Jadi, penyuntingan dilakukan hanya ketika draf pertama tulisan sudah selesai. Setelah draf pertama selesai dikerjakan, barulah dilakukan proses penyuntingan.
Saya biasanya akan mengambil waktu jeda sebelum melakukan proses pengeditan. Artinya, begitu  selesai pengetikan draf pertama, tidak langsung saya sunting. Menunggu beberapa saat dulu belum melakukan pengeditan pertama.
Dengan jeda seperti ini, penulis akan mendapatkan cara pandang yang lebih jernih untuk melihat draf tulisan pertama.
Sering terjadi, apa yang saya pikir sudah pas pada penulisan draf pertama ternyata belum tepat. Hal ini baru saya sadari atau ketahui pada saat melakukan proses penyuntingan. Terkadang, judul pun masih salah dalam pengetikan yang saya kira sudah benar.
Frekuensi Penyuntingan
Lalu, berapa kali proses pengeditan dilakukan? Tergantung pada kebutuhan, tentu saja. Saya biasanya melakukan pengeditan berulang-ulang. Minimal empat kali untuk sebuah naskah pendek. Tetapi, frekuensi pengeditan tidak ada standar pasti.
Patokannya adalah saat penulis benar-benar yakin artikel yang ditulis sudah tidak lagi mengandung kesalahan, baik pada aspek tata bahasa, ejaan, pengetikan, maupun penalaran.
Mau Menyisipkan Data dan Pendapat?
Kalau dipandang perlu menambah referensi lagi, boleh juga dilakukan pada saat proses editing ini. Misalnya, menyisipkan pendapat ahli. Atau, menambah data pendukung sehingga artikel yang dibuat menjadi lebih kaya.
Hanya saja, insert data dan pendapat itu dilakukan secukupnya saja. Jangan melakukan penyisipan data dan pendapat orang lain secara berlebihan, karena hanya akan membuat artikel menjadi rangkaian pendapat dan data. Padahal, yang dimaksudkan adalah sebuah artikel opini yang seharusnya menonjolkan pandangan si penulis.
Pentingnya Ketelitian