Belum selesai masalah kematian hewan ternak, sekarang justru warga desa yang diserang penyakiit.
"Bisa saya bantu, Bu?" Rudi langsung menghampiri seorang ibu yang kebingungan dan menangis melihat anaknya muntah terus sedari tadi di beranda rumahnya.
"Gara gara ada yang melanggar pantangan, anak saya jadi korban." Ibu itu berkata sambil menatap kami berdua dengan tajam.
"Anak ibu mulai lemah. Bisa ambilkan air, garam dan gula? Biar saya bantu sebelum terlambat." Aku memecah suasana yang kurang nyaman itu.
Syukurlah Ibu itu mau menuruti permintaanku. Setelah ibu tersebut kembali dengan semua bahan yang kuminta, segeralah kubuat larutan ion sederhana untuk mengatasi dehidrasi anak tadi. Entah mengapa pagi ini otakku begitu encer. Aku bisa berpikir cepat ditengah kepanikan itu.
Berangsur angsur kulihat anak itu sudah tak muntah lagi. Meski tubuhnya lemas, namun masih ada daya untuk mengucapkan terimakasih padaku.Â
Aku senang. Setidaknya ini sedikit menghilangkan perasaan tak suka ibunya pada kami.
Sebenarnya Rudi pernah mengungkapkan keheranannya padaku mengenai sikap warga desa yang berubah pada mereka. Tapi tak aku tanggapi dengan serius. Namun kali ini kurasakan sendiri tatapan tak mengenakkan dari seorang ibu yang biasanya lembut dan santun hatinya. Apakah Wati telah menyebarkan kecurigaannya pada warga desa tentang kami berdua yang dianggapnya telah melanggar pantangan desa?
*****
Kejadian itu ternyata masih berlanjut ke hari hari berikutnya. Hal ini tentu memberikan kecemasan warga. Mereka takut penghuni hutan bertambah marah dan meminta tumbal yang lebih banyak lagi. Padahal acara pembersihan kampung baru akan dilaksanakan Minggu depan. Aku hanya berharap kejadian ini tak ada sangkut pautnya dengan melanggar pantangan.
"Wati... tunggu." Aku pun langsung berteriak sewaktu melihat gadis cantik berkepang dua itu berjalan tergesa gesa setelah keluar dari rumah Pak RT.