David Phillips menyatakan copycat suicide sebagian besar disebabkan oleh media massa. "Mendengar tentang bunuh diri (atau menonton, atau membaca), membuat mereka yang sedang ‘terluka’ merasa mendapat izin untuk melakukan bunuh diri juga," tutur Phillips. Dia juga mengutip sebuah penelitian yang mengatakan bahwa orang cenderung melakukan tindakan berbahaya; seperti memakai narkoba, jika seseorang memberi contoh terlebih dahulu. Media dianggap menjadi pemicu karena berita dalam media membuat sang pelaku bunuh diri seolah menjadi korban (atau dalam kasus para selebritis, pelaku bunuh diri diberi atribut dan alasan-alasan yang membuat bunuh dirinya tampak agung, bersih dan sudah sepantasnya dilakukan), sehingga khalayak atau pemirsa merasa mendapat lampu hijau untuk melakukan bunuh dirinya.
Perilaku itu diibaratkan oleh Malcolm Gladwell seperti saat kita melewati lampu lalu lintas. Biarpun lampu sudah berubah merah, jika mobil di depan kita terus melaju, sangat besar kemungkinannya kita juga ikut menerobos lampu lalu lintas itu. –
Media pun menjadi sasaran tembak, seolah menjadi penyebab utama terjadinya Copycat Suicide. Bahkan ada yang menganggap semua kekerasan di muka bumi adalah hasil dari kesalahan media.Â
Sebenarnya banyak alasan mengapa seseorang menjadi copycat; rasa kagum pada pelaku kejahatan yang menjadi selebriti di media, krisis jati diri yang membuatnya ingin meniru seseorang yg dianggap sukses (bahkan bila dalam hal yang buruk), mencari perhatian keluarga, serta rasa takut terhadap celaan sosial.
Saat itu para ilmuwan lupa menggaris bawahi bahwa pelaku bunuh diri yang terpicu oleh media, biasanya sudah memiliki niat bunuh diri dalam benaknya. Mereka sudah dalam kondisi stress/depresi dan mencari-cari jalan keluar, karena media menunjukkan bunuh diri sebagai sebuah solusi, maka jadilah mereka bunuh diri. Pastinya ada penyebab lain yang mendorong bunuh diri.
Cialdini[5] mengembangkan sebuah teori lain tentang bunuh diri. Dia menamakan teorinya sebagai Social Proof model. Dalam social proof model, dikatakan bahwa manusia melakukan imitasi atau peniruan terhadap mereka yang dianggapnya memiliki kesamaan dengan dirinya, walaupun (atau justru karena) mendapatkan tentangan dari masyarakat. Cialdini secara implisit mengatakan bahwa seseorang yang patah hati akan lebih mudah melakukan imitasi pada pelaku bunuh diri yang disebabkan putus cinta. Individu juga cenderung melakukan imitasi pada tindakan pimpinan atau anggota kelompoknya, atau paling tidak orang yang dianggap memiliki kesamaan dengannya. Teori ini memberi dasar argumentasi –terutama dari orang media- yang menyatakan bahwa media bukanlah penyebab utama dari Werther Effect.
Celaan sosial memberikan efek yang signifikan terhadap sikap individu, terutama remaja, karena pada dasarnya setiap manusia cenderung menghindari celaan dari peer grupnya. Tentunya kelompok umur yang paling mudah terpengaruh kelompok sosialnya, sehingga menganggap nilai dan norma yang benar hanyalah yang ada di kelompoknya itu.
Menurut hierarki kebutuhan Maslow, salah satu kebutuhan utama manusia adalah dihargai dan diperhatikan oleh orang lain (sense of belongingness). Pada umumnya, copycat merupakan cara seseorang agar lebih diterima oleh kelompoknya, dengan cara bertingkah laku mirip dengan orang yang dianggap sebagai panutan. Dalam hal ini seorang menjadi copycat untuk disukai oleh orang lain (normative social influence).
Mereka -terutama remaja- merasa diakui apabila bertingkah laku seperti kelompoknya. Ada kebutuhan kuat dalam diri manusia untuk bertindak sesuai tuntutan kelompoknya, agar bisa diterima dan disukai.
Jika dilakukan secara ekstrem, keterikatan kelompok bisa menghilangkan identitas personalnya. Itu sebabnya banyak anak muda yang melakukan kekerasan saat bersama kelompoknya, padahal sehari hari dia adalah anak yang baik dan penurut.
Peristiwa tersebut dalam ilmu Psikologi disebut dengan proses 'identifikasi'.