Hiruk pikuk teriakan merdeka. Mengalir lantang diantara deru debu dan desingan peluru. Ditengah teriak ketakutan anak anak dan perempuan. Berlari, berjongkok hingga merayap diantara darah dan mayat. Menuju ke arah yang sama. Merdeka!
Tergores cinta Indonesia diantara pejuang yang berdarah darah dan luka. Tergenang cinta Indonesia di lumpur merona layaknya neraka dunia. Memahat rindu akan merdeka. Sambil berlari memanggul bambu runcing dengan ujung memerah, murka.
Dulu mereka berjuang untuk menggapai kebebasan di angkasa. Dengan baju tercabik patahan ranting ranting keserakahan. Dengan telapak memerah tertusuk kerikil tajam kejahatan perang. Terbayang kemerdekaan begitu susah. Namun mereka tak pernah pasrah. Hanya satu kata yang mereka ingat. Merdeka!
"Sungguh berat perjuangan mereka, Nak. Karena itu, jadilah pejuang yang hebat agar kalian dapat mempertahankan kemerdekaan yang telah mereka torehkan di bumi Pertiwi ini." Bu Ecy melisankan pesan setelah selesai menonton film perjuangan bersama siswanya di kelas.
"Apakah orang yang di penjara itu merdeka juga, Bu?" Pertanyaan yang hebat terlontar dari mulut mungil generasi penerus bangsa.
"Merdeka juga tapi terbatas. Dan masih harus berjuang karena kesalahannya." Bu Ecy menjelaskan secara singkat dengan kata kata yang mengena dilogika siswanya.
Mereka berjuang untuk meraih kebebasannya. Berjuang melawan keserakahannya. Dengan jas berdasi menebar bau wangi ke pojok pojok nestapa. Dimana tersimpan banyak tangis pilu rakyat Jelata. Akhirnya mendekam sunyi dalam bui penjara. Tanpa malu merasa aman dalam buaian kenikmatan dunia. Dibuatnya sendiri lewat duit duit berbagi yang sudah membiasa.
"Tapi om saya juga masuk penjara gara gara menebang pohon di hutan? Padahal kalau nggak menjual kayu, keluarganya bisa mati kelaparan." Satu lagi celoteh miris seorang anak kecil akan gambaran kehidupan di sekitarnya.
"Ada kesalahan yang harus dibalas dengan hukuman karena merugikan orang banyak, Nak." Bu Ecy mengusap kepala mungil siswanya sambil tersenyum.
Mereka memang berjuang dengan keringatnya. Mencari sesuap nasi melalui banyak birokrasi mati. Tumpul budi pekerti dan toleransi. Berjuang melawan nasibnya. Yang penting perut perut terisi. Akhirnya penindasan lingkungan dan pengalihan fungsi. Sehingga alam tak lagi menjadi tempat hidup yang dapat dinikmati. Siapa yang bisa disalahkan?
"Kalau kita sudah merdeka, kenapa setiap hari saya harus belajar pelajaran yang tak saya sukai, Bu. Saya kan suka menari. Kenapa saya tak boleh belajar menari saja setiap hari? Apakah saya bisa lulus kalau ujian nanti?" Mulut mungil gadis cantik berucap dengan lugunya.
Kali ini Bu Ecy terdiam lama. Kenyataan memang demikian. Mereka berjuang untuk mengisi kebebasannya. Lima hari dengan seragam dan tas berat buku buku pelajarannya. Terprogram sama layaknya robot pabrikan. Harus bisa semua atau belajarnya sia sia. Ulangan luar bisa. Ujian malah tak bisa. Karena keberhasilan masih tentang nilai dan angka. Sedang mereka adalah generasi tonggak sejarah masa depan bangsa.
Bisakah kau sebut kita merdeka? Bila mana koruptor merajalela. Bisakah kau sebut Indonesia merdeka? Bilamana habitat menelan manusianya. Bisakah kau sebut generasi bangsa yang merdeka? Bilamana standar pelajaran mengikat siswa. Kegalauan mengambang di puncak angan dan harapan.
"Kita akan selalu merdeka jika kita mau bergerak. Hal tersebut hanyalah rintangan hidup. Karena itu berjuanglah. Sebab perubahan ada bila kita mau berusaha. Jadi, bergeraklah menuju Indonesia unggul. Merdeka!" Deretan kalimat penutup terlontar dengan semangat dari mulut Bu Ecy.
"Merdeka!" Riuh suara siswa menyambut kata penutup Bu Ecy dengan lantang dan serempak berhiaskan wajah wajah optimis tak berdosa.
Dan senyum terlukis di kedua sudut bibir Bu Ecy sambil melambungkan harapan Semoga Indonesia jaya
Salam merdeka💪😊
Love and peace😁✌️
EcyEcy, Benuo Taka, 17 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H