Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menakut-nakuti Anak soal Seks Tak Membuat Mereka Pintar

25 Februari 2020   21:59 Diperbarui: 26 Februari 2020   16:22 3426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber foto via psychologicalscience.org)

Menakut-nakuti anak tak membuat mereka pintar.

Teringat pernyataan Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty yang mengatakan bahwa perempuan yang berenang dengan laki laki yang mengeluarkan sperma di kolam renang bisa menyebabkan hamil.

Sebagai orang yang telah berumah tangga, tentu kita semua tertawa mendengar pernyataan tersebut. Atau ada sebagian yang ragu dan sempat bimbang dengan pernyataan itu? Terus terang saja, saya sampai ngakak membaca berita itu.

Pembahasan yang hilir mudik menjelaskan secara luas tentang pernyataan itu yang secara logika pun tak bisa dicerna dengan akal sehat. Anak SMP saja sudah tahu peristiwa kehamilan itu harus melalui proses yang seperti apa. Sebab mereka sudah mempelajari di sekolah berdasarkan kurikulum yang ada.

Akan tetapi saya beri tepuk tangan tertulus atas kebesaran hati beliau untuk mengklarifikasi kalimat yang sudah terlontar. Meskipun masih banyak ngelesnya. Tapi seperti itulah seharusnya. Jika kita salah, beranilah untuk mengakuinya secara jantan. Eh... Secara kewanitaan yah jika kita kaum perempuan. Hehehe...

Jadi teringat dulu ketika saya masih kecil. Orang dewasa suka sekali memberikan pembelajaran yang salah pada anak-anak. Menakut-nakuti mereka dengan tujuan agar mereka tak akan melakukannya. Banyak kalimat yang buat saya senyum senyum sendiri jika mengingatnya. Bahkan hingga tertawa jika mengulangnya.

"Hati-hati loh kalau kamu ciuman sama laki-laki. Entar hamil."
"Jangan salaman sama laki-laki. Entar hamil."
"Tidur berduaan sama laki-laki bisa hamil."
"Jangan pakai handuk bersamaan dengan laki-laki. Entar hamil."
"Nggak boleh pakai alat makan bergantian dengan laki-laki. Nanti kamu bisa hamil."
"Nggak boleh senja hari ada di jalan. Banyak hantunya."
"Nggak boleh panggang terasi senja senja. Memanggil siluman."

Dan lain sebagainya yang merupakan mitos tapi karena disampaikan dengan cara yang menyakinkan, maka dipercaya hingga dewasa.

Hingga kita merasa apapun yang berhubungan dengan laki-laki terlihat menakutkan. Kata hamil di sini seperti hantu yang bisa menakuti anak-anak. Tapi memang itu tujuan orang dewasa. Takut.  

Rasa takut membuat anak tak akan mengerjakan hal-hal tersebut. Bahkan ada anak yang mencap bahwa bersentuhan kulit sama laki laki pun bisa hamil. Hingga ada anak kecil yang menangis meraung-raung karena tersentuh teman lelakinya tanpa sengaja. Lucu, bukan?

Menakut-nakuti anak tak lantas membuat mereka pintar. Justru anak akan terjebak dalam paradigma yang salah tentang konsep kehidupan. Bisa saja kelak ketika dewasa, dia menjadi sedikit egois dalam mempertahankan pemikirannya.

Justru ini yang berbahaya. Dia akan di-bully sebab bersikeras mempertahankan apa yang dia tahu. Padahal kenyataannya salah. Sehingga semua orang beramai-ramai menyalahkannya. Seperti fenomena yang telah saya ceritakan di awal tadi.

Kita tak bisa menyamakan anak zaman dulu dengan anak era canggih zaman sekarang. Zaman dulu anak tak bisa mengakses informasi secara luas kecuali bertanya pada orang dewasa atau mencari di buku pelajaran. Semua serba terbatas. Jadi wajar saja banyak pemikiran salah akibat rasa takut yang disebarkan oleh orangtua mereka.

Tapi sekarang tak mungkin seperti itu lagi. Akses informasi dan perkembangan teknologi canggih men-support anak untuk dapat mencari tahu sendiri apa yang ingin dia ketahui. Internet merupakan obat atas rasa ingin tahu mereka.

Sedangkan kita semua mengetahui, bukan hanya kebaikan yang ada di internet. Tetapi banyak pula keburukan yang dibagi di sana. Jadi, jika anak salah mengakses, maka akan fatal bagi perkembangan psikisnya.

Oleh karena itu, memberikan pendidikan yang benar tanpa harus menakut-nakuti mereka akan menjadi cara yang lebih bijaksana. Bagaimana caranya? Beberapa hal yang pernah saya lakukan mungkin bisa menjadi referensi untuk pembaca sekalian.

1. Sampaikan konsep yang benar
Kita tak perlu merasa pintar di hadapan anak usia 6 tahun. Karena yakinlah, meskipun tidak semua hal kita tahu, mereka lebih percaya bahwa kita tahu segalanya. Karena itulah, seorang anak biasanya bertanya pada orang yang lebih tua jika ada hal-hal yang tak mereka pahami.

Pengalaman saya, ketika anak saya kecil, dia pernah bertanya tentang penyebab terjadinya guntur dan petir di langit. Karena dia percaya bahwa orang dewasa lebih tahu hal tersebut, maka dia bertanya pada tantenya.

Namun jawaban tantenya yang mengatakan bahwa di langit ada tabrakan mobil membuat dia bingung. Anak saya tahu betul kalau di langit tak ada jalanan apalagi mobil. Bagaimana bisa ada tabrakan? Jelas anak saya tidak terima. Dia marah karena tantenya telah berbohong padanya.

Jangan bohongi mereka dengan pernyataan pernyataan yang tak masuk di akal. Sebab anak kecil pun berakal. Mereka bisa berpikir mana yang mungkin dan mana yang tak mungkin terjadi. Ingatlah! Manusia dianugerahi otak oleh Tuhan YME untuk berpikir, bukan?

2. Gunakan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti
Ketika kita mau menyampaikan konsep kehidupan, sampaikanlah dengan gaya bahasa yang ringan dan mudah dimengerti. Jangan menggunakan bahasa ilmiah dengan istilah-istilah asing yang belum pernah mereka dengar. Agar penyampaian kita bisa diterima dan mudah dipahami oleh mereka.

Bayangkan saja, jika dalam setiap kalimat penjelasan kita terdapat istilah asing bagi mereka, tentu yang tercipta adalah lingkaran kebingungan. Anak tak bisa paham dengan apa yang kita jelaskan. Padahal kita sudah ngomong panjang kali lebar kali tinggi. Hasilnya ternyata nol besar.

3. Memberikan pemahaman konsep sesuai usianya
Anak prasekolah dengan anak SMP tentu memiliki pemahaman yang berbeda tentang proses kehidupan. Sebab, anak prasekolah masih minim pengetahuan jika dibandingkan dengan anak SMP yang sudah tahunan belajar di bangku sekolah. Jadi, kita tak bisa memberikan penjelasan yang sama pada mereka.

Ketika kita mau menjelaskan tentang konsep kehidupan, kita tak bisa memakai kata dan kalimat yang sama. Sebab mereka bisa mengartikan dengan kalimat yang berbeda yang belum tentu benar maksudnya.

Misalnya ketika anak bertanya tentang proses kelahiran anak manusia. Pada anak SMP bisa saja kita jelaskan bahwa bayi dalam kandungan akan dilahirkan melalui vagina jika tak ada masalah serius yang dihadapi ibu pada saat itu.

Mereka tentu bisa dengan mudah memahami pernyataan tersebut. Sebab mereka sudah dikenalkan tentang nama nama organ reproduksi di sekolahnya. Tapi tidak bagi anak prasekolah.

Kata vagina bisa saja dibayangkannya sebagai makhluk asing yang menarik adik bayinya dari perut ibunya dengan sinar selayaknya imajinasi UFO. Atau malah menganggap vagina merupakan nenek sihir yang bisa mengeluarkan adiknya dengan mantra-mantra.

Jadi, berilah penjelasan sesuai usia dan tumbuh kembang anak. Agar anak mengerti tanpa harus bersusah payah mencari cerita imajinasi yang hanya membuat anak hidup dalam mitos dan mimpi belaka.

Misalnya anak prasekolah bertanya mengenai proses kelahiran bayi. Bagaimana cara kita menjawabnya? 

"Adik yang di perut mama itu keluarnya lewat mana, Ma?"

Kita bisa saja menjawabnya, "Vagina."

Tapi saya pastikan anak tak akan mengerti dan akhirnya bertanya lagi, apa itu vagina? Bagaimana bentuknya? Gimana cara keluarnya? Tambah repot, bukan?

Jawablah dengan bahasa ibu yang ringan dan sederhana. Tanpa membohongi. Tanpa menakut nakuti.

"Adik nanti keluarnya lewat sini." Telunjuk ibu menunjuk ke arah bagian vitalnya tanpa harus memperlihatkannya.

Atau.... "Adik nanti keluarnya lewat lubang pipis mama."

Atau.... "Jika tidak bisa, maka adik akan dikeluarkan lewat perut. Perut mama akan dibelah sama dokter di rumah sakit."

Dengan cara ini, anak akan diberikan gambaran bahwa ada jalan lahir bagi bayi dari dalam perut ibunya untuk bisa keluar. Lebih sederhana dan mudah dipahami, bukan?

Pada dasarnya, anak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar adalah anak yang pintar. Hal ini sangat baik untuk tumbuh kembang otaknya. Hanya saja jika diisi dengan kebohongan dan hal hal yang menakutkan, maka dapat dipastikan anak akan takut mencari tahu lebih banyak lagi tentang suatu kebenaran.

Anak hanya terpaku pada kebohongan kebohongan yang diciptakan orang tuanya. Pemikirannya pun tak akan berkembang ke arah yang benar hingga dewasa. Sehingga hal ini bisa menjadi dosa turunan yang akan ditularkan pada generasi berikutnya.

Bagaimana? Masih mau menakut nakuti anak dengan kebohongan dengan alasan demi keselamatan hidupnya?

Benuo Taka, 25 Februari 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun