Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Duh... Aku Mati Rasa

3 Agustus 2019   09:00 Diperbarui: 3 Agustus 2019   09:09 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Gayung pun bersambut kembali. Kali ini Nur benar benar bersedia dengan tulus ikhlas melakukan apa yang Zal pinta. Aku sendiri heran. Sebenarnya Nur ini suka juga sama Zal atau apalah apalah, ya? Kok dia mau aja disuruh suruh Zal. Padahal dia tahu kalau kawanku ini punya istri yang mengerikan. Apa dia nggak takut di damprat di depan semua orang?


"Nur, rupanya tanganmu kekar juga, ya. Berotot dan besar tak seperti biasanya. Kamu pasti rajin olah raga. Atau mungkin karena keseringan mengulek bumbu pecel, ya?" Zal berucap sambil memasukkan suapan pertama Nur ke mulutnya.  


Rupanya suapan pertamanya agak sedikit kasar sehingga sebagian bumbu pecel tumpah di pinggiran pipi Zal. Aku hanya menoleh sekilas lalu kulanjutkan santapan pagiku lagi tanpa memperdulikan Zal yang sibuk merayu Nur kembali.


"Pelan pelan dong, Nur. Pipi Abang jadi kotor kan." Zal mengusap pipinya dengan handuk kecil yang ada di tangan kanannya.


Nur hanya diam saja. Tanpa suara. Mungkin dia pun merasa takut menyuapin Zal. Takut ketahuan istri Zal lagi.


"Ketinggian, Nur. Agak turun sedikit dong. Abang nggak bisa makan." Zal mulai memegang tangan Nur karena sendok pecelnya terlalu tinggi dari mulutnya.


"Eh iya. Maaf, Bang." Suara Nur masih terdengar syahdu ditelinga kami berdua.


"Nur, kulit kamu kok jadi kasar dan hitam. Pasti kamu sering panas panasan, ya? Sudahlah Nur, kamu nggak usah jualan di sini lagi. Nanti kulit kamu gosong loh." Zal berargument sambil membalikkan badannya ke arah Nur.


Dan aku pun jadi penasaran. Apakah mata Zal sudah katarak? Apa yang salah dengan kawanku ini. Nur yang putih, molek, kulit mulus kuning langsat, badan langsing lagi bohai bikin kita jadi terbuai kok malah disebutnya hitam, kasar, besar dan berotot. Kebetulan pecel di piring sudah habis kulahap, jadi sekalian aku mengembalikan piring ini pada Nur. Sekaligus membuktikan bahwa Zal salah menilai Nur.


Tangan kanan Nur sedang menari nari di atas cobek besar sambil memegang ulekan kayu. Sedang tangan kirinya sedang memegang tepi cobek yang ikut bergoyang sedari tadi agar tak berpindah dari tempatnya. Jadi, yang sedari tadi nyuapin Zal itu tangan siapa? Yang zal pegang saat ini tangan milik siapa?karena aku sendiri yakin kalau Nur hanya punya dua tangan saja.


Pluk... Pluk... Pluk...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun