun demikian media tidak bisa begitu saja lepas tangan dari fenomena copycat. Biar bagaimanapun, media harus lebih bijaksana dalam menentukan fokus coverage-nya.
Media memang tidak menciptakan pelaku kriminal, tapi memicu para kriminal itu melakukan kejahatan mereka. Berita atau film atau karya seni hanya menimbulkan efek copycat pada mereka yang sudah memiliki latar belakang mental bermasalah, tapi toh juga menjadi pemicunya. Membaca atau menonton sebuah kisah mengenai pelaku kejahatan populer, memberikan semacam petunjuk bagi orang-orang yang memang sudah memiliki kecenderungan kriminal, memberi mereka contoh cara melakukan kejahatan.
OVER EXPOSED STORY
13 Mei 2016, sebuah pemerkosaan dan pembunuhan sadis terjadi di Tangerang. Seorang karyawati bernama EP, tewas setelah diperkosa dengan gagang cangkul dimasukan ke kemaluan korban –terus sampai ke rahimnya. Kekejaman kejahatan itu membuat bergidik, apalagi ada pelakunya yang masih di bawah umur. Hanya dalam tempo beberapa hari para pelakunya tertangkap, toh tidak menghilangkan kesan kekejaman yang muncul. Kasus ini diliput oleh berbagai media, internet, radio, koran, bahkan televisi. Sampai seminggu setelah kejadian, sosial media masih ramai dengan penyebaran gambar-gambar kekerasan itu. Acara dialog di beberapa televisi (bahkan nasional) mencoba riding the wave, ikut serta dalam pembahasan tentang kejahatan kejam ini. Di Internet detil kejahatan muncul sampai ke bagian yang membuat ngilu pembaca yang waras.
4 Juni 2016, Seorang gadis berusia 15 tahun diperkosa 4 pemuda di Manado. Tidak puas sekedar memperkosa, para pelaku menusukkan sebatang kayu besar ke kemaluan gadis itu. Ia tidak sampai meninggal, tapi harus mengalami beberapa kali operasi besar karena kayu itu merusak alat vital dan rahimnya.
22 Juni 2016, Di Palembang, seorang bocah 12 tahun berangkat untuk memancing, tak diduga ia menemukan sesosok jenazah di semak-semak yang akan dilaluinya menuju ke sungai. Anak itu shock dan trauma, karena jenazah itu tak lain adalah adiknya yang baru berusia 8 tahun. Polisi segera datang dan mengautopsi jenazah itu. Gadis kecil itu tewas, setelah mengalami kekerasan seksual. Di kemaluannya tertancap sebatang kayu, cukup panjang untuk mencapai bagian dalam perutnya.
Daftar ini bisa saja bertambah, tapi penulis merasa tak mampu lagi membaca detail kejahatan-kejahatan seperti ini. Memang bisa saja kebetulan, kejahatan -perkosaan dan pembunuhan dan penyiksaan- yang sama dengan metode yang mirip, tapi kejadiannya beruntun dan terjadi setelah ada ekspose besar-besaran dari pembunuhan EP.
Hal ini mengingatkan saya pada perilaku para remaja di Internet. Coba saja perhatikan, setelah ada seorang remaja yang diekspos di internet karena menembak kucing –sempat menjadi viral-, berikutnya muncul berturut turut orang yang posting di sosial media; memamerkan tindakan mereka membunuh berbagai hewan langka. Banyak share dan mention, banyak add friend walau mungkin hanya sekedar agar bisa mem-bully. Banyak disebut-sebut dalam postingan orang dan di mention ke pihak berwajib, jangan jangan itu malah jadi tanda kesuksesan buat mereka.