Budi anak 6 tahun yang menetap di pesisir pantai. Sebagai seorang anak dari nelayan tradisional, kehidupan laut dengan segala phenomenanya selalu masuk dalam setiap pengamatannya. Tentang bapaknya yang harus melaut di malam hari dan pulang di waktu fajar. Tentang pasang surutnya air laut. Tentang angin kencang dan gelombamg besar yang mengurangi hasil tangkapan. Bahkan tentang riak ombak yang membentuk buih putih di sepanjang pantai.
Adalah hal biasa yang Budi lihat di setiap waktunya tentang air laut yang mendekati rumahnya dikala purnama tiba. Namun sekarang, air laut sering masuk ke rumahnya. Padahal Budi sudah menghitung jarak rumahnya dengan pantai lumayan jauh. Sejauh 250 langkah kaki mungilnya yang setiap hari selalu hangat berpijak di pasir putih. Sehingga ibunya sering mengajak bapaknya untuk pindah pondok menjauhi tepi pantai karena bosan dengan banjir bulanan.
Budi kecil bertanya, "Mengapa air laut sekarang sering membasahi lantai rumah kita?"
Bapak dan ibunya hanya bisa bilang itu semua takdir Tuhan. Apakah ini takdir? Budi tak bisa terima. Dia begitu marah pada Tuhan. Dia rasa Tuhan tak adil pada keluarganya. Karena hati kecilnya tak kuat memendam amarah, akhirnya kebenciannya pada Tuhan terucapkan di depan guru ngajinya.
"Mengapa Budi merasa bahwa Tuhan tak adil?"
"Karena rumah saya sekarang dikasih air laut oleh Tuhan. Sedangkan rumah orang yang di kota sana, tidak."
"Coba Budi lihat, apakah rumah Budi selamanya direndam air laut? Apakah semua barang barang Budi rusak dan berantakan waktu air laut datang?"
"Tidak."
"Berterima kasihlah pada Tuhan karena Budi masih bisa menginjak lantai yang kering dan rapi  di selang waktunya. Coba Budi lihat berita, di kota sana ada banjir badang yang menghancurkan semua rumah. Ada banjir bulanan di musim hujan yang lama surutnya."
"Hm...." Tampak Budi angguk angguk kepala sambil berpikir.
"Budi mau tau kenapa air laut masuk sampai ke rumah?"