Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Konflik dalam Organisasi, Bagaimana Mengatasinya?

19 April 2023   09:32 Diperbarui: 20 April 2023   04:56 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengatasi konflik dalam organisasi (Sumber gambar: strathire.com). 

Ilustrasi contoh konflik dalam kehidupan sehari-hari ( unsplash.com)

Adakah organisasi yang berjalan tanpa konflik sama sekali? Adakah organisasi yang selalu adem-ayem, tenang tanpa riak dan gelombang? Jika ada, maka harus dipertanyakan dinamikanya: apakah organisasi itu benar-benar dalam proses untuk mencapai kemajuan atau sedang stagnan.

Dalam setiap organisasi dapat dipastikan ada konflik yang intensitasnya berbeda-beda. Ada konflik yang paling ringan, seperti terjadinya perbedaan pendapat atau pandangan terhadap suatu masalah. Ada juga konflik yang mengeras dan mengarah pada kekerasan fisik.

Dua Pandangan terhadap Konflik

Lalu, bagaimana kita memandang konflik tersebut? Secara teoritis, terdapat dua aliran pemikiran terhadap konflik.

Pandangan pertama melihat konflik sebagai kegagalan pimpinan atau manajer dalam mengelola organisasi. Jika ada konflik, maka pemimpin organisasi itulah yang salah dan karenanya ia harus bertanggung jawab dan mesti segera meredamnya.

Dalam pandangan ini, jangan sampai terjadi konflik dalam organisasi. Konflik harus dihindari karena dipandang negatif dan destruktif!

Mengatasi konflik dalam organisasi (Sumber gambar: strathire.com). 
Mengatasi konflik dalam organisasi (Sumber gambar: strathire.com). 

Kalaupun terlanjur terjadi, hendaknya segera diambil tindakan untuk menyelesaikannya sehingga tidak sampai berkembang. Konflik dipandang sebagai cerminan ketidakberhasilan pemimpin dalam me-manage organisasi.

Pandangan kedua menyatakan bahwa konflik itu adalah hal yang lumrah atau biasa terjadi. Ini merupakan wujud dinamika organisasi. Konflik itu tidak dapat dihindari, hanya intensitasnya yang mesti diperhatikan. Jangan sampai konflik itu  semakin menguat, misalnya berwujud kekerasan verbal hingga kekerasan fisik.

Untuk mewujudkan hal ini, pemimpin organisasi mesti selalu menyiasati agar konflik yang terjadi sebagai bentuk dinamika itu bermanfaat bagi organisasi. Tidak sebaliknya, menjadi disfungsional sampai memperburuk keadaan, bahkan membuat kondisi organisasi terpuruk.

Dibutuhkan keterlibatan pemimpin dalam upaya mengelola konflik yang mengarah pada kemajuan dan tujuan organisasi, bukan sebaliknya.

Apa yang Bisa Dilakukan Pemimpin?

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh pemimpin atau manajer dalam organisasi untuk memanajemeni konflik ini?

Pertama, fokus pada inti masalah.

Pemimpin mesti menelusuri apa sejatinya akar masalah yang terjadi sehingga menimbulkan konflik tersebut. Kedua belah pihak yang berkonflik mesti digali informasinya dengan mendalam sehingga diketahui akar masalah yang sesungguhnya.

Jika masalahnya sudah diidentifikasi, maka selanjutnya dicarikan solusi terbaiknya. Solusi yang hendak diambil mesti dipertimbangkan secara matang: menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Jangan sampai maksud awalnya menyelesaikan masalah, akhirnya justru menimbulkan masalah baru.

Di sinilah, kemampuan pemimpin diuji untuk mampu menerapkan seni berkomunikasi dengan kedua belah pihak yang berkonflik dan membantu mengurai masalah dan menemukan jalan keluar terbaiknya.

Kedua, tidak memihak pada salah satu pihak.

Pemimpin mesti menegaskan sikap ini kepada kedua belah pihak dan mewujudkannya dalam penyelesaian konflik.

Jika pemimpin masuk di dalamnya dan bersikap berpihak pada salah satu dari mereka yang berseteru, maka kekisruhan bisa kian menjadi-jadi. Sang pemimpin akan dipandang sebagai pihak yang telah bersikap memihak dan keputusannya pun dipandang tidak adil.

Keputusan yang diambil hendaknya bisa menyadarkan kedua belah pihak akan hal-hal yang mereka lupakan ketika berkonflik. Tidak hanya melihat dari sudut kepentingan diri atau kelompok, melainkan memandang suatu persoalan dalam konteks yang lebih luas dan jauh ke depan.

Ketiga, kembali ke tujuan bersama.

Apa sesungguhnya yang dicari dalam organisasi? Untuk mencapai tujuan bersama, bukan? Hal-hal seperti inilah yang mesti diingatkan kepada anggota organisasi sehingga persoalan-persoalan yang tidak substantif jangan sampai mengalahkan tujuan berorganisasi. Tujuan organisasi bisa terlupakan, karena para pihak terlibat konflik secara tak disadari telah menjauhkan mereka dari tujuan tersebut.

Mengingatkan mereka pada goal organisasi menjadi sangat penting dilakukan oleh pemimpin organisasi. Dengan begitu, diharapkan para pihak yang berkonflik bisa mereda dan kembali kepada tujuan organisasi.

Keempat, tidak emosional.

Konflik dalam organisasi pada umumnya terjadi dengan keterlibatan emosionalitas pihak-pihak yang terkait. Hendaknya disampaikan, dalam berkomunikasi, aspek emosi yang berlebihan mesti dihindari.

Sebaliknya, pemikiran yang rasional, ketenangan, dan kesabaran yang lebih dikedepankan. Dengan demikian, jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi akan lebih mudah ditemukan. Tugas pemimpin adalah mengingatkan mengenai hal ini.

Kelima, hindari menyinggung harga diri.

Acapkali terjadi konflik muncul karena harga diri salah satu pihak yang disinggung. Hal-hal yang sifatnya pribadi dan privasi diintervensi.

Nah, apabila hal ini terjadi, maka pemimpin mesti menengahinya secara hati-hati dan bijak. Misalnya dengan mengingatkan kedua belah pihak untuk kembali ke titik persoalan dan bersama-sama berupaya untuk menemukan solusi terbaik.

Kalau sudah sampai menyinggung atau melukai harga diri atau martabat orang, seringkali mengundang konflik. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi. Dan menyinggung harga diri ini, acapkali memunculkan intensitas emosi yang meningkat bahkan memuncak sehingga pada akhirnya menjadi konflik yang mengeras.

Pemimpin, dalam konteks ini, seyogianya menjadi penengah (mediator) yang bisa mengingatkan agar para pihak yang berkonflik kembali kepada tujuan bersama sekaligus menghindari ucapan atau tindakan di antara mereka yang menyinggung harga diri.

Pada dasarnya, konflik dalam organisasi memang tidak bisa dihindari. Konflik adalah dinamika yang mencirikan organisasi sedang berproses. Bukan organisasi yang statis, tidak inovatif, dan tidak responsif terhadap perubahan yang tengah terjadi.

Mudahkah mengatasi konflik? Ternyata tidak. Kebijaksanaan pemimpin diuji saat-saat seperti ini: apakah ia mampu mengatasi konflik dengan win-win solution atau malah membuat konflik semakin menjadi-jadi?

(I Ketut Suweca, 19 April 2023).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun