Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Terbang ke Jakarta, Pertama Kali Gunakan Pesawat BBN Airlines Indonesia

24 Januari 2025   06:17 Diperbarui: 24 Januari 2025   18:17 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua buku bagus karya penulis terkenal: Robin Sharma dan Erdward de Bono (Sumber: dok. pribadi). 

Ketika mengisi waktu akhir tahun 2024 dan menyongsong awal tahun 2025, saya dan istri memilih mengunjungi anak di Jakarta. Keberangkatan ke Jakarta sudah jauh-jauh hari kami rencanakan, termasuk kegiatan apa saja yang akan kami lakukan di sana. Anak-anak menawarkan beberapa kegiatan dan kami mengiyakannya.

Bagi mereka, kehadiran orangtuanya sangat diharapkan. Berkali-kali mereka meminta dan mngingatkan agar kami berdua menyempatkan diri datang ke Jakarta. Maklum, mereka sedang disibukkan oleh pekerjaan sehingga sulit mengambil cuti dengan waktu yang memadai untuk pulang ke Bali.

Alhasil, kami berdualah yang mesti terbang ke Jakarta. Disepakati, kami di Jakarta selama lima hari. Separuh waktu untuk mengunjungi anak kedua, separuhnya lagi untuk mengunjungi anak pertama.

Menumpang BBN Airlines

Kami sempat menimbang-nimbang pesawat apa yang akan kami tumpangi tatkala ke Jakarta dan ketika pulang nantinya. Pertimbangannya, harga tiket pesawat mesti terjangkau dan waktu keberangkatan sesuai dengan rencana.

Akhirnya, kami putuskan untuk mencoba terbang ke Jakarta dengan pesawat yang belum pernah kami tumpangi. Nama pesawat itu Blue Bird Nordic (BBN) Airlines Indonesia. Itu kami putuskan setelah melihat websitenya dan referensi dari anak-anak. Saat kembali ke Bali kami menggunakan pesawat Air Asia.

Apa yang spesial dari BBN? Layanannya, saya kira, tak jauh berbeda dengan pesawat komersial sejenis yang pernah saya tumpangi. Yang membedakannya, dalam perjalanan, para penupang mendapatkan snack. Snack-nya berupa sepotong roti -- yang rasanya enak banget dan segelas air mineral,  diwadahi dengan sebuah tas kecil berwarna biru. Snack ini terbilang lumayan untuk mengisi perut saat tak sempat makan sebelumnya.

Penerbangan selama kurang lebih 1,5 jam dari Bali ke Jakarta itu terasa nyaman. Apalagi proses lepas landas dan landing pesawat terbilang halus. Tak terasa ada hentakan ketika mendarat. Semuanya berjalan smooth. Selebihnya, awak pesawatnya juga ramah dan profesional, dengan kostum formal yang rapi.

Bagaimana dengan harga tiketnya? Harga tiket tak berbeda jauh dari pesawat komersial di kelasnya. Saat itu saya membeli tiket kelas ekonomi per orang seharga Rp. 1,4 jutaan untuk tujuan Jakarta dari Bali. Harga yang kompetitif dan terjangkau.

Sembahyang di Dua Pura

Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, anak-anak menjemput kami di terminal kedatangan. Mereka sudah ada di situ, menunggu dengan wajah sumringah. Rupanya mereka senang karena orang tuanya akhirnya datang juga.

Dulu, ketika mereka masih kuliah di Jakarta, saya memang beberapa kali mengunjunginya. Tapi, setelah menyelesaikan studi dan mulai bekerja, kami belum sempat datang. Merekalah yang pulang ke Bali.

Kegiatan apa saja yang kami lakukan di Jakarta? Cukup banyak. Di sini dicatatkan beberapa saja di antaranya.  Pertama, mengunjungi anak laki-laki kami yang tinggal di kawasan Kemanggisan. Ia bersama istrinya tinggal di sebuah rumah sederhana namun nyaman dan tenang.

Ada tanaman yang hijau di halaman dalam yang terbuka, posisinya berdampingan dengan dapur dan ruang makan. Duduk di situ sambil menikmati makanan, ngobrol, dan memandang taman kecil itu, sungguh menyenangkan.

Dua hari lamanya kami menginap dan berbagi cerita di rumah anak kedua kami ini. Sempat juga bepergian ke luar rumah untuk makan malam bersama-sama.

Lalu di hari yang ketiga, kami dijemput anak pertama -- seorang perempuan yang berprofesi sebagai psikolog klinis dewasa, yang tinggal di kawasan Semanan, Jakarta Barat.

Bersama dia dan suaminya, juga besan, kami sembahyang di Pura Jelambar. Tampak hanya beberapa orang ada di Pura pada malam saat kami datang. Setelah mengenakan kain yang sudah kami persiapkan dari rumah, kami pun masuk ke dalam Pura untuk melakukan persembahyangan. Persembahyangan berjalan hening dan khusuk.

Keesokan harinya, kami meluncur menuju suatu lokasi yang sedikit jauh dari Jakarta, yakni Bogor. Tujuan kami adalah Pura Jagatkartta, Gunung Salak. Perjalanan dengan kendaraan ke sana cukup memakan waktu. Tetapi, waktu berlalu tak begitu terasa karena sepanjang perjalanan kami asyik ngobrol.

Mobil kami keluar dari jalan utama dan memasuki jalan yang sedikit lebih kecil menuju Pura. Kalau dulu jalannya rusak, kini jauh lebih baik. Seluruhnya sudah beraspal dan cukup mulus. Sampai di parkiran Pura, kami dapati ada beberapa mobil yang diparkir di situ. Rupanya, pengunjung yang hendak sembahyang lumayan banyak.

Kami pun mulai mempersiapkan sarana persembahyangan. Kami sembahyang di tiga tempat di lingkungan Pura Jagatkartta. Angin yang berhembus semilir, udara yang sejuk, dan suasana tenang jauh dari keramaian, membawa kami mudah khusuk dalam persembahyangan.

Membeli Buku

Sehari sebelum akhirnya balik pulang ke Bali, kami sempatkan ke Toko Buku Gramedia di Lippo Mall Puri, Jakarta Barat. "Papa mesti temukan tiga buku yang papa senangi. Nanti In yang bayar, " ujar anak perempuan kami. Saya hanya tersenyum mendengar ucapannya. Anak-anak tahu persis kalau salah satu kesukaan ayahnya adalah berkunjung ke toko buku dan membeli buku.

Dua buku bagus karya penulis terkenal: Robin Sharma dan Erdward de Bono (Sumber: dok. pribadi). 
Dua buku bagus karya penulis terkenal: Robin Sharma dan Erdward de Bono (Sumber: dok. pribadi). 

Setelah memerhatikan buku-buku dari satu rak ke rak lainnya, saya berhasil menemukan dua buku yang menarik. Pertama, buku yang berjudul The Everyday Hero Manifesto, karya Robin Sharma, terbitan BIP, Kelompok Gramedia. Pembaca tentu mengenal buku karya pengarang yang satu ini, bukan? Ya, sebelum ini, Robin juga menulis buku The 5 AM Club dan The Monk Who Sold His Ferrari.

Lalu, buku yang kedua yang saya temukan berjudul How to Have a Beautiful Mind, tulisan Edward de Bono. Pengarang ini dikenal sebagai tokoh terkemuka dalam bidang pemikiran kreatif dan dalam bidang pengajaran cara berpikir. "Ia adalah salah satu tokoh penting dalam mengembangkan cara berpikr kreatif," tulis The Times.

Setelah kembali ke Bali, buku karya Robin Sharma mulai saya baca. Sedangkan, buku karya Edward de Bono, masih belum saya nikmati. Ya, bertahap saja. Saya jadi tambah semangat membaca ketika menelusuri isi buku The Everday Hero Manifesto. Gagasan-gagasan yang dilontarkan Robin Sharma dalam buku ini terasa segar, memotivasi sekaligus menginspirasi.

Untuk kedua buku ini, akan saya luangkan waktu membacanya secara mendalam, pelan-pelan. Mumpung belum mulai semester genap -- saatnya kembali mengajar dan berkutat dengan diktat.

(I Ketut Suweca, 24 Januari 2025).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun