Tapi... Sesampainya kami di sana, rumah tua itu terlihat benar benar seperti rumah lama yang sudah ditinggalkan penghuninya. Tak ada bekas bekas kehidupan setelah sekian lama. Obor penerang tak ada. Lentera di dalam rumah pun tak ada. Bahkan rumah itu kotor berantakan seperti tak pernah terjamah sama sekali.
"Malam tadi kamu lihat sendiri kan kalau ada orang di rumah ini?" Rudi bertanya sambil memandangku dengan raut wajah kebingungan.
"Iya."
"Tapi kenapa rumah ini begitu berantakan. Apa benar rumah yang kita datangi tadi malam itu adalah rumah tua ini? Jangan jangan kita salah." Roni mulai ragu.
"Bangunannya sama. Bahkan kita sempat sembunyi di semak semak itu tadi malam." Tanganku menunjuk semak belukar di samping bangunan tua itu.
"Iya juga. Apa lagi ya yang bisa membuktikan kalau memang benar rumah ini yang kita datangi tadi malam?"
"Aku ingat tadi malam ketika ada yang memergoki suara kita dari semak semak, kita tertolong karena ada kilat yang menyambar pohon di belakang rumah ini." Aku setengah berlari menuju ke belakang rumah.
"Ini pohonnya." Rudi menunjuk pohon dengan cabang patah setengah hangus.
"Memang benar ini rumah tua itu. Tapi mengapa jauh berbeda dengan kondisi tadi malam, ya?"
"Jangan...jangan.... Ah sudahlah. Ayo kita pulang." Rudi menarik tanganku.Â
Wajahnya berubah sedikit pucat.
Melihat wajah Rudi yang berubah, bulu kudukku mulai berdiri. Dengan setengah berlari, kami meninggalkan rumah tua dan keluar dari hutan itu secepatnya. Hingga sampai di desa, langkah kami pun terhenti di satu rumah pertama. Sambil mengatur napas yang tersengal Sengal, aku menghapus keringat yang membasahi wajahku. Lalu tanpa permisi, kami pun duduk menenangkan diri di bale bale bambu depan rumah itu.