Teringat suatu masa dulu
Ketika sang angin, sang hujan dan badai bersatu menyerbu rumah kita
Dan, rumah kita hancur, rata dengan tanah.Â
Kemudian lenyap tak berbekas.
Kita pun bingung dan bertanya kala itu.
Entah bergumam, entah berteriak
Mengapa, bagaimana, dan kita 'kan ke mana
Begitu berulang kali, Â silih-berganti
***
Tetapi, ketika waktu terus bergulir
Dalam kehampaan yang semakin pekat
Sayup-sayup terdengar panggilan
Dengan nada pelan dan lembut: kemarilah wahai anak-anakku.Â
Janganlah engkau bingung, jangan resah, jangan pula khawatir
Kan kuberi rumah baru untuk engkau tempati.
Tak lagi di pusat kota, tapi di ujung desa.
Kita semua serempak mengangguk dan berkata: inggih sang prabu, titiang setinut.
Kita bergegas dan mulai menjadi penghuni rumah itu.
Kendati tak selalu di situ, berpindah sewaktu-waktu sesuai titah sang prabu.
Dan kita semua berhasil selamat.Â
***
Tahun demi tahun berlalu
Sebagian dari kita sudah dipanggil pulang
Sebagian lagi masih ada di sini, mengisi hari-hari
Dengan sujud syukur yang selalu mengiringi
Lihatlah, di depan kita masih terbentang jalan
Entah seberapa luas, entah seberapa jauh.Â
Tetapi, milik kita yang sejati hanyalah hari ini.
Hari yang penuh anugerah
Mari kita isi agar menjadi berarti.
***Â
Catatan: titiang setinut (bahasa Bali) artinya saya menuruti petunjuk.Â
Pancasari, 25 Agustus 2024.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H