Membaca tidak selalu harus dibarengi dengan menerima begitu saja apa yang dibaca. Dalam membaca, pembaca juga boleh bersikap kritis. Artinya, dia masih tetap bisa mengkritisi apa yang sedang dibacanya. Dengan kata lain, pembaca bisa berdialog secara imajiner dengan penulisnya.
Pada beberapa bagian dari buku yang sedang dibacanya, ia bisa membandingkan isi bacaan itu dengan pemikirannya sendiri atau dengan isi buku sejenis yang pernah dibaca sebelumnya.
Dia juga bisa membandingkannya dengan realita di lapangan. Terkadang, apa yang ada di buku lebih pada tataran konsep atau teori yang acapkali berbeda dengan kenyataan. Intinya, orang tidak harus selalu setuju atau sependapat dengan isi buku yang dibaca.
Jadi, membaca itu selain menambah ilmu pengetahuan, juga mempertajam kemampuan berpikir kritis.
Ketiga, merdeka mengakses buku bacaan.
Merdeka membaca juga berarti adanya kesempatan yang luas untuk mengakses buku-buku bacaan dan sumber informasi lainnya.
Untuk mendapatkan buku bacaan, orang bisa dengan membeli buku di toko buku atau secara online. Bisa juga dengan meminjam buku di perpustakaan terdekat, baik di perpustakaan umum, perpustakaan desa, maupun perpustakaan yang didirikan oleh perorangan yang terbuka untuk umum.
Tak tercuali, ada juga kemudahan mengakses buku-buku digital. Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, misalnya, sudah melakukan ini. Masyarakat dengan mudah bisa mengakses dan membaca buku-buku digital yang disediakan Perpusnas RI.
Menuju Indonesia Cerdas
Apa yang dilakukan Perpusnas RI ini merupakan contoh yang sangat baik. Kian banyak buku yang bisa diakses melalui internet, semakin terbuka pula kesempatan masyarakat luas untuk membacanya. Ini bagian dari freedom to read.
Di samping tersedia buku-buku fisik, baik dengan membeli maupun dengan meminjamnya di perpustakaan terdekat, juga ada buku-buku bacaan digital. Semua ini akan meramaikan khasanah perbukuan di Tanah Air sekaligus mendorong minat dan budaya baca masyarakat.Â