Semua orang yang bekerja di organisasi atau perusahaan tentu berharap kariernya meningkat bersamaan dengan berputarnya waktu. Karyawan tentu tidak ingin kariernya begitu-begitu saja, mulai dari awal mula bekerja sampai pensiun. Semuanya ingin mencapai kemajuan.
Terdapat beberapa orang yang berhasil meniti karier dengan kemajuan yang sangat pesat. Ada pula yang maju secara perlahan-lahan. Dan, ada juga yang mengalami kemacetan dalam karier lantaran berbagai sebab dan kendala.
Yang menentukan kemajuan karier adalah orang itu sendiri. Artinya, si empunya-lah yang memiliki tamnggung jawab atas maju-mundur atau cepat-lambat kemajuan kariernya.
Selain diri sendiri, pihak perusahaan juga berperan di dalamnya. Perusahaan harus memberikan dukungan sekaligus memfasilitasi karier karyawan. Dukungan perusahaan sangatlah penting dalam kemajuan dan kelancaran karier karyawan selain upaya karyawan itu sendiri.
Namun, pada kenyataannya ada saja faktor-faktor penghambat bagi gerak laju karier, terutama yang berasal dari luar diri mereka yang tengah meniti karier.
Apa sajakah itu? Mari kita bahas satu per satu dalam artikel ini.
Pertama, penilaian yang tidak objektif.
Penilaian yang sangat subjektif menjadi salah satu biang kerok terhambatnya karier seseorang.  Maksudnya, penilaian  yang diberikan oleh atasan langsung atau pimpinan berdasarkan kehendaknya sendiri, bukan berdasarkan aturan yang ada.
Kalau pun disebutkan berdasarkan aturan, itu hanyalah mengikuti dan memenuhi tatanan formalnya. Sementara, di dalamnya ada unsur like and dislike yang dilakukan dalam penilaian.
Yang menjadi korban adalah karyawan yang dinilai. Ia yang mestinya bisa mendapatkan promosi setingkat lebih tinggi akhirnya harus kecewa lantaran penilaian yang tidak benar.
Kedua, sikap diskriminatif.
Sikap ini, pada umumnya muncul didasarkan pada perbedaan suku, perbedaan daerah, agama, dan lainnya.
Karena seseorang berasal dari satu daerah dengan pimpinan atau atasannya, lalu dia yang dipromosikan, padahal ada karyawan lain yang lebih layak tapi dari daerah lain.
Karena seseorang satu etnis dengan pimpinan, maka dialah yang diberikan kesempatan untuk naik jabatan, kendati ada orang lain dari etnis lain yang lebih memenuhi persyaratan.
Masalah seperti ini bukan mustahil terjadi. Unsur diskriminasi ini masih terjadi, kendati pun tak ada ketentuan dalam aturan perusahaan yang mengharuskan sang calon itu mesti satu agama, satu etnis, atau satu daerah dengan pimpinannya.
Ini, lagi-lagi, akan membuat ketidakpuasan dalam perusahaan yang bisa berdampak buruk terhadap kinerja dan produktivitas karyawan.
Ketiga, keterbatasan jenjang jabatan.
Ada banyak perusahaan yang struktur organisasinya cukup sederhana. Misalnya, yang ada hanya Direktur dan Kepala Bagian yang jumlahnya hanya 5 orang, padahal karyawan yang dipimpin lumayan banyak jumlahnya.
Di dalam perusahaan ternyata ada karyawan yang berpotensi untuk meng-handle tugas manajerial. Karyawan itu, dalam kesehariannya, sudah menunjukkan tanda-tanda memiliki kemampuan memimpin dan bisa menggerakkan teman-temannya untuk giat bekerja.
Namun sayang, kesempatan untuk mendapatkan jabatan tidak ada sama sekali karena jabatan yang tersedia sudah terisi penuh semuanya dan jumlahnya pun sangat terbatas.
Karyawan yang potensial seperti ini seyogianya sejak awal sudah harus mempelajari terlebih dahulu mengenai jenjang jabatan di dalam perusahaan yang dimasukinya. Apakah jenjang jabatan yang tersedia cukup luas atau justru sangat terbatas seperti dicontohkan di sini.
Kalau, misalnya, dia terlanjur nyemplung bekerja, mungkin sudah saatnya berpikir untuk resign dan memilih perusahaan lain yang memberikan kesempatan kepadanya untuk mencapai karier yang lebih baik.
Keempat, tidak ada yang potensial.
Berlawanan dengan kondisi di atas, di sini yang terjadi justru yang berpotensi untuk menduduki jabatan tidak ada.
Sebenarnya ada jabatan yang kosong, misalnya karena karyawan yang sebelumnya memegang jabatan itu sudah memasuki masa pensiun. Tetapi, tidak ada satu pun yang dipandang potensial atau cakap oleh pimpinan untuk mengisi jabatan kosong tersebut.
Akhirnya, pimpinan perusahaan membiarkan kekosongan itu terjadi. Tentu saja ini berdampak pada produktivitas perusahaan secara keseluruhan. Mungkin pimpinan mencari waktu yang tepat untuk merekrut tenaga dari eksternal perusahaan.
Menurut penulis, hal seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Kalau ini terjadi, berarti proses kaderisasi kepemimpinan tidak berjalan.
Seyogianya, pimpinan perusahaan sudah mempersiapkan kader yang akan menggantikan pejabat yang pensiun itu. Proses kaderisasi mesti berjalan secara bekesinambungan sehingga -- ketika diperlukan, sang kader sudah siap mengisi jabatan yang lowong itu.
Itulah beberapa pandangan perihal faktor-faktor penghambat karier yang mungkin dihadapi oleh karyawan dalam perusahaan. Semua itu kiranya perlu antisipasi lebih awal, baik oleh karyawan sendiri maupun oleh perusahaan, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.
(I Ketut Suweca, 25 Oktober 2023). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H